Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudah 79 Tahun Kita Merdeka untuk Apa?

6 Agustus 2024   10:57 Diperbarui: 6 Agustus 2024   11:19 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Tujuh belas Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 10 Jakarta, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta didaulat untuk membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Teks yang teramat singkat, dibuat dalam suasana diskusi/rapat yang melelahkan jiwa dan raga. Ditulis dengan tangan "perkasa" dan keteguhan hati. Bibir yang bergetar dan mata berbinar saat menulis konsep hingga menjadi teks yang sungguh-sungguh diandalkan, diterima oleh peserta rapat.

Gema dan gelombang suara Proklamator memenuhi udara komunikasi dan informasi. Pamflet, surat kabar dan radio mengantar urai catatan dan getar suara pertanda Indonesia telah menggapai merdeka. Indonesia telah sukses mengusir kaum yang menggerogoti kekayaan alam, menindas kaum, puak dan bangsa. Lalu dari hasil kerja yang mengabaikan hak hidup, penjajah membangun negerinya dengan memuja kedigdayaan sebagai panglimanya.

Kedigdayaan itu telah berakhir.  Timbul harapan baru di ranah alam kemerdekaan. Alam yang memberi ruang dan peluang berinovasi dan berkreasi untuk menaikkan martabat bangsa di mata dunia.

Mari Bertanya, untuk Apa Merdeka?

Merdeka!

Satu kata ini saja yang dikejar-kejar selama masa penjajahan berlangsung. Harta di atas permukaan bumi di ambil, kekayaan di dalam perut bumi dikeruk. Manusianya dipaksa melakukan apa yang dikehendaki oleh mereka yang memberi komando, lalu tanpa perikemanusiaan, pemberi komando menyayat, mengiris raga secara perlahan hingga akhirnya merenggang nyawa. Siapa yang tega melihat perlakuan seperti itu?

Merdeka!
Kata ini bukan saja menginspirasi tetapi justru menjadi roh yang menghidupkan. Roh merdeka merasuki kaum intelektual, para ksatria dan srikandi untuk menyuarakan pembebasan diri dari cengkeraman penjajah. Roh itu meledak-ledak di dalam dada hingga menjadikan kaum lemah bangkit. Mereka menjadi kuat dan bersemangat walau di tangan tak bersenjata bedil yang dapat memuntahkan timah panas pencabut nyawa.

Merdeka!
Dikumandangkan agar menghidupkan karsa dan karya. Karsa yang diurai di dalam benak patutlah untuk dikreasikan agar terlihat dalam karya-karya. Karsa yang imajinatif hanya akan mewujud bila mulai dikatakan dan disematkan pada lembar-lembar catatan monografi sejarah. Catatan yang mengantarkan tindakan agar mewujudkan karsa itu bermuara pada karya monumental anak bangsa yang telah meraih merdeka.

Karsa imajinatif dan karya yang mewujud dalam pembangunan semesta berdasarkan Konstitusi bangsa dengan segala prahara di awal masa kemerdekaan. Praktik politik sebagai ejawantah demokrasi bermuara pada trik dan intrik yang hendak melanggengkan kekuasaan, dipangkas dengan surat sakti mandraguna, Supersemar. Satu langkah bijak misterius yang melahirkan polemik bersejarah. Era ini mengakhiri kekuasaan yang mendapat merk politik, Orde Lama (Orla) dengan segala pasang-surutnya.

Sejarah terus berlangsung dalam urai waktu yang tidak akan berhenti. Bangsa dan negara ini  tidak sedang stagnan manakala demokrasi dan segala keadaan sosial mengganggu. Kondisi alam yang telah tereksploitasi atas nama pembangunan yang berdampak pada berbagai bencana, masih akan terus menyapa bangsa ini. Konteks dan perkembangan komunikasi dan informasi dari dunia luar baik bilateral maupun multilateral untuk kesetaraan hendak menjamin kehidupan yang damai di planet bumi ini. Maju, maju walau seret jalannya pun harus terus maju.

Merdeka!
Dia telah menjadikan bangsa ini melewati fase-fase pembangunan semesta berencana dengan garis-garis besar haluan negara (GBHN). GBHN sebagai wujud dari pelaksanaan pasal konstitusi berlangsung dalam masa apa yang disebut Orde Baru (Orba). Orba "mengebiri" hak bicara dan suara ke dalam partai politik yang terbatas dan satu golongan masyarakat berisi kaum elit. Pasal konstitusi tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat lisan dan tulisan tersurat, namun disiratkan dalam praktiknya atas nama stabilitas.

Stabilitas politik, mengantarkan bangsa ini memilih hanya seorang saja sebagai pemimpin tertinggi hingga pendekatan melegitimasi kroni dalam jabatan-jabatan penting dan prioritas. Para kroni tersenyum dan dengan langkah ringan keluar dari ruangan mewah berhawa sejuk sambil mengisi kantong-kantong dengan usaha membangun di berbagai sektor. Mereka menjadi penguasa lahan ekonomi dan menjadikan masyarakat objek "penjajahan" baru atas nama pembangunan berkesinambungan untuk kesejahteraan yang adil dan makmur.

Transmigrasi berhasil mensejahterakan banyak transmigran terutama yang secara beramai-ramai melakukan bedol desa. Mereka menjadi pelaku ekonomi baru di lokasi dengan membawa semangat pembaharuan di sana hingga membentuk kota-kota baru yang mengantar generasi baru di sana hingga tiba pula di berbagai bidang dan sektor. Mereka yang merasa "disengsarakan" lari terbirit-birit meninggalkan kekayaan yang diserahkan negara kepada mereka, sambil mencoba peruntungan baru.

Bedol desa meninggalkan lahan kosong, selanjutnya digenangi agar ada waduk-waduk yang kelak dapat mengairi area persawahan seluas mungkin. Politik pemberasan, beras mengantarkan masyarakat mencapai swasembada pangan. Sungguhkah itu? Tentu saja, bahkan Badan pangan dunia mengakuinya, tetapi dimanakah kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan itu?

Pancasila dihidupkan laksana agama baru di ranah sekularisme. Setiap warga negara wajib mengikuti penataran pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila. Ayat-ayat diturunkan dari 5 butir pancasila menjadi 36 butir yang dihafalkan selalu bahkan oleh mereka yang duduk di birokrasi mulai dari  pelaksana hingga pengambil keputusan yang bijaksana, dari pejalan kaki hingga mereka yang terbang dan duduk manis di dalam pesawat, atau yang sedang mengayuh sampan, hafalannya sama dengan mereka yang duduk di kapal mewah.

Siapa yang dapat menghalau lajunya jargon stabilitas di segala bidang dengan sejumlah asas pembangunan dan berbagai operasi di wilayah rawan konflik? Kritik bagai dibungkam dan intrupsi dalam sidang-sidang badan legislatif, tabu. Bila ada kalimat atas petunjuk bapak, mana mungkin lembaga legislatif yang terdiri dari anggota dewan terpilih, utusan daerah, golongan dan angkatan bersenjata akan bersuara?

Semua langkah bijak dalam masa merdekanya Orde Baru pupus ketika kaum kritikus di jalanan mengobarkan api reformasi. Korban berjatuhan menyisakan pilu keluarga-keluarga korban. Para pegiat hak asasi manusia dan demokrasi makin berani tampil, garang dan garing suara mereka di panggung-panggung dan ruang-ruang diskusi.

Ruang sidang lembaga legislatif tertinggi akhirnya memutuskan untuk melegitimasi pemimpin tertinggi baru menggantikan pemimpin berdarah dingin dengan wajah selalu senyum indah. Gambaran kehidupan sang pemimpin merakyat di tengah kemelaratan rakyatnya yang jelata. 

Pembangunan semesta berencana dengan GBHN dan pembangunan lima tahun (pelita) pun berhenti sejenak. Kesejenakan ini tidak berlangsung lama oleh karena transisi pemegang kendali mengantarkan satu wilayah mengucapkan selamat tinggal dan berpisah dari negara kesatuan Republik Indonesia. Kelahiran negara baru di tengah perubahan suasana bathin  bangsa dan negara memasuki reformasi. Reformasi yang hendak melakukan pembenahan formasi-formasi kelembagaan dan institusi yang akan menatakelola sumber daya untuk mencapai visi bangsa dan negara yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

Undang-Undang Dasar 1945 pun mendapat sentuhan perubahan (amandemen). Siapa menduga jika dalam waktu yang amat pendek telah terjadi pergantian kepemimpinan Nasional? Lebih cepat daripada masa kepemimpinan sebelumnya yang sangat lama menduduki singgasana istana negara. Pucuk kepemimpinan nasional berganti dengan gerakan teramat cepat untuk segera melakukan perubahan pada pasal-pasal konstitusi. Kecepatan karya para legislator akhirnya menghapus lembaga tertinggi dan menyisakan lembaga-lembaga tinggi saja, dan menghapus pula salah satu lembaga tinggi untuk selanjutnya masuk dalam kenangan sejarah.

Merdeka!
Merdeka menjadi ruang dan peluang untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara serta jalinan dengan bangsa dan negara lainnya. Merdeka dalam masa reformasi membawa perubahan yang teramat cepat sambil memberi kebingungan dan kebimbangan pada segala lapisan kaum. Kaum terpelajar melahirkan para kritikus yang menggunakan busana pengamat yang jeli melihat persoalan bangsa dan sedikit memberi solusi. Kaum konglomerat makin mendekat kepada sumber-sumber kehangatan untuk terus menghangatkan usaha agar tumbuh dan berkembang lagi setelah krisis ekonomi. Lapisan kaum mana pun berupaya agar eksistensi diri mereka muncul ke permukaan yang akan mendapatkan perhatian. 

Pemilihan umum secara lamgsung diadakan. Mereka yang duduk manis di dalam badan legislatif tidak lagi mewakili konstituen untuk memilih pemimpin baik di pusat maupun di daerah-daerah. Pemilihan umum dengan anggaran triliunan bagai biasa saja  karena hal itu menjadi kebutuhan dan memenuhi kepentingan bangsa dan sebagaimana diamanatkan konstitusi hasil perubahan.

Mereka yang akan dipilih "menjual diri"  sedemikian rupa dengan pemanis bibir yang tiada duanya walau sesungguhnya mereka sendiri bukan saja menjual tetapi juga melakukan transaksi membeli dan meminta-minta. Mereka menyebutkannya sebagai praktik politik yang wajar saja di alam demokrasi.

Praktik hukum di ruang-ruang sidang dengan warna ragam celoteh demonstrasi. Ini terjadi pada masa di mana orang bebas bersuara atas nama demokrasi. Demokrasi memberi ruang untuk bersuara di ruang-ruang publik dengan bertanggung jawab. Bila lidah menyelipkan kata dan frasa keteledoran, maka pisau pasal undang-undang menanti.

Loncatan cukup tinggi dan sekaligus mengantar lompatan maju ketika covid-19 membawa bangsa ini segara masuk ke area digitalisasi. Dunia pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan sosial bergemuruh dalam kecemasan. Jarak jauh didekatkan dengan alat bantu; mereka yang dekat makin dijauhkan atas nama komunikasi dan mengakses informasi dengan akselerasi terbaik.

Ya. Kita telah merdeka. Merdeka untuk melakukan apa saja yang dirasakan memberi ruang kemajuan pada berbagai sisi kehidupan bangsa. 

 Penutup

Ketika tiba pada umur yang ke 79, ada makna filosofis yang dipanggungkan dalam simbol angka 79 bersama tema Nusantara Baru Indonesia Maju. Ada 7 makna di dalam angka 79 yang digambarkan dalam tema itu. Ketujuh makna itu yakni:

  • negara kepulauan
  • lambang negara
  • pertumbuhan ekonomi
  • keberlanjutan
  • ekonomi hijau
  • persatuan dan harapan
  • kesetaraan

Kita sedang memasuki era baru ketika ibukota negara pindah dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara. Apakah IKN adalah satu nama atau sebutan tertentu dan nama baru akan disebutkan dengan peraturan lainnya?

Bila kita bersurat, mungkinkah akan dimulai dengan kalimat penanggalan, Ibukota Nusantara, 17 Agustus 2024?

Salam Merdeka. Nusantara Baru Indonesia Maju

Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun