Pengantar
Komisi Pemilihan Umum telah mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota tahun 2024. Dalam lampiran PKPU ini terdapat tahapan dan jadwal, yang di antaranya dapat dikutip sebagai berikut:
- Pengumuman Pendaftaran Pasangan Calon, 24 - 26 Agustus 2024
- Pendaftaran Pasangan Calon, 27 - 29 Agustus 2024
- Penelitian Persyaratan Calon, 27 Agustus - 21 September 2024
- Penetapan Pasangan Calon, 22 September 2024
- Pelaksanaan Kampanye, 25 September - 23 November 2024
- Pemungutan Suara, 27 November  2024 (Sumber: PKPU No. 2 tahun 2024)
Sampai di sini kutipan tahapan dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum serentak untuk jabatan gubernur dan wakil gubernur untuk 37 propinsi, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota untuk 500-an kabupaten/kota.
Di semua propinsi, kabupaten dan kota yang akah menghelat pemilu kepala daerah, sudah sedang dalam persiapan menuju ke hari yang dinanti-nantikan itu. Pada banyak tempat termpampang baliho, stiker, medsos dan lain-lain pendekatan untuk mensosialisasikan figur yang diharapkan akan mendapatkan point keterpilihan bila sedang masuk dalam radar survey elektabilitas oleh partai politik.
Semua jalinan dan rajutan pendekatan diarahkan untuk menggapai sukses dan menang. Pada saat yang sama orang mengenakan pakaian tradisional (pakaian adat) sebagai cara bermartabat untuk menjunjung budaya. Mungkinkah  cara itu sebagai pendekatan yang tepat untuk mendeskripsikan keberadaan dan keasalan kandidat? Tidakkah sika dan tindakan yang demikian justru mengarusutamakan etnis dan entitas budaya sendiri dengan mengabaikan yang lainnya? Lalu bagaimana merajut persatuan dan kesatuan bangsa di daerah agar nasionalisme terbangun?
Kebudayaan Daerah sebagai Kebudayaan Nasional
Sudah dalam pengetahuan umum bahwa kebudayaan daerah di berbagai daerah menjadi kebudayaan nasional bangsa ini.  Koentjaraningrat, mendefinisikan  budaya (kebudayaan) sebagai semua sistem ide, gagasan, rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan klaim dengan cara belajar.
Secara teoritis, kebudayaan memiliki ciri-ciri yang khas dan general sebagaimana Kluckhohn (1989). Â Ia mencatat 7 unsur yang membentuk suatu kebudayaan:
- Bahasa
- sistem pengetahuan
- sistem relegi/kepercayaan
- sistem mata pencaharian
- sistem teknologi
- sistem kemasyarakatan, dan
- kesenian
 Semua ini menjadi ciri pembeda  sekaligus entitas dari etnis mana kebudayaan itu muncul.
Dalam catatan sejarah sosial oleh https://kumparan.com ciri kebudayaan sebagai berikut:
- Menunjukkan karakteristik daerah yang khas
- Menyandang tradisi dan adat-istiadat yang unik
- Mempertahankan unsur budaya asli/orisinil
- Diikuti dan dijunung tinggi oleh komunitas/warga daerah
- Terdapat bahasa dan seni yang khas
- Terdapat unsur kepercayaan yang dianut
- Mempunyai warisan sejarah yang bernilai
Dari dua catatan ciri-ciri yang umum tentang kebudayaan, dapat dilihat bagaimana zaman ini masyarakat memaknai, menyikapi dan menentukan langkah tindakan yang tepat pada kepemilikan kebudayaan itu.
Bila para kandidat (gubernur, bupati, walikota) mengenakan pakaian tradisional dengan tujuan "memancing" simpati calon pemilih, bukankah hal itu akan jatuh pada mereka yang se-etnis?
Tengoklah di mana-mana zaman ini ada euforia berpakaian tradisional ketika Presiden NKRI Ir. Joko Widodo mulai "mempromosikan" baik langsung maupun tidak langsung pakaian tradisional. Semua pemerintah daerah bergegas menghidupkan kelompok-kelompok tenun ikat. Ekonomi masyarakat tumbuh dari aspek yang satu ini. Tentu dibutuhkan riset lanjutan untuk memastikan dampak dari "promosi" Sang Presiden pada pakaian tradisional.
Para kandidat (gubernur, bupati, walikota) pun turut andil dalam mempromosikan produk lokal yang satu ini. Baliho dan video-video sosialisasi diri bertebaran di mana-mana dengan tampilan khas pakaian tradisional. Tampilan yang demikian secara langsung maupun tidak langsung, menurut saya, sedang mendegradasi etnis lain dan mengarusutamakan etnis sendiri.
Pasangan kandidat sekali pun bila mengenakan hanya satu jenis pakaian tradisional atau dua jenis oleh karena mereka berasal dari etnis berbeda, maka etnis lainnya pun akan tergeser secara tidak langsung. Tidakkah hal ini menyebabkan "sentimen" etnis makin meruncing?
Saya mencoba memberi pandangan pada kikisan kebudayaan.
Saya mulai dengan pertanyaan, apakah kebudayaan masyarakat adat tiap etnis dengan entitas dan identitasnya sedang berada di jalur pelestariannya? Tidakkah kebudayaan modern sedang menggerus kebudayaan tradisional?
Mari menengok sejenak  ancaman terhadap produk kebudayaan:
- Sistem bahasa; Bahasa Nasional sebagai pengantar antar etnis berbeda di Indonesia makin variatif kosa kata yang dimiliki ketika para pesohor mengadopsi kata-kata berbahasa asing dan bahasa daerah. Hal mengadopsi kata dan frasa hingga kalimat bukan tabu, namun sangat mungkin untuk menggeser posisi berbahasa Indonesia sebagai tuan di rumahnya sendiri. Pada saat yang sama, bahasa daerah di berbagai kalangan etnis mulai digerus ketika tsunami bahasa asing ditempatkan sebagai prioritas yang menunjukkan martabat dan pengetahuan luas dari penuturnya. Beberaa kalangan kategorial profesi menggunakan bahasa gaul yang menunjukkan adaptasi pada zaman, terlebih orang menggunakan pesan singkat baik melalui tulisan maupun video pendek.Â
- Sistem pengetahuan dan perlengkapan/peralatan. Pengetahuan yang bernuansa lokal mulai digerus ketika produk industri modern membanjiri pasar dan ruang publik. Pengetahuan dan kearifan lokal akan dimarginalkan hingga pemilik pengetahuan itu sendiri malu menggunakannya. Contohnya, kendaraan. Kuda, delman perlahan muai pergi dari ingatan. Â Peralatan kerja manual digeser digantikan pendekatan elektrik, robot dan kecerdasan buatan
- Tatanan Organisasi Sosial. Organisasi sosial yang sifatnya informal/kekerabatan akan pudar perlahan digantikan dengan organisasi sosial yang mengarah kepada kepentingan golongan yang satu ide, visi, misi dan tujuan yang hendak dicapai baik dalam rentang waktu pendek maupun rentang waktu panjang. Anggota kekerabatan informal yang genealogis yang berseberangan ide/gagasan akan diabaikan, digantikan mereka yang non genealogis atas alasan menjalin persatuan dan kesatuan antar etnis dan komunitas. Bila etnis diprioritaskan maka kaum primordial meneriakkan yel-yel tuan di negeri sendiri sambil mengabaikan etnitas etnis lainnya.
- Mata pencaharian dan sistem religi. Mata pencaharian yang tradisional seperti tani, nelayan, dan peternak akan diupayakan untuk tetap bertahan dengan suntikan pengetahuan dan ketrampilan baru terbaharukan. Intensifikasi dan ekstensifikasi diperhebat, bahkan akselerasi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan dan ternak dipaksa untuk cepat tiba pada musim menuainya. Tanah akan makin digenjot untuk menghasilkan dalam waktu singkat. Nelayan akan menggunakan segala cara untuk membawa hasil laut ke darat demi memenuhi kebutuhan hidup. Pada saat yang sama iman dan takwa hanyalah ujaran menarik pada setiap awal sambutan, lalu berbalik melalukan kemaksiatan sosial, politik dan ekonomi. Kaum agamis terlihat saleh ketika ayat -ayat kitab suci dikumandangkan, lalu gesekan antar penganut agama diabaikan atau cenderung dikipasbesarkan agar ibadah kaum minoritas tiada beroleh tempat.
- Kesenian. Dalam hal produk berkesenian; produk yang sifatnya tradisional dipreteli atas alasan kreasi baru; nilai yang terkandung di dalamnya diupayakan untuk tetap ada. Berkesenian itu tidak stagnan hanya pada musik, tari dan lagu, namun produk sinema/film, foto, lukisan, patung pahatan dan ukiran serta produk lainnya diperhebat demi menaikkan gengsi kreatornya dengan sedikit tak meliirik entitas etnis. Dalam zaman digitalisasi, akun individu melalui beragam aplikasi muncul di mana-mana. Tiap individu mampu menampilkan kreasi-kreasi baru yang diasumsikan sebagai "kesuksesan". Maka di sana ada selebgram, tiktoker, dan lain-lain.
Dalam hal pencalonan para pemimpin di daerah (gubernur, bupati, walikota dan masing-masing dengan pasangannya); apakah mereka memiliki vis kebudayaan yang terselipkan sehingga muncul dalam misi dan program strategisnya?
Semoga saja.
Ayo sahabat pembaca silahkah mencoba menelusur, mungkinkah ada visi, misi dan program strategis yang dipublis?
Belum banyak ditemukan visi, misi dan program strategis dari para kandidat yang sudah mendaftar di KPU pada jenjangnya masing-masing. Visi, misi dan program strategis tentu menjadi salah satu prasyarat yang harus dipenuhi ketika mendaftar ke KPU. Maka, akan menjadi menarik bila dipublikasikan, walau dalam bentuk parafrase yang dibuat oleh para juru warta.
Siapakah di antara para kandidat yang akan memberi atensi pada produk kebudayaan, atau justru membiarkan kebudayaan itu berjalan sendiri entah bersisian dengan pembangunan berkelanjutan atau tertatih di belakangnya?
Penutup
Ajang pemilihan umum kepala daerah provinsi,kabupaten dan kota selalu menarik pada zamannya. Pada masa Orde Baru ketika para kepala daerah dipilih oleh dewan perwakilan rakyat daerah, visi, misi dan program strategis tidak diperlukan. Para kepala daerah terpilih akan mengacu kepada Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sambil menyesuaikan dengan kondisi daerah. Maka mereka menyusun program yang sesuai GBHN untuk konteks daerah.
Pada masa Reformasi ketika para kepala daerah dipilih langsung oleh pemegang hak suara, maka visi, misi, dan program strategis harus disosialisasikan hingga dikampanyekan. Sosialisasi dan kampanye ketiga hal ini setelah mendapat pengesahan dari komisi pemilihan umum. Pasangan calon yang sudah resmi berhak menyodorkan visi, misi dan program strategis ke hadapan publik.
Kita nantikan saja di tiap daerah provinsi, kabupaten dan kota.
Umi Nii Baki-Koro'oto, Â 31 Agustus 2024
Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H