Sekarang baru saya tahu, kenapa nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia saya selalu rendah; saya kurang membaca novel-novel Sapardi, lemah menghayati puisi-pusinya dan, mungkin saja, karena saya kurang meresapi rangkaian kata Supardi.Â
Bukan hanya Sapardi, karya teman-temannya pun saya sedikit baca. Kecuali karya NH Dini yang membuat saya berimajinasi nakal, dan liar. Senakal-nakalnya, seliar-liarnya.Â
Semua orang tahu novel itu, Pada Sebuah Kapal! Tapi, kurang pahamnya saya tentang pelajaran bahasa Indonesia karena Sapardi, itu cuma akal-akalan saya saja. Ide akal-akalan ini saya pinjam diam-diam dari tulisan AS Laksana tentang Supardi di Kumparan. Â
Ya Tuhan, bung Sulak - begitu orang memanggil AS Laksana, kenapa dia itu begitu pintar  mengurai kata, mengalur cerita. Bahasanya sering membawa saya terbang meninggi, berimajinasi dari deskripsi yang dia buat dengan detail yang begitu sempurna, walau pada akhirnya menjatuhkan saya kembali dari langit, ke bumi, dengan sebuah realitas; saya juga belum bisa menulis sebagus itu. Sakit sekali rasanya jatuh dari langit setinggi itu. Â
Saya ingin sekali belajar menulis dari seorang penyair kondang seperti bung Sulak. Sayang sekali, saya ga punya nyali untuk ikut kelas menulis bung Sulak yang sering dia tawarkan. Bukan karena masalah uang loh ya, tapi tentang komitmen menulis yang sangat dia jaga.Â
Bukan hanya kepada dia pribadi, tapi juga kepada murid-murid di kelas menulisnya. Saya rasa saya ga sanggup. Apalagi kelasnya sudah disesaki oleh para wartawan senior dan segudang penulis profesional. Saya lihat satu persatu nama-nama dikolom komentar dan profilenya. Bisa mati kutu saya disitu!
Bung Sulak idola saya, walau sejujurnya, saya sedikit sekali membaca tulisan bung Sulak. Tapi jangan salah, saya mengikuti ceritanya tiap kali dia bagikan didinding Facebook. Saya telah mengatur bunyi bel bila bung Sulak tetiba berbagi sebuah tulisan, didinding Facebook miliknya itu, walau kadang sering juga terlewat.Â
Tentang pelajaran menulis, tentang penjurian, dan yang paling seru, tentang kritiknya kepada bung Goenawan Muhamad tentang posisi Sains kemarin-kemarin itu. Saya baca tulisannya sampai habis. Bagus sekali. Ya iyalah, dia sastrawan! Saya hanya berani nge-like tanpa berkomentar, nyali saya ciut ketika menulis huruf pertama!
Â
Lagian tidak penting juga apakah bung Sulak perlu tahu saya ngintilin ceritanya dengan taat. Yang penting bagi saya sendiri, saya bisa belajar dari dia. Seperti ketika menulis cerita ini, saya ikuti gayanya, walau ga sempurna. Mudah-mudahan bung Sulak tidak baca! Malu saya!
***
Ekspresi bung Sulak didinding Facebook 20 Juli 2020 lalu sangat menyentuh, memaksa saya mengenang kembali tentang sosok Sapardi. Â
"Seharian kemarin saya hanya memutar berulang-ulang lagu ini dan ketika bangun tidur saya masih tetap mendengarnya: "Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi...." Ari Malibu sudah pergi lebih dulu."
"Kemarin Mas Sapardi juga pergi. Tidak mungkin ada lagi percakapan sampai pukul tiga dinihari, dengan beberapa cangkir kopi dan martabak manis kesukaannya."
Saya baca berulang-ulang ekspresi bung Sulak. Saya dengar baik-baik musikalisasi puisi Sapardi oleh AriReda di YouTube, seperti yang ditempelkan pada postinganya waktu itu. Iramanya mendayu-dayu, sangat melankolis sekali. Air mata saya jatuh. Ingin sekali dikenang setelah mati seperti dalam puisi Sapardi. Â
Supardi tentu bukan orang biasa dimata bung Sulak, karena sejatinya sosok Sapardi bahkan telah mengakar di hatinya. Obituari yang ditulis bung Sulak di Kumparan tempo hari itu juga berkata demikian, dia telah mengurai cinta bung Sulak yang mendalam kepada Sapardi.
Orbituari itu membuat jantung saya seperti terhimpit, sesak, dan akhirnya dia membuat hati saya meleleh, begitu meleleh. Hati saya tidak pernah meleleh seperti pada waktu membaca orbituari bung Sulak. Â
Waktu saya diputus pacar sehari sebelum ujian nasional, saya cuma menangis saja, sedih, tapi tidak jadi melankolis seperti setelah membaca tulisan orbituari bung Sulak itu. Nilai merah di ijazah menjadi bukti bahwa saya tidak bohong.
***
Saya, dan Sapardi, entah bagaimana mengkaitkannya. Mengkaitkan dengan nama bung Sulak; AS Laksana, itu saja saya merasa ga pantas, apalagi dengan nama besar seperti nama Sapardi. Saya ingin menulis Prof. Sapardi, tapi entah kenapa menjadi janggal sekali. Mungkin karena Sapardi seorang penyair. Ia lebih dikenal begitu, ketimbang gelar akademik yang menempel pada namanya. Â
Pertama kali saya mendengar nama Sapardi sebagai pujangga besar dari bibir merah bu Lela - guru mata pelajaran bahasa Indonesia saya di SMP. Bu Lela menyebut nama Sapardi dengan lengkap; Sapardi Djoko Damono, dengan suara yang begitu lembut, dan sering juga sampai tidak terdengar.
Bu Lela menyebut namanya sembari menyerahkan buku kumpulan sastra untuk dihapal. Ini buat persiapan lomba, katanya. Saya membaca buku itu tiap hari, selama satu minggu sebelum lomba. Saya kalah. Mungkin karena saya ditakdirkan lemah dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.
Suara bu Lela dikelas seperti gadis sedang jatuh cinta, seperti sedang berkasih-sayang dengan pacarnya. Mungkin karena Bu Lela masih gadis, imut-imut, dan, seingat saya, masih baru-barunya mengajar. Soleh, Sukur, Endang dan Siregar sering sekali menggoda bu Lela yang alisnya mengukir bola matanya yang hitam.Â
Bu Lela bertubuh kecil, si Endang itu bertubuh tinggi, kaya bujang yang siap kawin. Jadilah mereka couple, kalau bersanding bersama. Endang sering mengintil bu Lela demi mencium parfum bu Lela yang semerbak aromanya. Bu Lela baru menyemprot parfum itu sebelum masuk kelas. Itu dugaan saya saja. Â
Sesekali si Endang ingin memeluk bu Lela yang kecil itu. Dasar berandalan mereka itu! Guru kok digoda-goda dengan cinta monyet, dari anak baru gede, pikir saya. Tapi fakta bahwa bu Lela itu cantik benar adanya. Hanya saja, saya ga bisa jatuh hati kepada bu Lela, saya sudah punya pujaan hati. Â
Bu Ros kemudian menyebut nama Sapardi dengan lantang, pada suatu waktu pembajaran bahasa Indonesia, di sebuah ruang kelas SMA yang memojok, dekat kantin, dengan aroma nasi uduk dan pisang goreng yang menjadi menu pokok saya tiap pagi. Tatapan mata Bu Ros melengkapi suaranya yang agak ditinggikan itu, walau terkesan dipaksakan. Aslinya, suara bu Ros itu kecil sekali, sama lembut dengan bu Lela, tapi beda cantiknya.
***
Berulang-ulang saya temukan nama Sapardi dalam buku kumpulan sastra yang dipinjamkan bu Lela. Saya baca kembali di kelas satu es-em-a bersama bu Ros. Tapi saya menyesali kurang membaca mahakarya Sapardi. Saya mulai membaca-baca karya Sapardi justru sepeninggal dirinya. Ketika bung Sulak, Ewith Bahar dan para penyair lainnya menangisi Sapardi yang telah menutup mata selamanya. Saya menyesali kepergiannya, mengekor kata-kata bung Sulak:
"Saya berharap ia tak selalu membukakan pintu. Saya ingin ia menolak ketika yang datang kepadanya adalah kematian."
Kemarin saya membeli beberapa novel Sapardi, salah satunya karya yang terkenal itu, Hujan Bulan Juni. Padahal, buku ini telah ada diperpustakaan GOR Jakut sejak bulan puasa dua puluh lima tahun yang lalu. Saya baca dengan seksama, dengan segala detail yang uraikan Sapardi. Ceritanya indah sekali. Â
Saya juga menyalin puisi cinta 'Aku Ingin' Sapardi ditelepon genggam. Saya buatkan quote dengan perank-pernik ekspresi cinta. Saya akan gunakan untuk merayu dan menggombal, pikir saya. Â
Kuno! orang telah menulis puisi cinta itu sedari dulu, ketika puisi itu menjadi terkenal dan dinyanyikan AriReda. Bahkan Najwa Shihab pun pernah termakan sihir puisi itu. Dia menyesal! saya kutip itu dari mulut Nana di Asean Literary Festival 2016. Oh Tuhan, Saya benar-benar telat!
Seandanya saja saya kenal bung Sulak sedari dulu, mungkin saya akan mengenal Sapardi dengan novel-novel dan puisi-puisi cintanya. Lebih dari gambaran bu Lela dan bu Ros, serta cerita Sapardi dibuku-buku pelarajan saya dulu. Dan saya yakin saya akan turut jatuh cinta, bersama para penyair nusantara. Jatuh cinta kepada Sapardi. Â
Tapi entah kenapa saya  jatuh cinta. Mungkin karena Sapardi seorang penyair. Seperti kata Ewith:
"Karena engkau penyair, jadi begitu mudah bagiku mencintaimu. Penyair adalah kekasih yang menyenangkan bagi siapa saja. Kekasih terindah yang pernah dimiliki sebuah hati. Sebab, tak peduli apa yang ia katakan, tak peduli perihal apa yang ia masalahkan, selalu dibalutnya dengan sutera kata-kata yang begitu lembut."Â ***
Note:
Tulisan ini ditulis ulang dari tulisan saya disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H