Tengoklah di mana-mana zaman ini ada euforia berpakaian tradisional ketika Presiden NKRI Ir. Joko Widodo mulai "mempromosikan" baik langsung maupun tidak langsung pakaian tradisional. Semua pemerintah daerah bergegas menghidupkan kelompok-kelompok tenun ikat. Ekonomi masyarakat tumbuh dari aspek yang satu ini. Tentu dibutuhkan riset lanjutan untuk memastikan dampak dari "promosi" Sang Presiden pada pakaian tradisional.
Para kandidat (gubernur, bupati, walikota) pun turut andil dalam mempromosikan produk lokal yang satu ini. Baliho dan video-video sosialisasi diri bertebaran di mana-mana dengan tampilan khas pakaian tradisional. Tampilan yang demikian secara langsung maupun tidak langsung, menurut saya, sedang mendegradasi etnis lain dan mengarusutamakan etnis sendiri.
Pasangan kandidat sekali pun bila mengenakan hanya satu jenis pakaian tradisional atau dua jenis oleh karena mereka berasal dari etnis berbeda, maka etnis lainnya pun akan tergeser secara tidak langsung. Tidakkah hal ini menyebabkan "sentimen" etnis makin meruncing?
Saya mencoba memberi pandangan pada kikisan kebudayaan.
Saya mulai dengan pertanyaan, apakah kebudayaan masyarakat adat tiap etnis dengan entitas dan identitasnya sedang berada di jalur pelestariannya? Tidakkah kebudayaan modern sedang menggerus kebudayaan tradisional?
Mari menengok sejenak  ancaman terhadap produk kebudayaan:
- Sistem bahasa; Bahasa Nasional sebagai pengantar antar etnis berbeda di Indonesia makin variatif kosa kata yang dimiliki ketika para pesohor mengadopsi kata-kata berbahasa asing dan bahasa daerah. Hal mengadopsi kata dan frasa hingga kalimat bukan tabu, namun sangat mungkin untuk menggeser posisi berbahasa Indonesia sebagai tuan di rumahnya sendiri. Pada saat yang sama, bahasa daerah di berbagai kalangan etnis mulai digerus ketika tsunami bahasa asing ditempatkan sebagai prioritas yang menunjukkan martabat dan pengetahuan luas dari penuturnya. Beberaa kalangan kategorial profesi menggunakan bahasa gaul yang menunjukkan adaptasi pada zaman, terlebih orang menggunakan pesan singkat baik melalui tulisan maupun video pendek.Â
- Sistem pengetahuan dan perlengkapan/peralatan. Pengetahuan yang bernuansa lokal mulai digerus ketika produk industri modern membanjiri pasar dan ruang publik. Pengetahuan dan kearifan lokal akan dimarginalkan hingga pemilik pengetahuan itu sendiri malu menggunakannya. Contohnya, kendaraan. Kuda, delman perlahan muai pergi dari ingatan. Â Peralatan kerja manual digeser digantikan pendekatan elektrik, robot dan kecerdasan buatan
- Tatanan Organisasi Sosial. Organisasi sosial yang sifatnya informal/kekerabatan akan pudar perlahan digantikan dengan organisasi sosial yang mengarah kepada kepentingan golongan yang satu ide, visi, misi dan tujuan yang hendak dicapai baik dalam rentang waktu pendek maupun rentang waktu panjang. Anggota kekerabatan informal yang genealogis yang berseberangan ide/gagasan akan diabaikan, digantikan mereka yang non genealogis atas alasan menjalin persatuan dan kesatuan antar etnis dan komunitas. Bila etnis diprioritaskan maka kaum primordial meneriakkan yel-yel tuan di negeri sendiri sambil mengabaikan etnitas etnis lainnya.
- Mata pencaharian dan sistem religi. Mata pencaharian yang tradisional seperti tani, nelayan, dan peternak akan diupayakan untuk tetap bertahan dengan suntikan pengetahuan dan ketrampilan baru terbaharukan. Intensifikasi dan ekstensifikasi diperhebat, bahkan akselerasi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan dan ternak dipaksa untuk cepat tiba pada musim menuainya. Tanah akan makin digenjot untuk menghasilkan dalam waktu singkat. Nelayan akan menggunakan segala cara untuk membawa hasil laut ke darat demi memenuhi kebutuhan hidup. Pada saat yang sama iman dan takwa hanyalah ujaran menarik pada setiap awal sambutan, lalu berbalik melalukan kemaksiatan sosial, politik dan ekonomi. Kaum agamis terlihat saleh ketika ayat -ayat kitab suci dikumandangkan, lalu gesekan antar penganut agama diabaikan atau cenderung dikipasbesarkan agar ibadah kaum minoritas tiada beroleh tempat.
- Kesenian. Dalam hal produk berkesenian; produk yang sifatnya tradisional dipreteli atas alasan kreasi baru; nilai yang terkandung di dalamnya diupayakan untuk tetap ada. Berkesenian itu tidak stagnan hanya pada musik, tari dan lagu, namun produk sinema/film, foto, lukisan, patung pahatan dan ukiran serta produk lainnya diperhebat demi menaikkan gengsi kreatornya dengan sedikit tak meliirik entitas etnis. Dalam zaman digitalisasi, akun individu melalui beragam aplikasi muncul di mana-mana. Tiap individu mampu menampilkan kreasi-kreasi baru yang diasumsikan sebagai "kesuksesan". Maka di sana ada selebgram, tiktoker, dan lain-lain.
Dalam hal pencalonan para pemimpin di daerah (gubernur, bupati, walikota dan masing-masing dengan pasangannya); apakah mereka memiliki vis kebudayaan yang terselipkan sehingga muncul dalam misi dan program strategisnya?
Semoga saja.
Ayo sahabat pembaca silahkah mencoba menelusur, mungkinkah ada visi, misi dan program strategis yang dipublis?
Belum banyak ditemukan visi, misi dan program strategis dari para kandidat yang sudah mendaftar di KPU pada jenjangnya masing-masing. Visi, misi dan program strategis tentu menjadi salah satu prasyarat yang harus dipenuhi ketika mendaftar ke KPU. Maka, akan menjadi menarik bila dipublikasikan, walau dalam bentuk parafrase yang dibuat oleh para juru warta.
Siapakah di antara para kandidat yang akan memberi atensi pada produk kebudayaan, atau justru membiarkan kebudayaan itu berjalan sendiri entah bersisian dengan pembangunan berkelanjutan atau tertatih di belakangnya?