Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Liku-laku Urai Keringat, Tawa, dan Resah Menuju Soliu Amfo'an

23 Juni 2024   19:14 Diperbarui: 23 Juni 2024   19:44 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungai yang mengular, bebukitan menghijau di sepanjang aliran sungai; foto: Roni Bani

Pengantar

Saya bukanlah traveler, penjelajah, bukan pula back packer, namun sewaktu-waktu haruslah meninggalkan kampung untuk kepentingan yang mendesak, baik itu kepentingan tugas maupun kepentingan keluarga. 

Wilayah Amfo'an (Amfoang Raya) yang telah dimekarkan menjadi 6 kecamatan dengan seribuan cerita menarik dan menggelisahkan selalu ada di bibir orang-orang yang pernah berkunjung ke sana. Cerita-cerita itu akan diperkuat oleh mereka yang tinggal di wilayah itu atau yang bertugas atas penugasan negara/daerah. Sebaliknya cerita-cerita itu dapat saia dilemahkan atau diabaikan, dianggap bohong jika mungkin dilebih-lebihkan hingga menjadi cerita yang lebai.

Hari Sabtu (22/6/24) kami keluarga Umi Nii Baki-Koro'oto berangkat ke salah satu titik tempat di Amfoang Raya. Tempat itu bernama Soliu. Soliu sendiri berada di Kecamatan Amfoang Barat Laut, ditetapkan sebagai kota Kecamatan (ibukota) Amfoang Barat Laut. Maka, di sana pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah berpusat. Kantor Kecamatan dan ikutannya seperti Pusat Kesehatan Masyarakat, Unit-unit Pelaksana Teknis Daerah lainnya berada di tempat ini.

Jarak tempuh ke Soliu dari desa Nekmese di Amarasi Selatan menuju Soliu Amfoang Barat Laut oleh anggota rombongan disebutkan 140 km, sementara Gugel maps menyebut 136 km . Gugel maps sendiri menyebut bahwa waktu tempuh hampir 4 jam; padahal kami berangkat pukul 05.30 WITa dan tiba di sana pukul 12.00 WITa. (Rupanya Gugel maps mengarang-ngarang saja. hehe)  Me

Liku Perjalanan Tawa Ria dalam Tantangan Alam Fatule'u - Amfoang Barat (Daya - Laut)

  • Dalam Area Fatule'u Barat

Rasanya selama ini masyarakat tidak mengeluhkan infrastruktur jalan dan jembatan di area Fatule'u Barat (mungkin saya keliru). Faktanya kami, rombongan keluarga saat melintas dapatlah kiranya dibuat beberapa fakta:

  • aspal pecah/hancur dan lubang di banyak tempat
  • jembatan kecil yang putus
  • kendaraan dengan tonase besar lalu lalang; khusus untuk hal yang satu ini, tentu tidak segera dapat disebutkan sebagai kesalahan. Hal ini karena base camp dari perusahaan berada di area Sulamu. Tentu Pemerintah Kabupaten Kupang melalui Dinas Perizinan telah mengizinkan adanya Base Camp di sana . Surat Izin Tempat Usaha (SITU) yang dipegang oleh perusahaan ini menjadi energi baginya untuk mengoperasikan kendaraan roda empat dan lebih dengan tonase besar. Kendaraan dengan tonase besar biasanya tidak segera dapat memberi ruang untuk pengguna jalan yang lain (pikap, motor) dengan mudah dan leluasa. Diperlukan kesabaran pada pengguna jalan ketika berpapasan dan atau beriringan dengan mereka.

Area menarik di Fatule'u Barat yakni meliuk-liuknya jalan. Jalan yang dibuat meliuk, mengular bukan hal baru di area mendaki. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengguna jalan, terlebih kami yang untuk pertama kalinya menempuh jalur itu.

Pada satu titik tempat ada pemadangan menarik perhatian yakni tambak garam. Area tambak garam itu terlihat seperti kurang terawat. Rumahan (kemah) tempat para petambak rasanya hendak bercerita bahwa mereka telah ditinggalkan. Berhubung di antara 

salah satu titik kolam tambak garam; foto: Roni Bani
salah satu titik kolam tambak garam; foto: Roni Bani

kami beberapa anggota tim menggunakan kendaraan roda dua, jadi kami berhenti sebentar untuk memotret kondisi itu.

Bukit batu area Fatule'u Barat; foto: Roni Bani
Bukit batu area Fatule'u Barat; foto: Roni Bani

Kami melanjutkan perjalanan. Tiba di simpang Pariti-Sulamu. Dari sana kami mengarah ke Barat Daya menuju Kecamatan Amfoang Barat Daya. Jalan meliuk dan mengular. Pemandangan indah, bukit batu menjulang. Jalan yang hancur disebabkan faktor alam yakni kontur tanah yang mudah bergeser akibat abrasi. Pengendara perlu ekstra hati-hati.

Sekali pun demikian, makin ke pedalaman, pemandangan makin indah dan asri. 

Sungai yang mengular, bebukitan menghijau di sepanjang aliran sungai; foto: Roni Bani
Sungai yang mengular, bebukitan menghijau di sepanjang aliran sungai; foto: Roni Bani

Di samping pemandangan yang menakjubkan, ada pula pemandangan yang mengantar olah pikir tentang karya insan berpengetahuan dengan kepakarannya. Beberapa jembatan (yang tidak sempat dibuatkan foto), justru dibangun menempatkan gorong-gorong. Jembatan yang menggunakan gorong-gorong tentulah baik bila tidak banjir, namun bila banjir tiba, adakah banjir yang tidak membawa material? Material manakah yang akan secara sopan masuk lewat gorong-gorong yang dipasang di sana? Tidakkah material seperti batang-batang kayu akan melintang dan menutup gorong-gorong dan diikuti dengan timbunan material? Timbunan material akan meluapkan banjir ke dalam perkampungan.

Secara kelakar, kami menyampaikan bahwa pada musim penghujan dan bila terjadi banjir, mestilah ada orang berdiri di jembatan untuk memberi aba-aba kepada material yang terbawa banjir untuk masuk secara sopan melewati lubang gorong-gorong. Bila masuk melewati lubang yang demikian, dipastikan banjir yang meluap tak akan terjadi. 

Bukan itu saja, lagi-lagi jembatan-jembatan kecil cukup membahayakan karena telah beresiko terhadap keselamatan pengguna jalan.

  • Dalam Area Amfo'ang Barat Daya dan Barat Laut

Perjalanan yang terasa melelahkan, namun menyenangkan oleh karena tantangan alam yang dihadapi. Membayangkan ketika musim penghujan tiba, bagaimana masyarakat di tempat-tempat itu menggunakan jasa transportai darat?

Jembatan Talmanu' (Termanu); foto: Roni Bani
Jembatan Talmanu' (Termanu); foto: Roni Bani

Jembatan Talmanu (Termanu) dengan eligi dan litani yang menyertainya. Kisah-kisah seputar area Talmanu yang lebih terkenal dengan sebutan Termanu, dan jembatan yang rada keramat. Jembatan mana bila tiada maka mengantar masyarakat Amfoang Barat Daya, Barat Laut hingga Amfoang Utara dan Timur meradang dalam pilu.

Adrenalin bagi pendatang baru yang melintasi jembatan Talmanu' (Termanu) berlalu. Selanjutnya menanti di depan yakni Jembatan Kapsali yang putus dan tak dapat dilintasi. Pilihan satu-satunya yakni harus ke dalam sungai.  

Kondisi jembatan Kapsali di Sungai Kapsali; foto: Yefta Bani
Kondisi jembatan Kapsali di Sungai Kapsali; foto: Yefta Bani

Kami tiba di sungai Ta'en. Sungai dengan cerita-cerita lucu dan menegangkan. Lelucon bagi kami karena zaman ini orang memanfaatkan media sosial untuk membuat isian kisah, terutama membuat video-video berdurasi amat pendek bila musim penghujan tiba. Sungai Ta'en akan meluap. Bis antar kota dalam kabupaten yang dari kota Kupang ke Amfoang Barat Daya, Barat Laut, Amfoang Utara dan Amfoang Timur akan melintasi sungai ini. Sungai yang debit airnya akan turun hingga nyaris kering pada musim panas. Lebar sungai di atas 100 meter.

Penulis di bibir Sungai Ta'en; foto: dokpri Roni Bani
Penulis di bibir Sungai Ta'en; foto: dokpri Roni Bani

 

Lebar sungat yang kira-kira 100-an meter itu selalu menyisakan cerita pada musim penghujan. Sementara pada musim kemaru, debu beterbangan di mana-mana bila kendaraan melintas di sana. Rasanya sungai ini akan selalu diceritakan selama belum ada jembatan yang memadai dibangun di sana.

Sampai di bibir sungai Ta'en kami beristirahat. Makanan disajikan, kami menikmati makan siang di sana sekadar menguatkan tubuh untuk melanjutkan perjalanan. Menurut penunjuk jalan, sesudah sungai Ta'en, jalanan tidak beraspal. Pemotor mesti berada di depan agar terhindar dari debu bila kendaraan roda empat berada di depan. 

Kami pun menikmati jalan yang dimaksudkan itu dengan menikmati pemandangan hutan dan jalan berdebu, sesekali masuk ke dalam kali kering, kali berair yang dimanfaatkan untuk menanam sayuran dan lain-lainnya.

Rumah-rumah penduduk yang dipagari, sementara ternak dibiarkan lalu-lalang. Padahal, rumah tidak bergerak ke mana-mana, justru rumah yang dikurung. Akh.... cara berpikir saya yang keliru. Mereka telah menjalani budaya mengurung rumah selama ini, sehingga tidak mungkin untuk menggeser atau bahkan mengubahnya.

Sekitar 20-an kilometer jalanan tanpa aspal. Akhirnya kami menikmati aspal butas memasuki Soliu.

Hal yang amat menarik yakni di pintu gerbang terpasang dua gambar. Kedua gambar itu mengundang jepretan kamera. Saya tidak segera memotret kedua gambar itu. Ketika seluruh rangkaian maksud telah kami sampaikan, dan kami akan kembali, kedua gambaar itu saya jepret.

Gambar dua binatang hutan yang dilindungi;foto, Roni Bani 
Gambar dua binatang hutan yang dilindungi;foto, Roni Bani 

Dua jenis binatang di dalam gambar yang ditempatkan ada Tugu Selamat datang di desa Soliu, Kecamatan Amfoang Barat Laut. Gambar pertama, bintang musang, dan gambar kedua rusa. Tulisan di sana dalam bahasa Meto' Amfo'an yang artinya, lindungilah kami. 

Persepsi saya sebagai tamu di desa Soliu, kedua binatang ini ada dan hidup di dalam hutan sehingga Pemerintah desa Soliu peru mengingatkan anggota masyarakat untuk melindungi dan melestarikannya. Perlindungan dan pelestarian ini sangat urgen mengingat mereka merupakan anggota dalam satu ekosistem di dalam hutan. Gambar dan kalimat yang ditulis dalam Bahasa Meto' Amfo'an sangat jelas. 

Saya sungguh berharap bahwa himbauan itu mendapatkan respon positif dari anggota masyarakat di sana sehingga kedua jenis binatang yang hidup di hutan=hutan sekitar Amfoang Barat Laut dapat terjamin keamanan dan keselamatan mereka.

Penutup

Amfoang Raya telah menjadi 6 kecamatan: Amfoang Timur, Amfoang Barat Daya, Amfoang Barat Laut, Amfoang Tengah, Amfoang Selatan, Amfoang Utara. Keenam wilayah kecamatan ini akan selalu mengharapkan uluran tangan Pemerintah di semua jenjang untuk memperhatikan infrastruktur jalan dan jembatan. 

Mengularnya sungai-sungai, kontur tanah yang mudah longsor dan terabrasi menjadi tantangan tersendiri pada pemerintah dan masyarakat bila musim hujan tiba. Pemerintah di semua jenjang membutuhkan waktu yang lama untuk mencicil pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di sana, di samping perlu memperhatikan pula aspek pembangunan manusianya.

Kami dalam rombongan keluarga Umi Nii Baki-Koro'oto, pulang dari Soliu dengan membawa sukacita, senyum dan tawa, sambil merenung pada eligi dan litani masyarakat di sana.

Umi Nii Baki-Koro'oto, 23 Juni 2024

Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun