Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Suka membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa. Menulis puisi sebisanya

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Desember Ini pada Kaum Peladang Desa

8 Desember 2023   09:20 Diperbarui: 8 Desember 2023   09:38 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan alam perbukitan menjura pantai; foto: dokpri: Roni Bani

Kemarau berkepanjangan menghiasi cakrwala alam pedesaan. Pepohonan menggugurkan daun masing-masing. Mereka bagai mengerang, meohon pada Sang Khalik agar menolong mereka dengan cucuran air langit. Ternak-ternak peliharaan melangkah lemah ketika menuju sumber-sumber air. Peladang linglung menunggu datangnya musim tanam. Peternak lunglai mencari pakan.

Langit menunjukkan keperkasaannya. Awan tak dapat tiba di hadapannya untuk sekadar memohon permisi agar melintas. Awan menepi. Bila ada segumpalan mengarak mendekat, ia akan segera tercabik-cabik menjadi serpihan lalu menghilang. Sungguh suatu pemandangan yang mencengangkan mata.

Ketika pagi hari tiba, matahari menyembul di balik bebukitan. Anak-anak peladang berdiri di bukit dan lereng di mana ladang sudah bersih siap ditanam. Mereka mengarahkan pandang pada sembulan bola pijar besar yang mengusir kabut pagi. Embun bertahan beberapa saat saja, ketika cahaya sang matahari tiba dan menyentuh permukaan bumi. Anak-anak peladang kembali ke dalam huma menikmati bubur pagi, lalu siap berangkat ke sekolah.

Baca juga: Desember Kenangan

Anak-anak peladang tiba di sekolah. Bersua dalam komunitas kaum siswa, bergurau hingga saling menyakiti sebagai suatu pemanddangan biasa di sekolah. Laporan keributan hingga menyakiti tiba di meja guru. Guru sigap menyelesaikan persoalan mereka secara bijaksana. Sesudahnya mereka berdamai, saling tersenyum dan bergurau lagi. Pelajaran pun diterima dengan menyemburkan sukacita, walau terlihat beberapa orang tidak selalu ada dalam suasana hati yang demikian. Mereka butuh perhatian lebih dari gurunya.

Siang hari tiba, anak-anak peladang sudah selesai mengikuti pelajaran di sekolah. Mereka pulang membawa beban sebagai anak peladang di pedesaan. Mereka akan membantu orang tua menimba air, membersihkan rumah, mencuci perlengkapan makan, dan selalu saja ada celah waktu untuk bermain bila tidak ditugaskan mencari pakan ternak atau mengambil kayu kering sebagai bahan bakar. Semua ini sudah menjadi kebiasaan anak-anak pedesaan yang rerata orang tuanya peladang sambil beternak seperlunya.

Desember tiba, cucuran air langit tiba. Anak-anak bergirang. Para peladang mencerahkan wajah. Rasanya kaki dan tangan serta seluruh anggota tubuh ringan digoyang dan digerakkan. Malam menjadi amat panjang bila hujan menderas. Badan tak rindu rebah, mata tak suka dipejam. 

Ternak-ternak peliharaan mendongak bagai bersyukur ketika cucuran air langit dicurahkan. Kilat tak dihiraukan, guntur tak dipedulikan. Semua itu memberi warna pada suatu budaya alam yang sudah menjadi hafalan dalam darah dan daging kaum peladang. Bersyukur pada Sang Khalik sambil mengingat nasihat dan peringatan-Nya agar mereka bukan saja mengusahakan untuk mendapatkan manfaat yakni pangan, namun juga wajib untuk memelihara, menanam pepohonan dan bukan membabat hutan hingga bopeng di mana-mana.

Pepohonan mulai menunjukkan pucuk-pucuk hijau muda. Rerumputan yang terbaring dalam tidur panjang pada musim kemarau segera bangkit bersama menghunjukkan tunas berujung lancip mendongak. Keindahan dipertontonkan oleh segenap ciptaan Sang Khalik.

Alam desa dengan bebukitan dan ngarai, lembah yang menyimpan terjal-terjal bekas longsoran menjadi panu pada pemandangan hijau kebiruan di kejauhan. Jalan berkelok dibuat oleh masyarakat, pemerintah dan pihak pengembang membantu membuka akses menjadikan jalan setapak atau jalan motor menjadi jalan tani yang dapat dilewati kendaraan roda empat. Masyarakat senang, bumi menangis, hewan liar bergeser sesaat menunggu waktu yang tepat untuk membalaskan dendam.

Bunga flamboyan memamerkan keindahan. Kaum dan komunitas di Timor menyebut namanya dalam bahasa lokal, sepe. Mekarnya bunga sepe memberi tanda akhir tahun segera menjelang. Kaum Nasrani segera akan mendirikan pohon-pohon natal dalam segala ukuran untuk perayaan hari kelahiran Yesus. Pohon sepe di pedalaman tak ditanam, ia tumbuh liar di mana-mana. 

Masyarakat kota Kupang bersama Pemerintah Kota Kupang telah bersepakat untuk satu gerak budaya, Festival Sepe. Seperti apa festival sepe, mereka telah menyodorkannya kepada publik. Publik dapat berkunjung, menikmati produk-produk budaya dan kreasi yang membanggakan.

Desember kaum peladang di pedalaman Timor dan Nusa Tenggara Timur nyaris selalu dalam satu nada dan irama. Menari dengan pentas bebukitan dan lereng, beraksesori perlengkapan tanam, bermusik cucuran air langit dan gendang gemuruh menghentak kejut, akhirnya panggung itu memilih pencahayaan dari kilat bentang cakrawala. Luar biasa kaum peladang pedalaman Timor.

***

Senja berlalu, gelap gelagapan mengusap rayu permukaan mayapada hendak meninabobokan penghuninya. Saat itu mayapada melepasrelakan diri dalam pelukan malam beridentitas gelap. Tiada kegemerlapan kecuali desah nafas kaum ketika akan berbaring melepas kepenatan dan kenangan. Nyanyian jangkrik dan burung hantu terdengar. Lolongan anjing di kejauhan, sementara anjing betina muda meringis ketika melahirkan untuk pertama kalinya. Kucing peliharaan menanti dalam asa kecemasan manakala dalam imajinasinya malam mengetalasekan mangsanya.

burung hantu; foto: Dokpri Roni Bani
burung hantu; foto: Dokpri Roni Bani

Bentang langit diam membisu. Sangar. Gemintang gemetar saat hendak  mempertontonkan keindahan kerlap-kerlipnya. Gemawan bergelombang hendak mengarak diri saat mereka memarkir diri di garis awal menanti aba-aba sang penghembus.

Insan berakhlak mulia di desa memberi meterai kehidupan peladang berbelang kecil profesi-profesi lainnya. Seorang lelaki kekar duduk bertelanjang dada, menyeruput kopi yang diseduh air mendidih dari perapian bertungku tiga batu. Rokok plintingan yang khas dengan tembakau hasil racikan sendiri dan pembungkus dari daun lontar muda yang ditipislicinkan. Asap mengepul mengganggu lampu listrik berdaya rendah di teras rumah. Konteks rumahnya sederhana, berdinding pelepah gebang yang ditempelkan ke regel. Olah pikirnya menerawang menuju ladang dan ternak peliharaan yang jauh dari pemukiman.

Sang lelaki bertelanjang dada didampingi isterinya.  Sebentuk oko'mama' ~ tempat menaruh campuran mamahan: sirih-pinang-kapur-tembakau. Isterinya mengunyah mamahan, bibirnya terlihat memerah ketika ludah dilepas pisah dari dalam rongga mulutnya. Permukaan tanah sempit segera menghisap ludah berwarna itu menyisakan lukisan tanpa makna di sana. Bibir si ibu paruh baya ini terus menggoreng mamahan di dalam mulutnya. Wajahnya memerah bukan karena gombalan lelaki kekar di sampingnya. Ia bagai tak peduli pada lelaki bertelanjang dada itu. Sudah biasa baginya melihat ketelanjangan itu, di rumah, di ladang, di perjalanan, hingga di pembaringan. 

Anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah menuju ruang tengah. Lampu listrik berdaya rendah dimanfaatkan untuk belajar. Berhemat, tiada lampur khusus yang disediakan lelaki peladang itu untuk anak-anaknya. Meja belajar dengan lampu khusus. Akh... tidak perlu. Biarkan anak-anak memanfaatkan meja di ruang tengah ini saja. Penghasilan selalu kurang untuk memenuhi kebutuhan, maka sering kepala desa memanggil untuk menerima bantuan pemerintah. Program Keluarga Harapan (PKH) 

Keluarga harapan seperti apa? 

Seorang lelaki kurus ikut mendapatkan undangan untuk mengambil bantuan  PKH. Ia duduk di dalam rumahnya memandang botol plastik berisi cairan bermuatan alkohol dalam kadar prosentase tak menentu. Gelas di hadapannya berisi seperdelapan bagian. Ia menyapa malam dengan isi botol itu. Sahabat terbaiknya duduk di sampingnya sebagai sesama penerima bantuan PKH . Keduanya menikmati alunan suara burung hantu sambil menenggak minuman yang diselingi ikan sardin yang dikeringkan dan disangrai seadanya. Sedap? Celoteh mereka bermateri ladang dan ternak; kondisi kampung yang berubah wajah akan menggeser nilai kehidupan bersama, segala hal pemanjaan akan segera tercukupkan ketika kampanye kaum pengasong ide praksis mendaki ke kursi-kursi kehormatan dan kemuliaan. Isteri lelaki kurus sesekali menyela percakapan mereka, sambil mengingatkan untuk beristirahat berhubung hari besok ladang menanti sentuhan.

Malam dengan identitas gelapnya mengurai kisah anak-anak manusia yang menyebut diri peladang desa. Kaum perempuan mendapat tempat dalam kisah kehidupan itu.  Anak-anak bersisian dalam cerita kebersahajaan. Betapa alam pedesaan diisi oleh insan berkarakter keteguhan semu. Teguh manakala sehat rohani dan jasmani, bergeser ketika oko'mama' dan boitl es tegak  menantang pelukan dan belaian. Kedua benda itu bermuatan umpan pemanis mengubahkan. 

Di sudut kampung terdengar tangisan mendayu. Seorang lelaki meregang kaku tubuhnya. Ia telah menjadi jenazah yang telah dikerandai dan ditangisi oleh isteri, anak dan kerabat dekat dan jauh. Tubuhnya telah membengkak. Warna kulitnya berubah. Lubang hidung dikapasi, tangan berjemari disilangkan di atas pertemuan dada dan perutnya. Telentang. Ia menghadap Sang Khaliknya. Kata dalam khotbah Sang Khatib terdengar diselingi kidung penghiburan. Langit di atas mereka membisu. Angin bertiup perlahan saja membawa rintikan curahan air langit yang membuat bulu badan harus tegak berdiri merespon udara dingin.

Sesudah memberikan penguatan dalam kesedihan dan duka yang melukai, Sang Khatib kembali ke dalam rumahnya. Di sana ia merenung. Refleksi kehidupan bersama kaum dan alam pedesaan. Inspirasi berikutnya akan dituangkan dalam refleksi pencerahan ketika kaum peladang berada dalam persekutuan peribadahan kepada Sang Khalik. Refleksinya bersumber dari kitab suci yang selalu terbuka dan adaptif. Satu kitab suci yang tiada duanya. Sang Khatib mengayun langkah ke pembaringan mengambangkan mimpi tentang alam berikutnya sesudah alam pedesaan yang dirambahnya dalam waktu singkat.  

Menjelang pagi, fajar tak mampu menghalau kabut di bebukitan yang menjura ke pantai. Pepohonan berdiri tegak pertanda belum ada aba-aba mengayun lambai-lambai. Semak-semak bagai merunduk di antara tingginya pepohonan besar yang sudah jarang-jarang akibat penjarangan liar. Akh... bukit dan lembah tak mampu menghalau keserakahan, hingga masa depanlah yang akan bercerita dengan memberi tanda kemuraman tanpa keramahan.

Pada suasana duka keluarga di sudut kampung, peratap mendayu-dayukan suaranya hendak membelah kabut duka yang dirasakannya. Kaku. Beku. Jenazah tak dapat memberi senyum dan sapa, apalagi mengangkat tangan sekadar memberi salam jabat tanda perpisahan. Lubang hidung untuk membau tak berfungsi, puncak hidung untuk mencium tanda kasih dan sayang berakhir sampai di sini. Keranda ditutup. Siap berangkat bila hari telah menunjukkan tanda siang. 

Di pusat kampung berdiri kokoh bangunan penampung aspirasi di mana penduduk dapat menyalurkan opini, dicatat oleh juru tulis. Ketika peladang yang dihimpun kembali ke dalam kesibukan, analisis dibangun oleh penjaring opini, dikategorikan dan disalurkan entah akan saklek sukses  atau gagap dalam nada gagal. 

Bangunan lainnya menjadi penghimpun massa bertelinga dan bermulut bisu di mana khatib bersuara atas nama Sang Khalik. Kidung rohani yang teramat singkat hanya memberi keterkejutan pada roh. Sabda Sang Khalik dialirkan melalui bibir pendosa yang memohonkan pengampunan untuk segenap kaum peladang. Sabda Sang Khalik sampai di lantai bangunan, mereka pulang sebagai ayam pematuk benih berbijian yang disebar. Siapa bertelinga hendaklah mendengar. Siapa berjemari hendaklah ia memulung. Siapa berkaki hendaklah ia berangkat ke dalam kehidupan berfaedah dengan memeluk kasih, dan siapa berlidah hendaklah ia melafalkan kata bermuatan roh kehidupan dan mencicipi manis-pahit segala rasa kehidupan.

Dokpri: Roni Bani
Dokpri: Roni Bani

Satu tanah lapang membentang di pusat kampung. Anak-anak bermain bersama ternak  yang ditambatkan di sana. Suatu pemandangan yang biasa. Saban hari pemilik ternak yang tertambat akan menggeser tali tambatan, sementara pemilik ternak yang lain mengambil rerumputan untuk ternak yang ditambatkan di pekarangan.

Umi Nii Baki-Koro'oto, 8 Desember 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun