Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menangisi Kebodohan Merenda Kekecewaan

11 September 2024   14:38 Diperbarui: 11 September 2024   15:02 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di tempat penguburan jenazah; foto dokpri Roni Bani

Rasanya judul ini amat dramatis, tetapi biarlah tetap seperti itu agar menjadi catatan yang mengingatkan tentang peristiwa yang memilukan. Peristiwa mana diawali tubuh yang didera penyakit, penanganan yang amat sangat lambat dan akhirnya harus menangisi jenazah.

Tiga contoh hal yang Berdampak pada Kematian


Pertama. Seorang gadis menamatkan kuliahnya. Ia seorang bakal guru oleh karena menyelesaikan pendidikannya pada lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Sebagai seorang perempuan muda, ia jatuh cinta pada seorang pemuda yang mencintainya. Sayangnya sang pemuda hanya menggombali hingga hamil di luar pernikahan/perkawinan sah. Anaknya pun lahir, dan pemuda itu tidak bertanggung jawab.

Beberapa waktu kemudian ibu muda ini jatuh sakit. Ia mendapatkan perawatan dengan pendekatan rawat jalan pada satu balai pengobatan terdekat. Berkali-kali ke balai pengobatan, sakit yang menderanya tidak kunjung sembuh. 

Satu kali sempat diantarkan ke rumah sakit. Ia mendapat perawatan dan diizinkan pulang dengan pesan untuk melakukan kontrol atas kondisinya. Sungguh disayangkan, pesan ini diabaikan hingga pada titik waktu berikutnya ia jatuh sakit lagi dan makin parah.

Dalam kondisi yang sudah amat parah, keluarga mendorong ayah-ibunya untuk membawanya ke rumah sakit. Ayah-ibunya tidak turut serta, anggota keluarga dan teman-temannya yang menguruskan di rumah sakit. 

Perawatan di rumah sakit berlangsung baik, namun kondisi tubuh makin lemah. Ibu muda yang menjadi pasien ini terus mengeluh dan belisah. Setelah beberapa hari di rumah sakit, paramedis pun angkat tangan dengan pernyataan, "Kami sudah sampai di titik maksimal!"

Setelah pernyataan itu, dalam hitungan kurang dari satu jam, ia menghembuskan nafasnya.

Tangis pun merebak. sumber 

Kedua. Seorang pemuda idaman terlihat amt sehat, bercita-cita menjadi anggota TNI AD. Cita-citanya ini disampaikan kepada Gembala Sidang ketika Sang Gembala memintanya menjadi salah satu pekerja di lingkungan Pastorian di kampungnya. Ia tidak menolak tetapi masih merindukan untuk menggapai cita-citanya.

Tahun berselang kemudian, ia gagal menjadi anggota TNI AD karena beberapa faktor, di antaranya dokumen kependudukannya tidak lengkap. Orang tuanya belum menikah sah bahkan secara hukum adat perkawinan pun belum ada yang menguruskan mereka. Ibunya telah lama meninggalkan mereka, sang ayah memilih perempuan lain dan telah mempunyai anak tanpa ikatan perkawinan sah.

Sang pemuda tidak kecewa atas kegagalannya untuk meraih cita-cita. Ia kembali dan menerima tugas sebagaimana ditawarkan kepadanya oleh Sang Gembala.

Ia dikukuhkan di hadapan jemaat dalam satu upacara menurut dogma dan liturgi yang dianut. 

Belum seminggu usia pengukuhannya, ia jatuh sakit yang sangat mencemaskan. Penyakit yang mendera tubuhnya tak memberi peluang untuk upaya pencegahan, kecuali harus ke fasilitas kesehatan terdekat dan sangat besar kemungkinannya untuk dirujuk. Semangatnya menjadi rapuh, orang  dalam lingkaran rumah tangga itu pun linglung.

Dalam kelimpungan itu, Sang Gembala dan rekan-rekan mendorong teramat kuat untuk membawanya ke fasilitas kesehatan terdekat, namun ditolak secara halus atas alasan yang tak dapat diterima akal sehat. Menurut ayahnya, pemuda ini diserang orang pintar komplikasi angin jahat. Maka, langkah pengobatan yang ditempuh yakni membawanya ke tempat perawatan alternatif.

Di rumah tempat perawatan alternatif, doa didaraskan, mulut mengunyah ramuan obat yang selanjutnya disemburkan pada tubuh yang lemah.

Bukannya terjadi perubahan yang menunjukkan tanda-tanda kesembuhan, ia justru makin parah, dan sudah tidak dapat menelan bubur sekali pun. Lalu atas desakan keluarga dan  Sang Gembala bersama rekan-rekannya, ia dibawa ke kota untuk menuju ke rumah sakit. Ternyata, mereka membelokkannya.

Sang Gembala mendahului untuk menanti di kota agar segera membawa pasien ke rumah sakit, namun penantiannya menjadi hambar. Anggota keluarga yang membawa pasien justru menitipkannya di rumah saudara mereka yang menetap di kota.

Sang Gembala akhirnya harus mencari pasien yang juga rekan kerja. Ia menemukannya sudah sekarat, namun dipaksakan untuk dibawa ke rumah sakit, tetapi untung tak diraih, malang sajalah yang diterima.

Sang Gembala menangis dalam sambuannya ketika upacara penguburan jenazah. Ia sungguh-sungguh menyampaikan suara gembala dengan derai air mata. Ia sungguh sangat berharap agar tidak terjadi lagi peristiwa yang sama yakni keteledoran anggota keluarga membawa pasien ke rumah sakit.

Siapa yang mendengarkan?

Ketiga.   Seorang gadis terlihat sehat-sehat saja. Ia riang pada kesehariannya bersama adik-adiknya di rumah. Bahkan keriangannya bertambah ketika mengetahui bahwa ibunya sedang mengandung seorang calon bayi laki-laki sehingga mereka akan segera mempunyai adik laki-laki yang mungkin satu-satunya di rumah itu. Ia dan dua adiknya semuanya perempuan. Maka, kelahiran seorang adik laki-laki bagi mereka tentulah sangat menyenangkan.

Ia dan teman-temannya riang ke sekolah, bahkan ia menjadi salah satu anggota regu voli dari tim voli sekolahnya. Ketika bermain voli, namanya selalu disebutkan sebagai motivasi yang memberi semangat bertanding.

Tiba-tiba ia jatuh sakit sehari setelah mengikuti resepsi pernikahan sepupunya. Kesibukan orang tuanya atas alasan kelahiran baru menyebabkan anak gadis yang sakit ini tak terurus. 

Ada saat mereka sempat membawanya ke balai pengobatan terdekat, sambil melakukan pengobatan alternatif yang tradisional. Pengobatan dengan cara demikian sangat lazim di dalam masyarakat pedesaan atas alasan: penyakit yang menyerang itu dibuat oleh angin jahat, gangguan orang lain, bahkan racun.

Mereka yang kritis akan bertanya, bagaimana hal itu diketahui? Bagaimana mungkin kunyahan ramuan dari alam tanpa riset, disemburkan kepada tubuh yang sakit, lalu menyembuhkan?

Dikabarkan pasien sempat dibawa keluar kampung hendak menuju rumah sakit. Ternyata, mereka tidak sampai tujuan, justru menyinggahi tempat "orang pintar". Pintar doa dan pengobatan. Lalu si orang pintar menyuruh untuk pulang.

Pagi tiba, penyakit kambuh dan langsung parah. 

Dua pemilik kendaraan dihubungi, salah satunya bersedia mengantar ke rumah sakit. Kendaraan tiba setelah melintas antar desa karena kendaraan di dalam wilayah desa itu telah keluar pada pagi harinya. Pukul 10 pagi mereka siap berangkat, tiba-tiba datanglah rombongan guru hendak mendoakan. Sesudah mendoakan, pasien dibopong ke pikap. Di atas pikap para guru meminta untuk tidak segera berangkat karena kepala sekolah masih di jalan untuk sekadar menengok muridnya yang sakit dan akan ke rumah sakit.

Semua itu berrlangsung bagai "penghambat". Kendaraan bergerak ke kota dalam durasi kurang lebih 2 jam perjalanan. Tiba di lobi rumah sakit, pasien menghembuskan nafas terakhir.

Kini, dari ketiga peristiwa itu kaum yang berpikir kritis memberi simpulan

  • Ayah, ibu, kakak, adik, menangislah dalam kebodohanmu bersama anggota k eluarga sekitarmu. Kamulah yang telah secara perlahan menjadi penyebab kematian anggota keluargamu dalam status anak. Kamulah yang abai pada kesehatan ketika penyakit mendera. Kamu tidak segera memanfaatkan kartu BPJS yang ada padamu, kamu lebih percaya takhyul bahwa penyakit yang mendera itu disebabkan oleh "orang bekin", angin jahat dan racun. Tidakkah paramedis punya metodologi yang tepat dan sistematis untuk mengetahui jenis penyakit, pendekatan pengobatan dan perawatannya?
  • Masyarakat sekitar kecewa. Sangat kecewa. Kekecewaan itu akan dibawa dalam kisah kehidupan bersama. 
  • Akankah masyarakat akan belajar dari pengalaman-pengalaman seperti itu agar segera peduli pasien?

Para sahabat pembaca dapat menambah sendiri simpulan.

Umi Nii Baki-Koro'oto, 11 September 2024

Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun