Mohon tunggu...
Herri Mulyono
Herri Mulyono Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Perguruan Tinggi Swasta Jakarta

Bercita-cita menjadi pribadi sejati yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Website: http://www.pojokbahasa.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sok Tahu, Sok Serba Tahu

26 November 2022   21:44 Diperbarui: 26 November 2022   22:02 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun pertama kuliah di Univ of York merupakan masa-masa yang begitu menegangkan, dan dalam konteks tertentu 'menyeramkan' bagi saya. Bukan hanya tentang tekanan untuk lebih banyak membaca, sehingga saya dapat berargumen dengan pembimbing, tapi juga rasanya setiap yang saya kerjakan selalu saja ada yang salah, kurang, dan, menyimpang. 

Padahal, menurut saya, semua sumber sudah dibaca, dan, dengan segala keyakinan, saya akan dapat menjawab pertanyaan yang diberikan ketika supervision meeting yang tiap dua pekan itu.

Tapi ya itu, ada aja celah pertanyaan yang saya terlewat, dan muncul  moment-moment: 'oh iya bener juga', 'kenapa gue ga kepikirian', 'kok gue bego amat yak'.

Ini belum ditambah masalah teknik menulis yang berputar-putar sehingga ide utamanya tidak muncul, atau bahkan tidak bisa dimengerti sama sekali. Selain juga minimnya pengetahuan saya tentang istilah-istilah akademik sesuai dengan topik yang diberikan, dan kekurangan-kekurangan lainnya. Tapi kalau kurang ganteng, ya ga juga ha ha ..

Akhirnya setiap diujung hari selalu saja ada kegelisahan dan penyesalan: "S1 dan S2 dulu gue kemana aja?" atau "dulu gue emang belajar apaan yak?"

Nyesel dan nyeseknya sampai ubun-ubun, sampe nangis segala. Serius!!

Belum lagi ditambah pendarahan lambung dan usus gegara masalah pencernaan akibat stress!!

Hadeeeh... kapooook tenan!!! Ga bakalan deh gue mau ngulang pengalaman studi doktor LN lagi!! (... eh sekarang malah postdoc ha ha ha)

Tapi setelah beberapa kali refleksi, saya tahu jawabannya. Ini teguran Tuhan buat orang yang sok tahu, dan sok-serba tahu; ya kaya saya ini. Sebagai seorang dosen (guru), saya memiliki kewajiban mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, ceramah dari satu kelas ke kelas lain, kadang menjadi narasumber guru disekolah lain. Melangkah dari strata 1 (S1) ke S2 rasanya bertambah yakin, bahwa saya memiliki pengetahuan lebih dari siswa, atau guru-guru lain yang gelarnya masih satu.

Pertanyaan-pertanyaan siswa dikelas sangat mudah saya jawab, padahal itu karena tidak ada orang yang bisa memvalidasi kebenarannya. Wal hasil, sering sekali saya merasa jumawa, bertolak pinggang, atau main-main jari telunjuk: "eh kamu, sini", tipikal guru yang otoriter. Padahal ilmu saya ternyata hanya seujung kuku saja, atau lebih sedikit dari itu. Untungnya saya ga ikut-ikutan pakai gaya kekerasan kaya tetangga sebelah.

Dan Tuhan tahu tentang bagaimana menegur hambanya, tanpa harus menghina. Dengan cara yang begitu menyemangati, tapi juga menyadarkan: dikirim untuk studi lanjut ke Univ of York, biar ga jago kandang, biar cara membandingkan ilmu bukan dikandang sendiri, tapi puluhan kandang lain dengan karakteristik dan sudut pandang terhadap pengetahuan yang begitu beragam.

Belajar dari tahun pertama, sampai tahun keempat, rasanya ilmu saya tidak bertambah-tambah, dan ternyata hanya sedikit sekali yang saya bisa tahu. Dan serius, ga akan lagi-lagi untuk sok-sok an, sok tahu, dan sok serba tahu.

Sampai hari ini pun, dibalik jendela Hostel Magister, saya sangat menikmati menjadi orang bodoh, agar bisa selalu belajar. Senang rasanya, kalau kemudian saya bisa berjumpa dengan seorang yang kaya ilmu, dan bersedia membaginya kepada saya.

Benar juga teori Dunning Kruger Effect, yang pernah saya baca, dan ternyata saya alami dulu juga hari ini: bahwa keyakinan dan tingginya percaya diri kita untuk menjawab tentang sesuatu, memberikan solusi 'yang wah' dan keren, unjuk gigi, atau ingin show off, ternyata sering bukan karena kita memang tahu, dan memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu; tapi boleh jadi karena kita ternyata bodoh, dan belum memiliki pengetahuan kecuali yang sedikit itu.

Sewaktu ngopi-ngopi dengan Prof Amir waktu di pusat kota beberapa waktu lalu, saya mendapatkan sebuah pelajaran: kita tidak bisa menilai seseorang pintar atau bodoh pada satu moment; apalagi merendahkannya. Karena pada hakekatnya mereka sedang menjalani proes belajar. Bisa jadi, yang pintar hari ini menjadi bodoh esok hari; karena malas belajar. Atau bahkan sebaliknya.

Tapi saya yakin kok kalau kamu mah seorang pembelajar, makanya saya sayang kamu #eeeaaaa

Selamat hari pembelajar ya guys, karena guru pada hakekatnya seorang pembelajar yang taat. Juga guru dari anak-anak kita uhuiiiiiii

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun