Kami pun kembali ke penginapan. Rumah keluarga Messakh Tang menjadi tempat berteduh, berbagi cerita, canda, inspirasi dan berefleksi bersama sejak pertengahan Februari 2024. Kami berdoa dan Ansel mengantar saya ke pelabuhan Kalabahi menggunakan motor yang akan saya bawa terlebih dahulu ke kampung, dengan maksud agar lebih mudah dari Pelabuhan Feri Bolok ke kampung. Menggunakan jasa kapal penyeberangan antar pulau (ASDP).
Ansel Bani dan Rimon Takain baru akan menyusul pada hari Rabu (5/6/24) dengan kapal penyeberangan.
***
Rupanya saya menjadi penumpang terakhir, di mana begitu saya tiba di lantai dasar kapal feri inik kurang dari 15 menit kemudian, para pengantar dan penjaja makanan diminta untuk segera turun. Pintu kapal akan ditutup. Para petugas mengingatkan para penumpang yang duduk bersandar pada dinding kapal agar sebaiknya memilih tempat ke tengah.
Ansel yang mengantar mencoba lagi untuk menanyakan bila mungkin masih ada tempat di kelas VIP.
"Penuh!" Â begitu jawaban seorang ABK.
Tiket VIP telah ludes terbeli, sehingga Ansel mengambilkan tiket kelas ekonomi, dan jadilah saya berada di lantai kapal feri dengan mengambil posisi di belakang satu unit truk. Menariknya, pada pintu belakang truk ini ada tulisan (caption) yang bergaya lelucon: Kalo sayang kenapa jadi mantan. Di sampingnya ada gambar wajah seorang gadis. Satu lagi tulisan menarik, orang tua di kampung banting tulang, anak di kota banting harga. Entahlah ada maksud apa dari dua macam tulisan ini. Sangat sering ditemukan tulisan (caption) di pintu-pintu truk.
Â
Waktu menunjukkan pukul 17.54 WITa, tiba-tiba android mengindikasikan roaming. Rupanya jaringan internet dari Timor Leste sedang aktif di udara wilayah Indonesia. Saya segera mematikan android, mengingat pulsa dengan nilai rupiah akan habis tersedot. (hehe).
Menjadi penumpang di lantai kapal sangat tidak nyaman. Ribut, asap rokok, miras, lalu lalang kaum muda bahkan orang tua, dan lain-lain hal kurang menyamankan terjadi di sini. Para penumpang yang duduk atau tidur menyamankan diri saja.