Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Suka membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa. Menulis puisi sebisanya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ataukah Perundungan sedang Meradang atau Meraung?

7 Maret 2024   12:35 Diperbarui: 7 Maret 2024   12:39 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim telah mengeluarkan Peraturan Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Peraturan ini selanjutnya diikuti dengan "instruksi" agar seluru satuan pendidikan di Indonesia membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di Lingkungan Satuan Pendidikan. Peraturan ini menyertakan contoh Surat Keputusan yang dapat ditiru oleh kepala unit satuan pendidikan.

Para kepala unit satuan pendidikan tidak berhenti pada pembuatan keputusan tentang TPPK. Unit-unit satuan pendidikan perlu mengirim (mengunggah) keputusan itu sehingga pihak Pemerintah Daerah, melalui Dinas Pendidikan dan Kementerian mengetahui bahwa setiap unit satuan pendidikan telah membentuk TPPK itu.

Mendikbudristek mengatakan bahwa penerapan Permendikbudristek nomor 46/2023 telah mencapai angka 90% untuk unit-unit satuan pendidikan, sementara 50% telah ada pada jenjang Satuan Tugas pada Dinas Pendidikan (sumber) .  

Bila boleh bertanya, apakah dengan mengeluarkan suatu Peraturan (dhi.Pemen) tentang TPPK akan sekaligus dapat mencegah tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan? Lalu, apa itu kekerasan di lingkungan satuan pendidikan?

Menurut pasal 1 ayat (3) didefinisikan, kekerasan  adalah setiap perbuatan, tindakan dan/atau keputusan terhadap seseorang yang berdampak sakit, luka atau kematian, penderitaan seksual/reproduksi, berkurang atau tidak berfungsinya sebagian dan/atau seluruh anggota tubuh  secara fisik, intelektual dan mental, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan dengan aman dan optimal, hilangnya kesempatan untuk pemenuhan hak asasi manusia, ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, kerugian ekonomi, dan/atau bentuk kerugian lain yang sejenis.

Satu definisi yang teramat panjang, komplit dan kompleks yang demikian inilah yang wajib diketahui pertama-tama oleh TPPK yang dibentuk oleh unit satuan pendidikan, selanjutnya disosialisasikan kepada para pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal unit satauan pendidikan.

Sumber: https://kaltimtoday.co/
Sumber: https://kaltimtoday.co/

Efketifkah TPPK pada unit satuan pendidikan sampai saat ini?

Menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada tahun 2023, statistik kekerasan (perundungan) pada unit satuan pendidikan terlihat seperti ini: (sumber). Jumlah kasus kekerasan/perundungan sebanyak 30 yang diketahui, dilaporkan dan mendapat penanangan.

  • Pada jenjang Sekolah Dasar, 30% ~ 9 kasus
  • Pada jenjang Sekolah Menengah Pertama,50% ~ 15 kasus
  • Pada jenjang Sekolah Menengah Atas, 10% ~ 3 kasus
  • Pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan, 10% ~ 3 kasus

Jika menelisik angka yang demikian, bukankah hal ini teramat kecil? Bukankah jumlah satuan pendidikan di Indonesia berada di lingkungan Kementerian, Lembaga/Badan, bahkan Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota)?  FSGI telah merekam secara baik data yang demikian dan menyajikannya kepada publik, tentu dengan maksud agar sekalipun angka ini kecil, tetapi sebaiknya tidak perlu terjadi. Satuan pendidikan atau sekolah sebagai basis pembelajaran karakter, kebudayaan, pengetahuan, ketrampilan/kepakaran, semestinya menghasilkan orang-orang dengan karakter yang tanpa sikap dan niat melakukan kekerasan/perundungan.

Sementara itu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis angka 3.800 kasus kekerasan/perundungan pada tahun 2023 (sumber). 

Data antarlembaga atau institusi yang peduli pada kekerasan/perundungan di dalam linkungan satuan pendidikan saling berbeda. 

Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) dalam rilis terakhir sampai dengan dua bulan pertama tahun 2024 terdapat  3.611 kasus yang menimpa anak laki-laki sebanyak 792 kasus, dan 3.164 terjadi pada anak perempuan (sumber).

Menelisik angka-angka yang disajikan baik pada tahun 2023 maupun awal tahun 2024 ini, nampaknya TPPK yang diharapkan menjadi pencegah belum maksimal bekerja. Mengapa angka kekerasan/perundungan di lingkungan satuan pendidikan pada dua bulan pertama sudah mencapai lebih dari 3000 kasus?

Merujuk berbagai hasil riset, ditemukan bahwa kekerasan/perundungan di sekolah terjadi oleh sejumlah faktor, dua di antaranya yakni:

  • Kesenjangan Ekonomi

Setiap anak yang datang ke sekolah dipastikan berasal dari lingkungan keluarga dengan latar yang berbeda. Bila aspek ekonomi menjadi latarnya, maka indikator yang terlihat dan dirasakan yakni, 

  • penghasilan/pendapatan orang tua saling berbeda antarkeluarga
  • tampilan berbeda antarmurid di dalam sekolah
  • pergaulan elitis dan abangan 

Di lingkungan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri/inpres), menerima murid dari semua kalangan. Maka tidak mengherankan bila latar sosial ekonomi pun berbeda antarkeluarga. Penghasilan/pendapatan berbeda antarkeluarga berdampak pada tampilan anak (murid) di sekolah, dan sekaligus memberi ruang pergaulan yang bersifat elitis dan abangan. 

Anak/murid yang merasa tergolong sebagai kaum berpenghasilan besar akan mengelompok menjadi kaum elit. Mereka akan berpenampilan dan bersikap berbeda. Sering pongah dan menjadi pemimpin kelompok. Sementara mereka yang berasal dari kalangan keluarga berpenghasilan rendah akan terkategorikan sebagia kaum abangan.

Bila hal ini ditangani secara baik oleh para guru, maka akan berdampak besar di luar lingkungan sekolah. Sewaktu-waktu mereka akan melakukan kekerangan di dalam lingkungan sekolah dengan skala yang lebih kecil, namun bila sudah berada di luar lingkungan sekolah hal ini akan terasa seperti menjadi-jadi.  

  • Iklim/suasana belajar di lingkungan sekolah

Satuan-satuan pendidikan di Indonesia selain diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah yang selaljutnya dalam payung besar Kemdikbudristek, terdapat pula yang diselenggarakan oleh Kemenag; dan kelompok masyarakat yang direpresentasikan pada yayasan-yayasan penyelenggara pendidikan.

Pada konteks sekolah dengan status negeri/inpres di semua jenjang, terasa ada "homogenitas"nya pada ketersediaan sarana/prasanara serta fasilitas pembelajaran. Padahal, faktanya tidaklah demikian. 

Jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama berada di bawah "kendali" penyediaan sarpras oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sementara Pemerintah Provinsi menjadi pemegang "kendali" untuk Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan. 

Satuan-satuan pendidikan yang penyelenggaranya oleh komunitas masyarakat/yayasan penyelenggara pendidikan pun tidak serta merta seragam/homogen ketersediaan sarpras dan fasilitas pembelajaran. Maka, lahirlah sekolah favorit dan non favorit baik pada satuan pendidikan negeri/inpres maupun swasta; 

Hal yang mirip terjadi pada satuan-satuan pendidikan di bawah Kemenag dan yayasan penyelenggaranya.

Antara sekolah favorit dan non favorit dari kacatama awam, terjadi kesenjangan perlakuan pada iklim belajar di dalam satuan pendidikan. Sekolah favorit dilengkapi dengan beragam hal yang membanggakan dan meringankan kalangan guru di sana; termasuk di dalamnya kesejahteraan para guru. Mungkinkah satuan pendidikan non favorit ada yang demikian? Belum tentu. Maka, iklim belajar menjadi celah terjadinya kekerasan/perundungan

Saya seorang guru di pedesaan dan pedalaman Timor. Sejauh pengamatan, belum terjadi apa yang disebutkan sebagai perundungan di lingkungan sekolah. Bila hal itu terjadi, biasanya terjadi ketika mereka bermain dan terlihat seperti ada yang menyakiti. Lalu segera sesudahnya mereka kembali ke dalam kondisi bersahabat.

Mengapa kekerasan/perundungan di satuan pendidikan sering viral? 

Kekerasan/perundungan di satuan pendidikan sering viral oleh karena pelakunya datang dari kalangan atas. Anak pejabat, konglomerat dan atau selebriti (sumber dan sumber). Sekalipun demikian terdapat pula sebaliknya bahwa anak kaum selebriti pun mendapat perlakuan yang sama (sumber).

Dunia pendidikan di Indonesia masih akan terjadi kekerasan/perundungan; maka:

  • pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga
  • pendidikan karakter dalam institusi keagamaan
  • pendidikan secara holistik dalam institusi pendidikan formal
  • pendidikan karakter pada semua institusi formal dan non formal

Pendidikan karakter bukan milik satu-satunya berada di tangan guru, semua pihak turut andil membentuk karakter anak untuk menciptakan anak yang menyukai persahabatn, kenyamanan dan kedamaian.

Buraen, 7 Maret 2023

Heronimus Bani

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun