Pengantar
Sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia untuk berkunjung ke Tempat Pemakaman (Umum dan Khusus). Tempat Pemakaman Umum (TPU) kiranya selalu ada di setiap kampung, desa hingga kota, walau tidak selalu dapat dipastikan karena yang disebutkan sebagai TPU mesti mendapat ada pihak yang menyerahkan tanah dan ada pihak yang mengelolanya.Â
Maka, tidak heran bila banyak kuburan ada di pekarangan. Sementara Tempat Pemakaman Khusus (TPK) biasanya ada pada komunitas tertentu, atau pada orang dengan kelas tertentu.Â
Tengoklah di banyak kota, di sana ada TPU yang dikelola secara baik oleh Pemerintah Kota melalui Dinas Teknis terkait. Misalnya, Dinas Sosial.Â
Dalam budaya masyarakat adat Pah Amarasi (bekas Swapraja Amarasi) bila seseorang meninggal dunia, keluarga duka, tokoh masyarakat, dan pemerintah desa segera duduk bersama dalam rangka mengurus upacara penguburan yang disebut subat.Â
Masyarakat mengenal istilah maets ii prenat (harfiah; kematian itu menjadi urusan pemerintah desa). Istilah ini sejalah dengan program penataan lingkungan pemukiman dan pemakaman oleh banyak pemerintah kota.Â
Sayangnya, pemerintah desa-desa dan kelurahan di bekas Swapraja Amarasi tidak dapat menata TPU secara baik. Lalu beberapa desa/kelurahan sudah tidak mempunyai TPU.
Terlepas dari penataan TPU yang rapi dan apik, asri dan estetik, bernilai "sejarah" pada keluarga dan komunitas, ternyata ada budaya "berkunjung" ke TPU pada hari-hari tertentu.
"Bekunjung" ke TPU dan TPKÂ
Sejujurnya saya mau sampaikan bahwa berkunjung ke TPU tidak selalu saya lakukan. Saya akan ke TPU bila ikut dalam iring-iringan pengantar jenazah untuk dikuburkan. Apalagi di kampung/desa tempat kami tinggal, bila kami mendapat tugas dalam upacara penguburan, ketika itu kami akan ke TPU.Â
Sementara itu keluarga-keluarga yang kehilangan kerabat karena meninggal dunia dan telah dikuburkan di TPU akan berkunjung selalu ke TPU baik reguler maupun insidentil.Â
Berkunjung secara reguler yang saya maksudkan di sini misalnya, setiap hari kematian atau setiap hari raya keagamaan. Pada hari kematian orang ingat akan keluarga yang meninggal, maka orang berkunjung ke TPU. Pada setiap hari raya keagamaan, orang berkunjung ke TPU. Bila mengalami situasi tertentu, maka orang berkunjung ke TPU.
Kita mengetahui bahwa ada budaya mengunjungi taman makam pahlawan (TMP) sebagai bentuk yang sama dengan berkunjung ke TPU. Di TMP orang melakukan upacara penghormatan kepada para pahlawan yang dikuburkan di TMP tersebut.Â
Para pengunjung akan melakukan apa yang disebut tabur bunga. Pada kalangan penganut agama tertentu, ada doa-doa yang dilantunkan di atas pusara.
Pada pusara orang-orang terkenal yang sudah meninggal, kunjungan dilakukan oleh masyarakat untuk menghormati dan mengingat jasa-jasanya. Misalnya, kunjungan (ziarah) ke makam Bung Karno atau makam Gus Dur.Â
Dua Presiden yang pernah berkuasa dengan durasi kekuasaan berbeda ini masing-masing dikenang dengan jasanya. Ziarah para tokoh ke makam dari para Presiden yang sudah meninggal dunia akan dipublikasikan. Publikasi ini menggugah ingatan dan kesan pada jasa dan ingatan publik.
Apa yang dilakukan orang pada saat berkunjung ke TPU atau TPK
Mudah saja, dipastikan orang akan berdoa; kira-kira itu hal pertama yang dilakukan atau mungkin terakhir. Tindakan nyata yakni menabur bunga (Melayu Kupang: siram rampe) dan membakar lilin.Â
Memang tidak semua penziarah akan membakar lilin. Jika ada yang membakar lilin kiranya mungkin penganut agama Kristen dan Katolik, atau penganut agama yang dogmanya mengajarkan bahwa membakar lilin pada pusara anggota keluarga yang sudah meninggal dunia merupakan hal wajib.Â
Pada kaum Kristen tidak ada pengajaran itu tetapi dilakukan sebagai suatu kebiasaan belaka, yang pada akhirnya menjadi budaya. Budaya membakar lilin di atas pusara. Kaum Kristen tidak diwajibkan berdoa di atas pusara, namun sering pula ada yang mau berdoa di sana.Â
Hari ini, kami (saya, isteri, anak) berziarah ke pusara mama dan papa. Keduanya dikuburkan di TPU yang berbeda. TPU lama di desa kami sering disebut Knete' Haumeni, dan TPU disebut Kuafe'u. Â
Jenazah ibudan kami dikuburkan di TPU Knete' Haumeni', sedangkan jenazah ayahanda dikuburkan di TPU Kuafe'u. Kami tidak berziarah terbatas pada kedua pusara ini, tetapi juga pada pusara anggota keluarga seperti ibunda dari ayahanda (nenek kami), pusara kakak dan pusara ibunda dari ibunda kami (neneknya anak-anak), dan beberapa pusara berikutnya.Â
Banyak anggota masyarakat  yang melakukan hal yang sama: membersihkan pusara dari rerumputan dan semak, serta membakar lilin, menabur bunga. Sesudahnya mereka pulang.Â
Penutup
Berkunjung ke TPU atau TPK sudah menjadi budaya sejak lama. Maka, di kota Kupang sudah ada perkembangan lain yakni menyiapkan bunga yang sudah dihaluskan.Â
Para penjaja bunga rampai ramai menjajakannya di pinggir jalan. Peminat cukup menyediakan uang belasan ribu hingga puluhan ribu untuk membeli dan langsung mengadakan ziarah.
Kiranya ziarah menjadi budaya positif untuk mengenang dan mengingat jasa dari orang-orang terkasih yang telah meninggal. Pada saat berziarah, anak-anak yang tidak mengenal akan mendapat cerita tentang siapa yang dikuburkan, apa hubungan kekerabatan dan jasa-jasanya.Â
Cerita-cerita itu akan membekas dalam ingatan dan akan dikisahkan secara turun-temuruan, sehingga tidak terputus ikatan dan silsilah keluarga.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 25 Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H