Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menangisi Kebodohan Merenda Kekecewaan

11 September 2024   14:38 Diperbarui: 11 September 2024   15:02 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di tempat penguburan jenazah; foto dokpri Roni Bani

Ia dan teman-temannya riang ke sekolah, bahkan ia menjadi salah satu anggota regu voli dari tim voli sekolahnya. Ketika bermain voli, namanya selalu disebutkan sebagai motivasi yang memberi semangat bertanding.

Tiba-tiba ia jatuh sakit sehari setelah mengikuti resepsi pernikahan sepupunya. Kesibukan orang tuanya atas alasan kelahiran baru menyebabkan anak gadis yang sakit ini tak terurus. 

Ada saat mereka sempat membawanya ke balai pengobatan terdekat, sambil melakukan pengobatan alternatif yang tradisional. Pengobatan dengan cara demikian sangat lazim di dalam masyarakat pedesaan atas alasan: penyakit yang menyerang itu dibuat oleh angin jahat, gangguan orang lain, bahkan racun.

Mereka yang kritis akan bertanya, bagaimana hal itu diketahui? Bagaimana mungkin kunyahan ramuan dari alam tanpa riset, disemburkan kepada tubuh yang sakit, lalu menyembuhkan?

Dikabarkan pasien sempat dibawa keluar kampung hendak menuju rumah sakit. Ternyata, mereka tidak sampai tujuan, justru menyinggahi tempat "orang pintar". Pintar doa dan pengobatan. Lalu si orang pintar menyuruh untuk pulang.

Pagi tiba, penyakit kambuh dan langsung parah. 

Dua pemilik kendaraan dihubungi, salah satunya bersedia mengantar ke rumah sakit. Kendaraan tiba setelah melintas antar desa karena kendaraan di dalam wilayah desa itu telah keluar pada pagi harinya. Pukul 10 pagi mereka siap berangkat, tiba-tiba datanglah rombongan guru hendak mendoakan. Sesudah mendoakan, pasien dibopong ke pikap. Di atas pikap para guru meminta untuk tidak segera berangkat karena kepala sekolah masih di jalan untuk sekadar menengok muridnya yang sakit dan akan ke rumah sakit.

Semua itu berrlangsung bagai "penghambat". Kendaraan bergerak ke kota dalam durasi kurang lebih 2 jam perjalanan. Tiba di lobi rumah sakit, pasien menghembuskan nafas terakhir.

Kini, dari ketiga peristiwa itu kaum yang berpikir kritis memberi simpulan

  • Ayah, ibu, kakak, adik, menangislah dalam kebodohanmu bersama anggota k eluarga sekitarmu. Kamulah yang telah secara perlahan menjadi penyebab kematian anggota keluargamu dalam status anak. Kamulah yang abai pada kesehatan ketika penyakit mendera. Kamu tidak segera memanfaatkan kartu BPJS yang ada padamu, kamu lebih percaya takhyul bahwa penyakit yang mendera itu disebabkan oleh "orang bekin", angin jahat dan racun. Tidakkah paramedis punya metodologi yang tepat dan sistematis untuk mengetahui jenis penyakit, pendekatan pengobatan dan perawatannya?
  • Masyarakat sekitar kecewa. Sangat kecewa. Kekecewaan itu akan dibawa dalam kisah kehidupan bersama. 
  • Akankah masyarakat akan belajar dari pengalaman-pengalaman seperti itu agar segera peduli pasien?

Para sahabat pembaca dapat menambah sendiri simpulan.

Umi Nii Baki-Koro'oto, 11 September 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun