Seorang penulis bernama  Dian Ihsan menulis dalam kolom kompas.com dengan judul 7 isu pendidikan yang menjadi catatan kritis hingga tahun 2024. Menurut Dian Ihsan, ketujuh isu pendidikan itu yakni:
- Tingkat Literasi
- Kekerasan pada satuan pendidikan
- Penyelesaian masalah guru honorer
- Pengembangan Ketrampilan Guru
- Peningkatan anggaran pendidikan
- Dana abadi kebudayaan
- Transisi ke dunia kerja (di sini)
Rasanya Dian Ihsan telah secara amat cermat mengobservasi dan mengobrak-abrik kandungan masalah pada dunia pendidikan di Indonesia, walau tak keseluruhannya dapat dipotret secara tepat. Ketujuh isu di atas kiranya dapat divalidasi, agar para pemangku kepentingan di dunia pendidikan tidak "tidur" dalam isu  strategis seperti itu.
Mari mencoba mencermati,Â
Tingkat Literasi.
Literasi itu sendiri sebagai satu kata yang sarat makna. Ia tidak sekadar kata dengan makna tersembul hanya pada kemampuan membaca dan menulis. Para pakar menyajikan makna literasi itu sebagai kemampuan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan kemampuan memecahkan berbagai permasalahan pada tingkat kemampuan atau keahlian yang dimiliki.
Jadi dalam hal ini, literasi tidak disimpilifikasi sebagai membaca dan menulis saja. Literasi lebih luas daripada sekadar baca-tulis.Â
Sudah banyak riset yang menggambarkan ketertinggalan bangsa ini pada dunia literasi yang disimplifikasi pada baca-tulis. Jika hanya membaca saja, sudah dapat dipastikan banyak murid di semua jenjang sekolah hingga perguruan tinggi dapat membaca. Masalahnya terletak pada membaaca pemahaman.Â
Sesudah seseorang membaca suatu teks, mesti ada kemampuan untuk menceritakan kembali seturut yang dipahaminya. Menceritakan kembali dalam hal ini artinya dapat menggunakan diksinya sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan menulis dengan pendekatan berbeda namun substansi dari materi yang dibaca dan diceritakan itu sama. Kira-kira demikian simplifikasi dan sekadar perluasan literasi.
Jadi literasi yang disimplifikasi pada membaca dan menulis sebetulnya ada dua sisi. Pada sisi membaca ada keterbatasan pada membaca pemahaman. Sementara menulis yang disimplifikasi pada cara menulis dan bukan menulis dalam pengertian kepenulisan, maka hal ini berbeda makna dan maksudnya.
Pada awal abad XXI ini dunia pendidikan dasar khususnya mengimplementasikan apa yang disebut lima belas menit literasi. Satu program wajib membaca 15 menit sebelum proses pembelajaran berlangsung setiap harinya. Program ini menarik, namun terbatas hanya membaca, tidak diikuti  dengan menceritakan kembali (berbicara) apa yang dibaca dan menulis secara ringkas. Waktu 15 menit sesungguhnya cukup untuk maksud ini. Bacaan yang diberikan pun semestinya pendek, dan bukan satu cerita panjang.Â