Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Saatnya Kota Kupang Mempunyai Rumah Titip Jenazah

18 September 2024   07:11 Diperbarui: 18 September 2024   13:57 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Judul pada tulisan/artikel ini akan menggelitik lelucon kepada  para pembaca di dalam wilayah Kota Kupang dan sekitarnya. Mungkin juga masyarakat Nusa Tenggara Timur yang belum terbiasa dengan rumah titip jenazah atau rumah duka. 

Inspirasi tulisan/artikel ini ada ketika saya tiba di suatu perumahan yang dibangun oleh Pengembang (Developer). Bangunan (rumah-rumah) saling berhimpitan dan tentu saja nyaris tanpa halaman. Jalan di depan rumah-rumah yang dijejer itu lebarnya kira-kira 4,5 meter. Dugaan ini mucul karena tenda yang dibangun tidak dapat saling bersanding sepasang. Masing-masing tenda berdiri sendiri, hingga sebahagian jalan yang panjangnya kurang lebih 100 meter pada blok itu.

Di perumahan yang demikian padat itu, lantas ada hajatan (pesta) dipastikan akan menggunakan jasa hotel dan sejenisnya yang dapat menampung tamu dalam jumlah besar. Lantas, bagaimana bila suatu peristiwa kematian?

Bagaimana pula yang terjadi di dalam lingkungan wilayah Rukun Warga dan Rukun Tetangga masyarakat kota? Apakah semua bangunan rumah masih menyisakan halaman yang cukup untuk menampung tamu/undangan pada suatu hajatan dan hari berkabung?

Pada masyarakat kota Kupang (mungkin saja) masih ada tempat walau harus menggunakan pendekatan "dinyaman-nyamankan" saja.

Kota Kupang butuh Rumah Titip Jenazah

 Kota Kupang tidak wajib baginya untuk meniru beberapa kota besar di Indonesia di antaranya kota Surabaya yang mempunyai Grand Heaven layaknya hotel berbintang.  Grand Heaven merupakan satu bangunan megah dan mewah yang disiapkan agar keluarga berduka dapat memanfaatkannya ketika anggota keluarga meninggal dunia dan masih akan menyiapkan upacara penguburan satu atau dua hari berikutnya. Demikian halnya dengan rumah duka Husada di Jakarta, bahkan telah banyak rumah duka di kota Jakarta, sehingga memungkinkan anggota masyarakat (keluarga) yang berduka dapat memanfaatkan fasilitas yang tersedia.

Sekali lagi Kota Kupang tidak wajib baginya untuk meniru secara utuh menyeluruh, tetapi perlulah kiranya untuk melakukan kajian yang melandasi olah pikir bahwa saatnya Kota Kupang mempunyai rumah titik jenazah. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan Studi Kelayakan.

Studi kelayakan perlu untuk memastikan bahwa  wilayah kota dengan pemukiman padat penduduk, dapat saja ada ekses tertentu yang dapat mengganggu keharmonisan masyarakat secara komunal. Dalam studi kelayakan, hal-hal yang patut menjadi atensi misalnya:

  • Infrastruktur jalan (gang) yang melancarkan mobilisasi orang dan kendaraan. Akses jalan sebaiknya tidak ditutup atas alasan kedukaan (kematian/masa berkabung). Sangat sering gang-gang ditutup atas alasan ini, lalu pengguna jalan dimohon (atau sering pula dipaksa) untuk memaklumi situasi ini, karena akan bergiliran pada waktu yang akan datang.
  • Psikologi Sosial masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan rasanya mulai mengendurkan kekerabatan dalam hidup bersama. Pemukiman yang padat penduduk kurang memberi jaminan rasa nyaman. Bila satu keluarga (tetangga) mempunyai hajatan (pesta) maka pilihannya menggunakan penyedia jasa hajatan yang disebut Wedding Organizer dengan menggunakan bangunan seperti : auditorium, aula mall, hotel, resto dan lain-lain tempat yang memungkinkan  hajatan tidak mengganggu keamanan dan kenyamanan. Berbeda jika kematian menyapa, tentulah para tetangga wajib "harap maklum", karena kondisi yang sama akan berlaku pada waktu yang akan datang. Masa berkabung yang paling pendek yakni 3 - 9 hari (atau sering pula mencapai 40 hari ada kalangan tertentu) di dalam masyarakat Kota Kupang. Tidakkah hal ini mengganggu ketenangan dan kenyamanan setelah siang hari bising deru mesin lalu lintas di jalan raya dan berisiknya suara/bunyi-bunyian lainnya?
  • Budaya mete masyarakat kota Kupang yang sangat kental. Dampak dari mete secara psikologi sosial. 

Bila saja suatu rumah duka atau rumah titip jenazah ada di kota,  keluarga berduka dan masyarakat pada umumnya dapat memetik keuntungan:

  • Kenyamanan dan ketenangan; anggota keluarga yang berduka akan merasa nyaman ketika berada dalam suasana duka itu. Fasilitas disediakan secara baik karena pengelola rumah duka telah mempelajari konteks budaya mete masyarakat perkotaan, sehingga kebutuhan untuk masa berkabung dapat dicukupkan
  • Kehormatan; anggota keluarga yang berduka akan merasakan nilai kehormatan yang diterima ketika para pelayat mendatangi untuk memberikan penghormatan terakhir, turut merasakan duka sekaligus menghibur dan menguatkan. Pelayat akan mendapatkan dan merasakan suasana berkabung dalam mete yang berbeda ketika berada di lingkungan pemukiman padat penduduk
  • Rumah duka menawarkan fasilitas layanan yang sekaligus sebagai ruang upacara bila akan memanfaatkannya, kecuali memilih untuk mengupacarakan jenazah di luar rumah duka seperti di gedung gereja. 
  • Dalam hal proses pengadministrasian akan sangat terbantu. Pengelola rumah duka yang profeisonal akan membantu mengurus hal-hal yang dibutuhkan secara administrasi.
  • Koordinas upacara penguburan. Pengelola rumah duka akan sangat membantu untuk koordinasi dalam rangka upacara penguburan jenazah termasuk tempat/lokasi penguburan dan proses akhir. 
  • Dalam hal pengaturan lokasi penguburan, rumah duka dapat saja menyediakan lokasi untuk penguburan dengan penataan yang indah dan apik sehingga menjadi tempat yang nyaman ketika berziarah sekaligus berkisah dalam kenangan pada mereka yang dikuburkan di lokasi itu
  • Dalam hal  edukasi, secara psikologis anggota keluarga yang berduka dapat saja menerima layanan trauma healing, yakni penyembuhan psikologis akibat kecemasan, kepanikan  dan lain-lain gangguan yang kiranya dapat saja melemahkan fungsi-fungsi organ tubuh.

Dalam hal yang terasa praktis tentulah ada pada pembiayaan. Keluarga berduka menyediakan anggaran untuk menyewa. Bukankah sifat gotong royong masih melekat walau individualisme mulai merambah kehidupan masyarakat perkotaan. Semoga saya keliru dalam observasi.

Masyarakat adat Pah Amarasi mempunyai satu frasa istilah maets ii prenat,, artinya secara harfiah, kematian itu memberi perintah. Maka, tidak mengherankan bila seseorang meninggal dunia di dalam wilayah masyarakat adat Pah Amarasi, kelompok pemangku kepentingan duduk bersama untuk mengurus jenazah yang disebut uismina' ~ tuan minyak. Sang Uismina' lah yang "memberi perintah" agar orang-orang yang masih hidup mengurus sedemikian rupa agar terhormat pada saat upacara penguburan, dan mulialah mereka yang menguruskan secara baik oleh karena terlihat oleh keluarga-keluarga yang datang melayat sekaligus menghibur dan menguatkan.

Para pemangku kepentingan itu antara lain:

Pertama Pemerintah desa/kelurahan yang duduk bersama wakil keluarga duka untuk mengurus:

  • Lubang/liang kubur; oleh karena mobilisasi anggota masyarakat untuk menyiapkan lubang kubur dilakukan oleh perangkat desa/dusun
  • Mengutus pembawa kabar kedukaan yang disebut haef.
  • Mengurus tenda dan perlengkapannya
  • Mengurus konsumsi 
  • Menutup lubang kubur setelah jenazah ditempatkan di dalamnya
  • Urusan administrasi  

Kedua,  Institusi keagamaan

  • Kesiapan ibadah dalam masa berkabung
  • Jadwal upacara penguburan dan upacaranya

Nah, ini terjadi di pedesaan, bayangkanlah hal ini terjadi di kota.

Masyarakat perkotaan telah melek informasi dan lain-lain sehingga kabar kematian seseorang tidak harus disebar dengan mengirim haef. Cukuplah dengan medsos, telepon, pesan WhatsApp dan lain-lain. Sementara hal-hal lain, kerelaan tetangga untuk menyiapkan tenaga dan waktu untuk turut serta dalam suasana duka. 

  

Penutup

Artikel ini hanyalah olah pikir saja. Inspirasi muncul ketika ikut dalam satu acara mete di salah satu sudut kota Kupang. Pemukiman padat penduduk oleh karena berada di perumahan yang disediakan oleh Pengembang. Lalu muncul pertanyaan, mengapa pengembang tidak menyediakan fasilitas umum untuk penghuni perumahan?

Saatnya kini agar Pemerintah Daerah (kota, Kabupaten) mewajibkan Pengembang untuk menyediakan fasilitas umum untuk kepejingan masyarakat. FAsilitas umum seperti:

  • Lapangan olahraga dalam ukuran tertentu
  • Tempat rekreasi sederhana dengan spor menarik
  • Rumah ibadah dalam ukuran tertentu
  • Auditorium yang serba guna: hajatan penghuni perumahan termasuk bila berduka
  • Fasilitas kesehatan seperti Balai Pengobatan atau Klinik
  • dan mungkin ada yang lain

Hehe...

Maafkan saya yang telah menulis seperti ini. Mari memberi respon dengan mengisi kolom komentar. Terima kasih.

Umi Nii Baki-Koro'oto, 18 September 2024

Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun