Kader-kader yang dapat diandalkan itu akan di-blow up secara terus-menerus oleh media massa. Mungkin juga oleh kader itu sendiri yang menggunakan aplikasi media sosial dengan ribuan hingga jutaan pengikutnya. Mereka menjadi makin terkenal sambil berbenah agar citra diri mengalami trend positif.Â
Kata, sikap, dan tindakan nyata yang terus diikuti melalui berbagai media pada zaman digitalisasi ini patut terus dijaga. Satu kekeliruan ucap diksi akan berpengaruh pada citra diri. Satu kesalahan sikap bahkan gimik dan gestur dibaca oleh para pakar semiotik, dibahas lalu mendapatkan ragam respon yang berdampak pula pada citra diri.Â
Demikian seterusnya dengan tindakan nyata yang bersentuhan langsung dengan masyarakat baik sebagai komunitas maupun di daerah yang dipimpinnya atau di dalam  institusi/lembaga/badan yang dipimpinnya.
Citra diri para kader yang ditebar pada berbagai media akan terus mendongkrak polularitas. Kualitas dan kompetensi diri yang terus diasah pun tak boleh konstan, justru mesti terus digerek.Â
Pada sisi yang demikian itu, kader-kader yang muncul dan dikenal luas oleh publik jumlahnya terbatas. Secara internal para partai akan membanggakan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.Â
Sementara para ketua, para wakil ketua, bendahara, wakil sekretaris jenderal, para wakil bendahara mungkin pula kurang populer di mata publik secara nasional. Kemunculan kader tertentu di mata publik melalui debat dan diskusi pada media televisi dan talk show kopi darat menaikkan kualitas kepoluleran seseorang kader.Â
Sementara itu mereka yang non partisan, tidak terdaftar pada partai tertentu tak kalah hebatnya di-blow up oleh media. Mereka yang berada di dunia profesi dengan bidang keahlian dan kepakaran naik dan mendapat atensi publik. Mereka pun mendapatkan point poisitif dari publik yang sekaligus dilirik oleh partai-partai.
Maka, tidaklah mengherankan bila pada posisi kementerian misalnya, dari masa ke masa selalu ada orang yang bukan anggota partai justru dipilih menjadi pembantu presiden.Â
Partai tidak dapat memaksakan kehendak kepada Presiden ketika ia menggunakan hak prerogatifnya dalam menentukan pembantu-pembantunya sebagai anggota kabinet. Sampai di sini, rasanya partai sedang minim kader. Padahal pengkaderan sudah dijalankan secara luar biasa di dalam partai.
Tengoklah dalam sejarah reformasi ini ketika pencarian untuk menjaring pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ingatlah ketika Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan K.H. Hasyim Muzadi. Bukankah K. H. Hasyim Muzadi bukan kader PDI Perjuangan? Oh, ya, demi menjaga persatuan dan kesatuan dan merangkul kaum dan puak, maka non kader partai pun dapat direkrut menjadi calon pemimpin bangsa.
Seterusnya, partai-partai terus bekerja dan memprakarsai berbagai proses kaderisasi agar jumlahnya terus bertambah. Perekrutan tiada berhenti. Partai terus menggerek kualitas, kompetensi dan kapabilitas diri kader-kadernya agar pada waktunya ketika ditawarkan ke hadapan publik, mereka dapat diterima untuk menempati posisi-posisi sebagaimana yang disediakan oleh negara melalui undang-undang.