Mohon tunggu...
Herri Mulyono
Herri Mulyono Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Perguruan Tinggi Swasta Jakarta

Bercita-cita menjadi pribadi sejati yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Website: http://www.pojokbahasa.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya, Bung Sulak, dan Sapardi

28 Juli 2020   16:38 Diperbarui: 28 Juli 2020   16:43 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekspresi bung Sulak didinding Facebook 20 Juli 2020 lalu sangat menyentuh, memaksa saya mengenang kembali tentang sosok Sapardi.  

"Seharian kemarin saya hanya memutar berulang-ulang lagu ini dan ketika bangun tidur saya masih tetap mendengarnya: "Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi...." Ari Malibu sudah pergi lebih dulu."

"Kemarin Mas Sapardi juga pergi. Tidak mungkin ada lagi percakapan sampai pukul tiga dinihari, dengan beberapa cangkir kopi dan martabak manis kesukaannya."

Saya baca berulang-ulang ekspresi bung Sulak. Saya dengar baik-baik musikalisasi puisi Sapardi oleh AriReda di YouTube, seperti yang ditempelkan pada postinganya waktu itu. Iramanya mendayu-dayu, sangat melankolis sekali. Air mata saya jatuh. Ingin sekali dikenang setelah mati seperti dalam puisi Sapardi.  

Supardi tentu bukan orang biasa dimata bung Sulak, karena sejatinya sosok Sapardi bahkan telah mengakar di hatinya. Obituari yang ditulis bung Sulak di Kumparan tempo hari itu juga berkata demikian, dia telah mengurai cinta bung Sulak yang mendalam kepada Sapardi.

Orbituari itu membuat jantung saya seperti terhimpit, sesak, dan akhirnya dia membuat hati saya meleleh, begitu meleleh. Hati saya tidak pernah meleleh seperti pada waktu membaca orbituari bung Sulak.  

Waktu saya diputus pacar sehari sebelum ujian nasional, saya cuma menangis saja, sedih, tapi tidak jadi melankolis seperti setelah membaca tulisan orbituari bung Sulak itu. Nilai merah di ijazah menjadi bukti bahwa saya tidak bohong.

***

Saya, dan Sapardi, entah bagaimana mengkaitkannya. Mengkaitkan dengan nama bung Sulak; AS Laksana, itu saja saya merasa ga pantas, apalagi dengan nama besar seperti nama Sapardi. Saya ingin menulis Prof. Sapardi, tapi entah kenapa menjadi janggal sekali. Mungkin karena Sapardi seorang penyair. Ia lebih dikenal begitu, ketimbang gelar akademik yang menempel pada namanya.  

Pertama kali saya mendengar nama Sapardi sebagai pujangga besar dari bibir merah bu Lela - guru mata pelajaran bahasa Indonesia saya di SMP. Bu Lela menyebut nama Sapardi dengan lengkap; Sapardi Djoko Damono, dengan suara yang begitu lembut, dan sering juga sampai tidak terdengar.

Bu Lela menyebut namanya sembari menyerahkan buku kumpulan sastra untuk dihapal. Ini buat persiapan lomba, katanya. Saya membaca buku itu tiap hari, selama satu minggu sebelum lomba. Saya kalah. Mungkin karena saya ditakdirkan lemah dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun