Mula Kata
Alam rumah tangga dan keluarga tidak terkurung pada sepasang suami-isteri dan anak. Di sana akan terkait-paut beberapa pihak yang memberi ruang penyebutan dalam kekerabatan. Sebutan-sebutan seperti: kakek-nenek, ayah-ibu, mertua, menantu, anak-anak dan lain-lain yang makin meluas menjadi alasan adanya rumpun keluarga, sekaligus mengisyaratkan adanya keluarga besar.
Dalam kehidupan nyata, masyarakat ada dalam komunitas-komunitas. Komunitas-komunitas itu selanjutnya saling berhubungan (kontak) untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan. Kebutuhan dari komunitas A, dapat saja dipenuhi oleh komunitas B, dan sebaliknya dan seterusnya. Demikian halnya dengan kepentingan, walau tidak banyak hal sebagai kepentingan sesegara mungkin dapat dipenuhi.
Dalam hal saling berhubungan (kontak) itu, individu-individu membawa nuansa perasaan dibawa ke dalamnya, terutama pada kalangan kaum muda yang menuju dewasa. Mereka yang telah siap berumah tangga, selanjutnya dapat memilih pasangan hidup dari dalam komunitas mereka sendiri, atau dapat pula pada komunitas keluarga di luar komunitas mereka sendiri.
Memilih dan menerima seseorang menjadi bagian dari satu keluarga atas alasan perkawinan/pernikahan, menyebabkan muncul istilah-istilah tertentu dalam Bahasa lokal/daerah. Seorang perempuan muda akan menjadi isteri dari seorang pemuda. Orang tua sang pemuda akan menerima perempuan muda itu ke dalam keluarga batih mereka dan komunitas mereka. Hal yang sama, sang pemuda akan diterima oleh keluarga batih dari perempuan yang dipilihnya, dan dia akan masuk pula ke dalam komunitas baru itu.
Sebutan untuk mereka sebagai pasangan kekasih akan sama seperti yang lainnya yang telah terlebih dahulu berkeluarga ketika mereka telah resmi  dikukuhkan perkawinan/pernikahan mereka. Sebutan suami-isteri itu normal saja. Lalu, pihak keluarga sang suami (tadinya pemuda) akan menyebut menentu perempuan (tadinya gadis); dan pihak keluarga isteri (tadinya gadis) akan menyebut menantu laki-laki (tadinya pemuda).
Mudah sekali dalam Bahasa Indonesia. Padahal, dalam bahasa daerah, dapat saja tidak semudah itu. Contohnya Bahasa Amarasi (Kotos-Roi'is).  Dalam Bahasa Amarasi (Kotos-Roi'is) sebutan untuk menantu laki-laki, moen fe'u  (Kotos) atau moen feu' (Roi'is) dan sebutan untuk menantu perempuan aan nanef  (Kotos) atau aan naenef (Roi'is). Sadarkah masyarakat Pah Amarasi bahwa kedua kata/istilah itu ada berakar dari sikap dan tindakan dalam hal mengurus perkawinan/pernikahan dan menerima pasangangan kekasih baru sebagai bagian dari keluarga dalam komunitas hidup bersama?
Moen fe'u ~Â Moen feu'
Dua kata ini menunjuk pada menantu laki-laki. Moen fe'u untuk pengguna Bahasa Amarasi Kotos, dan moen feu' untuk  pengguna Bahasa Amarasi Roi'is.
Kata-kata di atas berasal dari kata: mone dan fe'u. Mone artinya laki-laki dan fe'u artinya baru. Huruf /e/ pada kata mone mengalami perpindahan posisi/kedudukan ketika mendapat kata sifat di belakangnya, sehingga menjadi moen fe'u atau moen feu'. Jadi moen fe'u atau moen feu' secara harfiah artinya, laki-laki baru.Â
Seseorang "laki-laki baru" masuk ke dalam lingkaran keluarga batih yang lain. Ia tidak dibesarkan oleh ayah-ibu di rumah baru itu, dalam keluarga baru itu. Ia akan memanggil ayah dan ibu kepada orang tua baru di sana. Ia akan merasa bersalah bila memanggil paman misalnya. Di sinilah makna moen fe'u atau moen feu' secara etimoligis.
Aanh nanef ~ Aanh naenef
Dua kata ini menunjuk pada menantu perempuan. Aanh nanef dipakai oleh pengguna Bahasa Amarasi Kotos, dan aanh naenef dipakai oleh pengguna Bahasa Amarasi Roi'is.
Kedua kata di atas berasal dari kata, anah artinya anak dan nane ~ naen artinya lari. Jadi secara harfiah aanh nanef ~ aanh naenef artinya, anak lari; anak yang dilarikan. Maksudnya, seorang gadis/perempuan muda yang telah dipilih dan dinikahi, akan "dibawa lari" ke rumah orang tua suaminya baik sekampung maupun antarkampung dan seterusnya. Ia "dilarikan" bukan oleh suaminya, tetapi oleh keluarga suaminya.
Kata "dilarikan" mendapat tanda petik berhubung, hal ini bukan suatu hal yang harus dipermasalahkan, tetapi, begitulah yang terjadi dalam mengurus pernikahan/perkawinan.Â
Seseorang gadis/perempuan muda yang telah dipilih/terpilih menjadi calon isteri/isteri sah dari seorang lelaki muda/pemuda, sang perempuan tidak secara mudah dibawa keluar dari rumah orang tuanya. Orang tua dan keluarga gadis itu akan berunding terlebih dahulu. Hasil perundingan disampaikan kepada pihak keluarga calon suami dengan permeminta agar  mereka membukatikan adanya kesungguh-sungguhan untuk membawa perempuan muda/gadis itu. Pembuktian kesungguh-sungguhan itu melalui upacara perkawinan/pernikahan.
Upacara perkawinan/pernikahan akan mengikuti tata hukum adat perkawinan dari pihak keluarga gadis.Â
Tidak mengherankan bila dalam mengurus suatu perkawinan/pernikahan sepasang kekasih, sangat sering terjadi "ketimpangan". Ketimpangan-ketimpangan itu sebagai akibat dari "tabrakan" budaya (hukum adat perkawinan). Dalam hal yang demikian, kesungguhan pihak keluarga laki-laki bagai sedang menghadapi "ujian".
"Ujian" dalam mengurus perkawinan/pernikahan itu akan berakhir manakala seluruh item hukum adat perkawinan, hukum agama dan hukum positif/UU Perkawinan terpenuhi. Sorak gempita terjadi di dua tempat: di rumah pengantin perempuan dan di rumah pengantin laki-laki sehari atau beberapa hari sesudahnya.
Ketika menyelesaikan "sorak" gempita dalam pesta perkawinan/pernikahan di rumah pengantin perempuan, maka selanjutnya akan diadakan penyerahan pengantin perempuan (anak perempuan/perempuan muda/gadis) kepada pihak keluarga laki-laki. Penyerahan itu diikuti dengan upacara tertentu menurut hukum adat perkawinan. Pada titik waktu yang demikian, pengantin "dilarikan (na'aenab ~na'aeneb)" oleh pihak keluarga laki-laki ke dalam komunitas mereka.Â
Dalam peristiwa pengantin "dilarikan"  ada muncul istilah "lari baroit" (aenab baroit~ aeneb baroit). Anak gadis/perempuan muda sebagai pengantin akan disebut,bifee noni  (Kotos) ~ bifee noini  (Roi'is). Ketika masuk ke rumah baru, orang tua baru yang akan menerimanya, menjadikannya anak, dengan sebutan aanh nanef  (Kotos) dan aanh naenef (Roi'is), yang artinya, anak (perempuan yang dilarikan);  menantu.Â
Dari uraian ini kiranya dapat dipahami bahwa seorang menantu perempuan belum dapat segera menyesuaikan diri dengan keluaraga baru. Oleh sebab itu, akan lebih baik baginya untuk mempunyai rumah sendiri. Ia harus hidup dengan suaminya sendiri, mengatur rumah tangganya sendiri. Ia tidak diperkenankan hidup serumah dengan mertua (ain babaf/aam babaf ~ iin baban, aam baban).Â
Ia akan menyesuaikan diri secara perlahan.
Dalam masa penyesuaian yang lama, akan sering terjadi "ketidaknyamanan" hubungan mertua - menantu.Â
Demikian sekelumit uraian, mengapa masyarakat Pah Amarasi menggunakan istilah berbeda untuk menantu laki-laki dan menantu perempuan.Â
Terima kasih.
UBB GMIT Kupang, 16 Juni 2024
Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H