Mamahan sirih-pinang-kapur sebagai suatu sikap tata krama dalam pergaulan. Mereka yang hidup dengan budaya ini akan saling berbagi sirih-pinang sebagai pasangan serasi.
Mereka akan mengunyah campuran itu dan diakhiri dengan kapur untuk menetralkan rasa sepat dari pinang dan pedis dari sirih, lalu mengubah warna kabut menjadi merah hingga merah hati cenderung hitam. Mamahan sirih-pinang-kapur membudaya pada masyarakat Indonesia pada umumnya. Itulah (mungkin) alasan mengapa orang menggunakan pendekatan meminang pada seorang gadis.
Kapal motor tiba, rombongan pun berpindah posisi ke dalamnya. Tiap anggota rombongan mengambil tempat duduk senyaman mungkin. Tidak ada pengumuman bagaimana cara menyelamatkan diri bila terjadi kecelakaan laut. Pelampung disiapkan oleh pemilik kapal. UBB GMIT pun menyediakan pelampung sebagai suatu tindakan kewaspadaan. Memperhitungkan segala kondisi oleh karena pertemuan arus di antara selat dan teluk yang akan dilayari itulah, maka kesiapsiagaan layak disikapi.
Rombongan berangkat. Hawa panas mengernyitkan mata. Goyangan kapal motor terasa nyaman bagi para penumpangnya. Sama sekali tidak ada indikasi gugup pada anggota rombongan yang untuk pertama kalinya menggunakan jasa angkutan laut seperti ini.Â
Pulau Alor dilewati, menuju pulau Pantar. Di depan sana ada beberapa pulau yang akan dilewati seperti Pulau Pura, Pulau Buaya, Pulau Padang Pulau Rusa dan akhirnya di kejauhan Pulau Lembata yang berada di depan Pulau Pantar. Kapal motor diarahkan ke kampung Balungada Nedabang desa Bandar Kecamatan Pantar.
Menurut anggota tim/panitia yang menjemput, biasanya kapal motor berlabuh di Kabir, dari sana menggunakan jasa angkutan darat pikap, untuk tiba di desa tujuan. Kali ini deengan memperhitungkan arus laut yang memungkinan rasa nyaman, maka kapal motor berlabuh di desa tujuan.
Rombongan tiba dengan selamat. Ketika tiba di sana, kapal melakukan suatu ritual menarik "berputar arah" seakan-akan akan kembali ke Kalabahi. Ada rasa dag dig dug pada sebahagian penumpang, bahwa perkiraan untuk tidak dapat berlabuh oleh karena dangkalnya tempat berlabuh atau sejenisnya, namun justru itulah cara mereka menyatakan rasa gembira telah didatangi oleh tamu-tamu, dan mereka pun menjadi terhormat.
Rombongan telah mendarat. Masyarakat (umat/jemaat) desa Bandar menjemput rombongan. Tua-muda, besar-kecil, anak-anak, para muda dan tetua. Mereka membantu rombongan membawa barang-barang bawaan melewati tembok pembatas bibir pantai dan daratan yang tingginya di atas 1,5 meter. Rupanya di balik tembok pembatas itu, sudah disiapkan acara penjemputan.Â
Sepasang bapak-ibu menggunakan alat musik menuntun rombongan di gang menuju tempat penjemputan sesungguhnya. Jaraknya lebih kurang 100 meter.
Di sana telah bersiap bapak kepala desa dan isterinya, ketua panitia dan regu penari yakni para muda/mudi. Kain tenun disematkan pada tiap anggota rombongan oleh Kepala Desa dan isterinya. Asumsi PA, ini penjemputan pertama.