Lihatlah kini, dalam rangka pemilihan umum serentak tahun 2024, para ketua umum partai melakukan apa yang disebut silaturahmi antarpartai. Mereka bersahabat, tiada berseteru. Bertemu sebagai kawan, lalu berbalik di luar ruang silaturahmi sebagai lawan.Â
Bersua dengan pantun-pantun persahabatan, di hadapan publik dengan satire bergaya menyerang dengan peluru kecemasan. Hal-hal demikian dilakukan pula secara berkemiripan oleh kader-kader. Maka, tiadalah mengherankan ketika publik ditanyai oleh para surveyor, kader-kader tertentu saja yang mendapat prosentase tinggi diterima publik, dan mereka yang non partisan pun diterima publik.Â
Antara kader partai dan yang non partisan/profesional yang sama-sama kuat diterima publik, akhirnya para ketua umum harus melakukan kalkulasi politik sedemikian rupa untuk menawarkan kader-kadernya ke hadapan publik. Penerimaan publik untuk selanjutnya bersedia memberikan hak suara pada kader menjadi perhitungan yang amat penting. Kader X dengan kualifikasi A sekali pun belum dapat menjamin mendongkrak dan meraup suara sebanyak-banyaknya.Â
Oleh karena itu, para ketua umum partai melakukan safari politik dengan pihak di luar kadernya sendiri, termasuk dengan mereka yang berada di dunia profesi.Â
Para pasangan calon yang kini mulai mengantri dan mendaftar di Komisi Pemilihan Umum sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden, ternyata ada di antaranya yang bukan kader partai. Sampai di titik ini kita bertanya, mungkinkah partai minim kader berkualifikasi A plus?
Anies Rasjid Baswedan, bukan kader partai mana pun. Mahfud MD, bukan kader partai PDI Perjuangan. Gibran Rakabuming Raka kader PDI Perjuangan, justru direkomendasikan oleh Partai Golkar, pemenang ketiga pemilihan umum 2019, dan Partai Gerindra yang menduduki posisi kedua pemenang pemilihan umum 2019, justru minim kader dengan kualifikasi A plus. Mereka yang berkompetisi yakni para partai yang mengusung paslon, justru minim kader.
Padahal, publik dapat saja melongok dengan mata terbelalak karena terheran-heran atas kaderisasi dan betapa kualifikasi para kader terutama para ketua umum dan sekretaris jenderal merupakan kader-kader terbaik. Mengapa tidak menetapkan salah satu di antara mereka? Tidak tanggung-tanggung pula para Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) pun punya kualifikasi teramat baik. Sebutlah Puan Maharani yang kini menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Kita sebutlah pula Bambang Susatyo Ketua Majelis Permusyawartan Rakyat, dan lain-lain tokoh partai dan tokoh nasional yang mumpuni.
Di atas segalanya analisis kampungan ini, kita ingat dunia pragmatisme dalam politik. Kader yang luar biasa sekali pun belum dapat dipastikan untuk mendongkrak dan meraup suara untuk kemenangan partai atau gabungan partai pengusung. Maka, menarik dan mengambil kader partai lain, atau tokoh yang diidolakan publik dari dunia profesional merupakan pendekatan dan pilihan terbaik para partai.
Mereka tidak kekurangan kader dengan kualifikasi A, tetapi mereka mengkalkulasi secara sosial-politik arah dan tren massa/publik agar dapat menjatuhkan "cinta" pada individu dan pasangan calon yang mereka tawarkan.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 23 Oktober 2023