Mulut saya tetiba langsung mengatup. Terdiam terkena sihir "Give yourself time to think"-nya Maam Erida.
Saya ikut sarannya. Saya diam sesaat. Tapi saya tetap tak bisa berfikir. Pikiran saya bergelut dengan sihir itu. Walaupun pada akhirnya, saya tetap berkomentar sebagai respon pendapat beliau.Â
Sayangnya, sihir itu tetap melekat dikepala saya, diotak yang 'benjol' terkena lemparan pendapat Maam Erida. Parahnya, setiap kali dalam diskusi dimana lempar dan adu pendapat terjadi, wajah Maam Erida selalu terbayang. Terbayang-bayang ketika saya akan berpendapat, sebagai respon peserta diskusi. Seolang Maam Erida bertanya, dan mengkonfirmasi: 'Kamu sudah ngerti dan paham apa yang ditanyakan?', 'Apakah pendapat kamu itu penting, dan sesuai dengan yang ditanyakan?', 'Apakah kamu sudah memiliki informasi yang cukup sehingga dapat merespon atau bertanya kembali?' dan beragam pertanyaan lain yang pada ujungnya membuat saya lebih memilih diam, dan menangguhkan pertanyaan.
Pernah saya menyingkirkan wajah Maam Erida dalam sebuah diskusi. Saya secara impulsif merespon banyak hal yang saya yakin benar, atau sering merasa 'pintar'. Tapi kemudian, saya memikirkan kembali apa yang saya ujarkan itu. Setelah diskusi, saya berefleksi. Dan akhirnya saya malu seklai, .. karena yang saya katakan itu cenderung sok tau, padahal saya tidak punya pengetahuan dari yang di sok sok-an itu. Bagaimana mungkin saya mengambil sebuah kesimpulan dari sebuah diskusi singkat yang sangat terbatas waktunya, dan kesempatan si pembicara untuk menguraikan idenya secara utuh. Saya tampak bodoh sekali!
Ah saya menyesal sekali. Dan saya kembali mengenang pesan Maam Erida waktu itu: "Beri sedikit waktu untuk berfikir, sebelum bicara".
Ya karena, 'isi' pembicaraan kita itulah yang merefleksikan 'otak' dan 'attitude' kita. Tidak peduli wajah dan penampilan kita.Â
Terima kasih Maam Erida, atas ilmunya dikelas Maam waktu itu. Semoga keberkahan dan amal baik selalu meyertai Maam. Amiiin yra.Â