Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Suka membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa. Menulis puisi sebisanya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rasanya Kita Sedang Memelihara Kolonialisme Modern

10 November 2023   20:03 Diperbarui: 10 November 2023   20:45 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://indoprogress.com/

"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi  perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." (Ir. Soekarno)

Kata-kata sarat makna yang diucapkan Presiden Soekarno sebagaimana kutipan di atas selalu akan kembali terngiang pada setiap tahun peringatan Hari Pahlawan Nasional, 10 November. Kita ingat betapa perjuanan bangsa Indonesia khususnya yang terjadi di Surabaya pada 10 November 1945 itu. Bung Tomo mengobarkan api perlawanan melalui corong radio. Semua kaum di dalam kota Surabaya bangkit bermodalkan senjata apa adanya, bambu runcing. Bambu yang telah ditajamkan diikatkan bendera merah putih. Sang dwi warna menjadi roh yang menggelorakan semangat tanpa gentar. Kematian pun dijemput oleh para bunga bangsa. Mereka gugur di medan pertempuran yang melahirkan sejarah, Jembatan Merah.

Ketika orang mengingat dan menyanyikan Jembatan Merah, mungkinkah mereka mengetahui sejarah tergubahnya lagu ini oleh Gesang Martohartoni? Lagu ini digubah pada tahun 1943, dua tahun sebelum pecah pertempuran Surabaya. Imajinasi Gesang menembus masa oleh karena perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Seorang gadis yang merelakan kekasihnya pergi ke medan tempur. Sang kekasih tak pernah kembali. Suatu deskripsi yang luar biasa.

Sepuluh November 1945, hal sebagaimana dideskripsikan dalam lagu oleh Gesang itu benar-benar terjadi. Para prajurit dan pemuda Surabaya bangkit meneriakkan yel-yel Merdeka, Hidup atau Mati. Medan pertempuran menjadi saksi bisu meregangnya nyawa putra-putra bangsa sebagai kesuma bangsa. Darah mereka mengalir, dihisap oleh bumi pertiwi, tubuh yang kaku kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Mereka dipeluk erat, nama mereka dipatri bukan saja pada batu nisan, tapi juga pada prasasti hati kekasih-kekasih mereka yang merelakan kepergian itu untuk selama-lamanya.

...

Antara 1945 hingga 2023 sudah jauh ziarah bangsa ini mengisi kemerdekaan. Kemerdekaan yang didapuk sebagai pintu gerbang menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia yang cita-citanya tersurat amat jelas dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Mungkinkah sudah ada di antaranya yang terwujud?

Perwujudan atas cita-cita itu bagai fatamorgana, terlihat tak teraba dan tak terasakan secara parmanen. Mengapa? Tengoklah sejarah bangsa mulai dari perwujudan Konstitusi baik di zaman Orde Lama, Orde Baru dan Refomasi ini. Para pemimpin mempunyai jargon politis yang terasa tidak absurd, terasa hebat dalam kata di atas prasasti, terasa indah pada keterpilihan diksi, dan terlihat wujudnya yang berpotensi mengagumkan. Siapakah pengamat dan partai yang tidak mengkritisi tanpa solusi? Dapat saja ada kritikus tanpa solusi. Dapat pula menyertakan solusi.

Pembangunan berkelanjutan terus digalang oleh pemerintah NKRI di bawah Konstitusi yang telah diamandemen. Praktis hasil amandemen telah memberi perubahan pada praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam apa yang disebut sebagai tata negara.

Institusi yang disebut lembaga tertinggi dihapus dan disamakan semuanya menjadi lembaga tinggi negara dengan penambahan Mahkmamah Konstitusi, dan penghapusan Dewan Pertimbangan Agung, dan lain-lain sesuai hasil amandeman. Pemilihan pasangan Presiden/wakil presiden, pasangan gubernur/wakil gubernur, pasangan bupati/wakil bupati, pasangan walikota/wakil walikota dilaksanakan secara langsung oleh pemilih hak suara.

Lembaga-lembaga legislatif berperan pada pembentukan undang-undang bersama pemerintah (legislasi), pengawasan (controle), dan anggaran (budgeting). Mereka tidak lagi melaksanakan tugas memilih dan menempatkan orang terbaik pada aras nasional dan daerah.

Apakah semuanya itu telah berdampak pada kemerdekaan yang hakiki dan tiada lagi kolonialisme?

Pada titik ini para akademikus dan periset akan memberi jawaban pada kita. Para pemangku kepentingan pada lembaga-lembaga trias politika akan memberi respon variatif yang mencengangkan di panggung praktik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kolonialisme yang diartikan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli oleh pendatang. Benturan yang terjadi dapat berupa peperangan, penjarahan, perbudakan serta pemberontakan (Yusa Djuyandi, 2014).

Pada tataran definisi yang demikian itu rasanya kolonialisme sudah tidak ada lagi, tetapi kiranya patut dicermati bahwa kolonialisme di dalam dunia yang makin canggih oleh karena pengaruh globalisasi, maka gerak semu kolonialisme sedang dan terus menggerogoti umat manusia.

Pembangunan yang berkelanjutan selalu berdampak pada lokus (lokasi, tanah). Di manakah infrastruktur jalan (tol), jembatan, bandara, dermaga, dan segala bentuk bangunan besar yang tidak memerlukan lokus?

Apakah untuk membangun industry berskala menengah dan besar, pengusaha tidak memerlukan tanah? Mungkinkah roh kapitalisme tak memerlukan tanah untuk menempatkan bangunan agar masyarakat melihat, m erasakan dan mengambil manfaat darinya?

Satu artikel berjudul Kolonialisme Modern ditulis oleh Afthon Ilmah Huda (2012) dalam tiga paragraf dinyatakan bahwa telah terjadi penjarahan ruang. Dampak dari modernisasi salah satunya adalah terbukanya gerbang bagi kapitalistik untuk berkembang secara ekspansif. Hal ini bisa kita lihat dari mulai banyaknya aspek atau ruang kehidupan di masyarakat yang mulai dirasuki, dirusak oleh para pemodal untuk tujuan keuntungan. Tanah, pendidikan, dan terutama media massa adalah beberapa contoh ruang yang tak luput jadi incaran para kapitalis saat ini.

(Sejauh pengamatan Afthon), peran media massa hari ini terlampau jauh mengalami pergeseran dari prinsipnya, yaitu sebagai partner kepercayaan masyarakat. Hampir sebagian besar dari beberapa media di Indonesia berada di bawah kendali penguasa atau pemodal. Fakta ini bisa kita lihat pada beberapa stasiun televisi yang mengudara, rerata dimodali oleh pengusaha yang merangkap sebagai elite politik atau petinggi di negeri ini.

Dunia pendidikan telah ada dalam kanal bayangan "kolonialisme" gaya baru yakni pembangunan sekolah-sekolah favorit berbiaya tinggi, namun diminati oleh masyarakat kelas menengah ke atas. Fasilitas yang tersedia dan impian masa depan yang lebih baik telah dikapitalisasi sedemikian rupa sehingga masyarakat bagai "diperbudak" oleh impiannya sendiri.

Kehidupan modern dengan bergelimang kemewahan dan kegemilangan bukanlah hal yang tabu, namun patut mempertimbangkan aspek karakter dan akhlak. Karakter dan akhlak mulia di dalam negara berideologi Pancasila, aspek kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan sosial dalam tatanan insan ber-Tuhan patut mendapat tempat yang layak dan pantas. Manusia Indonesia yang mengabaikan hal-hal yang demikian atau merasa sedang mewujudkan karakter bangsa yang terinternalisasi dalam Pancasila, tentu bukanlah manusia yang Pancasilais.

Para konglomerat menempatkan modal besar dengan membangun industri-industri yang menyerap tenaga kerja. Hal ini tentu sangat baik bahkan patutlah mendapatkan acungan jempol karena mereka telah menciptakan dan menyediakan lapangan kerja. Lalu, kita tidak perlu bertanya tentang aspek kemanusiaan dan keadilan sosial bagi para pekerja. Siapa menduga kemudian para pekerja (buruh, karyawan) pada titik waktu tertentu mesti "berteriak" agar kesejahteraan mereka mendapatkan perhatian? Bukankah hal yang demikian dapat dimaknai sebagai "perbudakan" sesama anak bangsa, atau perbudakan secara tidak langsung sedang terjadi praktik imperialisme? Mereka memerintah dengan menjembatankan modal (uang). Modal terlihat besar dalam investasi, namun dikemas sedemikian rupa untuk terjadi efisiensi pada aspek kesejahteraan pekerja.

Rasanya kolonialisme modern sedang merayapi kita, dan kita memeliharanya tanpa disadari atau mungkin kita sedang memeliharanya.

Mari memberi makna pada Hari Pahlawan Tahun 2023 ini.

Terima kasih.

Umi Nii Baki-Koro'oto, 10 November 2023

Heronimus Bani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun