Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kontroversi Alat Kontrasepsi untuk Remaja, Bagaimana Guru Bersikap?

14 Agustus 2024   09:07 Diperbarui: 14 Agustus 2024   09:13 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.grid.id/

Pengantar

Ketika Indonesia memasuk 79 tahun kemerdekaannya, banyak hal yang menjadi kontroversi dan menyita perhatian publik, di antaranya:

  • Upacara HUT Proklamasi yang diadakan di dua tempat, Istana Merdeka Jakarta dan Ibu Kota Nusantara (IKN)
  • Istana Garuda yang diasumsikan tidak mewakili lambang negara, justru dianggap istana kelelawar hingga plesetan sebagai istana kaum jin
  • Medali yang dibawa pulang oleh atlit peserta Olimpiade Paris.
  • Tiba-tiba Ketua Umum Partai Golongan Karya, Erlangga Hartarto mengundurkan diri; yang diikuti dengan berbagai spekulasi dari pengamat dan ragam opini 
  • Tahapan pemilihan umum kepala daerah: gubernur, walikota dan bupati se-Indonesia...
  • Kasus kematian Vina dan ikutannya di mana Saka Tatal melakukan sumpah pocong, dan beberapa kasus hukum yang viral
  • Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sebagai turunan dari Undang-Undang Kesehatan. PP yang mengundang perhatian publik hingga ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat

Khusus Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang disoroti kini yakni pada pasal yang memuat secara jelas (tersurat) frasa: penyediaan alat kontrasepsi. Menarik.

Alat Kontrasepsi untuk Remaja:  Suatu Tantangan di era digitalisasi

Pemerintah melalui Juru Bicara Kementerian Kesehatan secara jelas dan lantang menyebutkan bahwa frasa penyediaan alat kontrasepsi yang dimaksudkan itu bukan diterimakan atau dibagi-bagikan begitu saja. Maksudnya, alat kontrasepsi itu disediakan hanya kepada remaja yang telah menikah.  Jadi, ada frasa baru yang terdengar diucapkan dan dapat ditulis, remaja yang menikah.

Siapakah remaja itu? Tentulah Kementerian Kesehatan paham bahwa remaja itu. Remaja  artinya, 1.mulai  dewasa, sudah sampai umurnya untuk kawin. 

Menilik arti remaja menurut kamus sebagaimana kutipan ini, terlihat/terbaca bahwa remaja itu seseorang, sekelompok orang yang sebelumnya terlihat anak-anak, di bawah umur tertentu, telah sampai pada pertumbuhan fisik yang dianggap dewasa sehingga ada "izin" padanya (pada mereka) untuk melakukan perkawinan.

Mencermati kata kawin sebagaimana makna tersurat dari kamus, tentulah dipahami bahwa kawin itu satu kata kerja yang menunjukkan kerja fungsi yang berhubungan dengan alat-alat reproduksi. Maka, tentulah di sana yang dimaksudkan yakni, hubungan layaknya suami-isteri sah.

Jika pada saat ini, PP Nomor 28 Tahun 2024 pada pasal "kontroversi" tersurat adanya penyediaan alat kontrasepsi,  tentulah maknanya yakni ketersediaan alat-alat "penghambat dan pencegah" kehamilan pada para remaja ketika mereka melakukan hubungan layaknya suami-isteri. Dalam hal, pemerintah (dhi.Kemenkes) memberi penjelasan bahwa remaja yang disasar yaitu remaja yang telah menikah, maka siapa yang mengawasi remaja yang belum menikah?

Jawaban atas pertanyaan ini yakni; orang tua, dan kaum yang lebih dewasa.

Nah, bagaimana pengawasannya? Dalam hal yang demikian kira-kira akan ada kesulitannya. Mengapa?  Dalam hal pengawasan, tentu ada teori dan opini mengenai hal ini. Kita dapat melakukan apa yang disebut  gugling untuk mendaatkan informasi bahkan mungkin data tentang hal ini. Lalu kita bertanya, siapakah yang sudah mempraktikkannya secara ideal, sementara di dalam lingkungan dunia pendidikan formal dengan eksistensi publik (negeri/swasta), hingga yang berlabel agama pun kadangkala ada saja terjadi pelanggaran terhadap etika dan norma kehidupan, termasuk hubungan layaknya suami-isteri.

Kekuatiran sejumlah pihak, termasuk para punggawa di lembaga legislatif sebagaimana telah disuarakan dalam beberapa hari terakhir patutlah mendapat perhatian.

Wakil Ketua DPR RI, Abdul Fiqri Faqih menyampaikan agar peraturan pemerintah ini perlu dievaluasi dan direvisi. Baginya akan ada dampak buruk dengan adanya peraturan ini. 

"Tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama. Alih-alih menyosialisasikan risiko perilaku seks bebas kepada usia remaja, malah menyediakan alatnya, ini nalarnya ke mana." ungkap Fikri kepada wartawan di Jakarta, pada Senin (5/8/2024). 

Sang Legislator lebih mendorong konseling agar menanam konsep pengetahuan dan menumbuhkan pemahaman kesehatan  dan fungsi alat reproduksi dibanding penyediaan alat kontrasepsi. 

Kementerian Kesehatan tentu tidak berniat membuka peluang "sex bebas" pada kalangan remaja. Oleh karena itu akan dibuatkan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 melalui Peraturan Menteri Kesehatan yang makin teknis. Di dalam peraturan yang makin  teknis itu akan secara jelas dimuat hal-hal edukatif/pendidikanseperti:

  • keluarga berencana pada anak usia sekolah dan remaja yang disesuaikan dengan perkembangan umur/usia
  • layanan kesehatan alat reprodukasi
  • detiksi dini/skrining penyakit pada alat reproduksi
  • pelayanan/pengobatan pada penyakit alat reproduksi
  • dan lain-lain

Jadi kiranya akan dianggap "berlebihan" dalam merespon  peraturan yang baru terbit ini, maka sebaiknya publik dan berbagai pemangku kepentingan menanti dengan sabar perwujudan darinya di lapangan. 

Bagiamana dengan guru di sekolah?

Bila sasaran peraturan ini yakni para remaja sebagaimana yang  "siap kawin" maka tentulah ada pada murid/siswi yang sedang berada di sekolah lanjutan atas. Jadi kira-kira mereka yang telah berumur antara 14 atau 15 tahun ke atas. Sementara murid/siswa/siswi sekolah lanjutan pertama dan sekolah dasar belum dijadikan sasaran dari peraturan ini. Bagaimana mungkin demikian?

Padahal di Sekolah Dasar (Kelas VI), terdapat materi pembelajaran tentang alat reprodukasi. Materi ini diprosesbelajarkan pada Semester pertama. Guru yang jeli memprosesbelajarkan materi ini dengan pendekatan shift, laki-laki dan shift perempuan. Hal ini untuk menghindari saling buli/olok dalam kegiatan belajar-mengajar, dan sesudahnya. Benarlah sikap dan tindakan guru seperti itu, tetapi siapakah yang menjamin bahwa di luar lingkungan sekolah mereka aman-aman saja?

Bukankah dengan pengetahuan seperti itu justru mereka akan melakukan "percobaan" yang diawali dengan porno wicara, porni wiraga (nonton video pendek di HP) yang mengantar imajinasi tentang proses sentuhan alat-alat reproduksi hingga akhirnya porno aksi nyata yang melanggar etika dan norma?

Bagi sekolah yang menghindari materi itu tentulah baik pula, tetapi bagiamana menghindari serbuan media sosial zaman ini yang secara mudah dapat diakses?

Guru yang bijak dapat dipastikan akan beretika dalam hal pembelajaran yang menghubungkan dengan alat reproduksi pada manusia. Bahwa semua itu sangat perlu sebagai pengetahuan, namun pengetahuan yang satu ini selalu berdampak pada praktik nyata. Ia berbeda dengaan pengetahuan lainnya yang masih membutuhkan kesiapan dalam praktiknya. 

Penutup

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 telah ditandatangani oleh Presiden NKRI, Ir. Joko Widodo. Polemik sedang terjadi bahkan di kalangan guru melalui Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia pun angkat bicara. Guru di sekolah baik di perkotaan hingga pedesaan, dan pesisir, daerah tertinggal dan terluar akan ada di ranah pembelajaran yang makin terbebani dengan materi yang satu ini. 

Materi alat-alat reproduksi manusia perlu ada dalam pengetahuan murid (siswa/siswi) dengan segala dampak baik dan buruknya. Melegalkan penggunaan alat kontrasepsi pada kalangan remaja yang sudah menikah, kira-kira sama dengan membiarkan para remaja menikah lalu kepada mereka diwajibkan menggunakan alat kontrasepsi agar mereka dapat:

  • menunda kehamilan
  • menghindari resiko kematian bayi dan ibu hamil/melahirkan
  • memberi ruang dan peluang untuk tetap masuk ke sekolah
  • (lupa) bahwa mereka yang sudah menikah ketika masih duduk di bangku sekolah (SLA) akan menjdi buah bibir

Kira-kira demikian opini saya. Tentulah masih kurang dan ada kelirunya.

Bagaimana opini para sahabat?

Umi Nii Baki-Koro'oto, 14 Agustus 2024

Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara

Sumber:

1. https://kbbi.web.id/remaja

2. https://www.rri.co.id/indepth/431/penolakan-pp-kontrasepsi-remaja-di-kalangan-legislator

3.https://tribratanews.lampung.polri.go.id/detail-post/jokowi-teken-pp-atur-penyediaan-alat-kontrasepsi-bagi-pelajar-dan-remaja#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun