Malam dengan identitas gelapnya mengurai kisah anak-anak manusia yang menyebut diri peladang desa. Kaum perempuan mendapat tempat dalam kisah kehidupan itu.  Anak-anak bersisian dalam cerita kebersahajaan. Betapa alam pedesaan diisi oleh insan berkarakter keteguhan semu. Teguh manakala sehat rohani dan jasmani, bergeser ketika oko'mama' dan boitl es tegak  menantang pelukan dan belaian. Kedua benda itu bermuatan umpan pemanis mengubahkan.Â
Di sudut kampung terdengar tangisan mendayu. Seorang lelaki meregang kaku tubuhnya. Ia telah menjadi jenazah yang telah dikerandai dan ditangisi oleh isteri, anak dan kerabat dekat dan jauh. Tubuhnya telah membengkak. Warna kulitnya berubah. Lubang hidung dikapasi, tangan berjemari disilangkan di atas pertemuan dada dan perutnya. Telentang. Ia menghadap Sang Khaliknya. Kata dalam khotbah Sang Khatib terdengar diselingi kidung penghiburan. Langit di atas mereka membisu. Angin bertiup perlahan saja membawa rintikan curahan air langit yang membuat bulu badan harus tegak berdiri merespon udara dingin.
Sesudah memberikan penguatan dalam kesedihan dan duka yang melukai, Sang Khatib kembali ke dalam rumahnya. Di sana ia merenung. Refleksi kehidupan bersama kaum dan alam pedesaan. Inspirasi berikutnya akan dituangkan dalam refleksi pencerahan ketika kaum peladang berada dalam persekutuan peribadahan kepada Sang Khalik. Refleksinya bersumber dari kitab suci yang selalu terbuka dan adaptif. Satu kitab suci yang tiada duanya. Sang Khatib mengayun langkah ke pembaringan mengambangkan mimpi tentang alam berikutnya sesudah alam pedesaan yang dirambahnya dalam waktu singkat. Â
Menjelang pagi, fajar tak mampu menghalau kabut di bebukitan yang menjura ke pantai. Pepohonan berdiri tegak pertanda belum ada aba-aba mengayun lambai-lambai. Semak-semak bagai merunduk di antara tingginya pepohonan besar yang sudah jarang-jarang akibat penjarangan liar. Akh... bukit dan lembah tak mampu menghalau keserakahan, hingga masa depanlah yang akan bercerita dengan memberi tanda kemuraman tanpa keramahan.
Pada suasana duka keluarga di sudut kampung, peratap mendayu-dayukan suaranya hendak membelah kabut duka yang dirasakannya. Kaku. Beku. Jenazah tak dapat memberi senyum dan sapa, apalagi mengangkat tangan sekadar memberi salam jabat tanda perpisahan. Lubang hidung untuk membau tak berfungsi, puncak hidung untuk mencium tanda kasih dan sayang berakhir sampai di sini. Keranda ditutup. Siap berangkat bila hari telah menunjukkan tanda siang.Â
Di pusat kampung berdiri kokoh bangunan penampung aspirasi di mana penduduk dapat menyalurkan opini, dicatat oleh juru tulis. Ketika peladang yang dihimpun kembali ke dalam kesibukan, analisis dibangun oleh penjaring opini, dikategorikan dan disalurkan entah akan saklek sukses  atau gagap dalam nada gagal.Â
Bangunan lainnya menjadi penghimpun massa bertelinga dan bermulut bisu di mana khatib bersuara atas nama Sang Khalik. Kidung rohani yang teramat singkat hanya memberi keterkejutan pada roh. Sabda Sang Khalik dialirkan melalui bibir pendosa yang memohonkan pengampunan untuk segenap kaum peladang. Sabda Sang Khalik sampai di lantai bangunan, mereka pulang sebagai ayam pematuk benih berbijian yang disebar. Siapa bertelinga hendaklah mendengar. Siapa berjemari hendaklah ia memulung. Siapa berkaki hendaklah ia berangkat ke dalam kehidupan berfaedah dengan memeluk kasih, dan siapa berlidah hendaklah ia melafalkan kata bermuatan roh kehidupan dan mencicipi manis-pahit segala rasa kehidupan.
Satu tanah lapang membentang di pusat kampung. Anak-anak bermain bersama ternak  yang ditambatkan di sana. Suatu pemandangan yang biasa. Saban hari pemilik ternak yang tertambat akan menggeser tali tambatan, sementara pemilik ternak yang lain mengambil rerumputan untuk ternak yang ditambatkan di pekarangan.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 8 Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H