Kaum elit dan terpelajar seperti para politisi yang menggerakkan massa dengan uang, pada titik masa yang terus berlangsung akan ada saat di mana mereka lalai pada janjinya. Mereka akan duduk terpaku di tempatnya, apalagi bila kursinya empuk, incomenya besar, siapa yang sudi kembali untuk menyapa kaum terkapitalisasi?
Kaum terkapitalisasi meradang ketika melihat mobil-mobil mewah dengan jendela kaca yang tertutup. Mereka membuka mata dan telinga sambil menutup hati. Jadi, penglihatan dan pendengaran jelas, namun bila hati yang menimbang-nimbang itu sedang kabur hingga cenderung gelap, dengan apa hendak dicerahkan?
Yudas Iskariot menyesal telah menerima koin dari para elit. Ia akhirnya tewas dengan menggantung dirinya. (Kis.1:17-20).
3Masyarakat pemilik hak suara yang terbeli dipastikan menyesal telah menerima dan menyetujui serangan fajar dalam wujud sejumlah uang (koin). Masyarakat pun menikmati kapitalisasi politik uang ke dalam wujud bingkisan sembako dan lain-lainnya. Kenikmatan sesaat telah terjadi, penyesalan berlangsung sepanjang politik praktis itu dimainkan.
Penutup
Bila kita menganalogikan Yudas Iskariot mewakili masyarakat pemilik hak suara dalam pesta demokrasi yang disebut pemilihan umum. Pemilik hak suara yang baik mengetahui, menyetujui , menerima dan menikmati politik uang dalam segala bentuknya. Ketika menyodorkan tangan untuk menerima wujud dari politik uang, sesungguhnya kita telah menanam penyesalan di masa depan. Para pelancong politik yang menggelontorkan koin untuk menggoyang hati, mencerahkan wajah dan membinarkan sorot mata  akan pulang dengan langkah ringan.
Kalangan elit Yahudi (para rabi, ahli kitab, imam-imam) setelah memberikan koin sebanyak 30 perak, mereka  memberi aba-aba penggerebekan. Mereka duduk tenang di kursi kemegahan, berpakaian mewah, menonjolkan wibawa dan bersuara lantang. Yudas Iskariot, penikmat koin muncul di hadapan "komoditi" yang dijualnya memberi tanda, pulang dengan langkah ringan namun menyesal dan mengakhiri dirinya.
Kaum terkapitalisasi politik uang, setelah menerima bingkisan sembako menikmati makanan seadanya pada saat sosialisasi dan kampanye, lalu muncul di hadapan publik, pergi ke Tempat Pemungutan Suara, masuk dan "mencium" surat suara. Sesudah itu pulang dan menunggu hasilnya. Antara kecewa, resah dan gelisah berbaur pada mereka yang mendukung paslon tertentu. Mereka yang gembira dan bersorak karena paslonnya diasumsikan hingga diumumkan menang, pada saat berikutnya akan bergelut dengan rutinitas hidupnya, sambil terus berharap paslon pemenangnya berkunjung padanya.
Betapa indah dan rumit dampai politik uang, bukan?
Umi Nii Baki-Koro'oto, 15 Februari 2024