Seorang sahabat mengirim satu pertanyaan menggelitik. "Apa kata bahasa daerah (Amarasi) untuk Rumah Sakit Jiwa?"Â PA bingung bagaimana menjawabnya? Lalu PA memberikan jawaban pendek, "haha... lucu sa... ."
Sahabat PA merespon dengan emotion tawa. Lalu melanjutkan bahwa inspirasi pertanyaan ini ada di benak ketika ia melintas di depan rumah sakit jiwa di sekitar pinggiran Kota Kupang.Â
Ia berpikir tentang istilah dalam bahasa daerah kami (Amarasi ~ aaz). Maka, pagi ini ia mengirim pesan WhatsApp dengan pertanyaan itu.Â
PA menjelaskan bahwa kata yang tepat tidak ada, kecuali situasi dan sifat yang dirasakan dari pelayanan rumah sakit jiwa dapat dijelaskan dalam Bahasa Amarasi (Kotos, Roi'is).Â
Kami melanjutkan percakapan dengan saling mengirim teks pendek yang mengarah pada pengetahuan kebudayaan lokal kami: Pah Amarasi.Â
Beberapa istilah PA beberkan untuk memberikan pencerahan pada sahabat PA ini. Istilah yang mucul ketika benda-benda itu ada atau diadakan sehingga dimiliki oleh masyarakat Atoni' Pah Meto'Â yang menghuni Pah Meto'Â (Pulau Timor), walau tidak secara keseluruhan suku dan sub-sub Atoni' Pah Meto' menggunakan istilah yang sama.
Contoh-contoh yang PA berikan antara lain:
kacang dalam bahasa Amarasi  knaa', ketika didatangkan kacang tanah ke Timor, ditanam oleh petani ladang Amarasi, mereka menamainya knaa kase ~ kacang asing.Â
kacang hijau dalam bahasa Amarasi ~ foe atau foa  dan  foe kase. Jenis kacang ini dinamai demikian oleh karena bijiannya yang amat kecil sehingga untuk mendapatkannya tidak dengan cara dikupas. Beberapa polong kacang hijau yang sudah kering ditempatkan pada telapak tangan, kemudian dengan menggunakan dua telapak tangan polong kacang hijau yang kering itu digesek-gesek untuk menghacurkan kulit, sesudah itu ditiup dan tersisa/tertinggal biji kacang hijau. Tindakan ini dinamakan foe atau foa. Tindakan yang demikian ini terus berlanjut sehingga kacang hijau dinamakan foe atau foa atau foe kase.
Bijaekase menjadi bikase'. Kata ini dibentuk dari dua kata yakni: bijae atau bia dan kase. Bijae/bia artinya sapi, dan kase, artinya asing. Jadi, bikase' artinya sapi asing. Asosiasi masyarakat pada masa itu, kuda mirip sapi yang sudah terlebih dahulu ada. Maka, ketika kuda didatangkan ke Pah Meto' (Pulau Timor), orang menyebutkannya dengan mengasosiasikan bahwa jenis ternak/binatang yang satu ini mirip sapi (bijae, birael, bjael, bia).
Sang Sahabat ini bertanya secara ringan, PA memberikan jawaban yang kiranya dapat mencerahkan. PA memberikan beberapa catatan tambahan informasi yang sifatnya "menggeser" budaya masyarakat Pah Amarasi (dan mungkin orang Timor pada umumnya?)
Dalam hal pemberian nama yang khas penghuni Pulau Timor asli yakni Atoni' Pah Meto'. Apakah masyarakat Atoni' Pah Meto maih mempertahankan nama yang disematkan pada mereka seturut budaya pemberian nama pada masa lampau? Jawabannya, tidak!Â
Ketika budaya asing (pah kase) masuk, orang Timor di Pah Amarasi segera melakukan penyesuaian-penyesuaian agar dapat menjadi bagian dari budaya kase.Â
Contohnya pemberian nama pada anak, nama yang kelak terus melekat pada tiap individu sampai selamanya. Nama yang khas menurut tata cara memberi nama kepada anak dalam keluarga-keluarga Atoni' Pah Meto' menjadi bergeser. Contoh: bi Funan, artinya seorang perempuan bernama Funan, nai' Funan, artinya seorang laki-laki bernama Funan.Â
Beberapa contoh nama PA sebutkan, seperti: bi Raku, nai' Toro', nai' Kono, bi Kono, nai' Seka', bi Seka', nai' Paru, bi Paru, bi Taku,nai' Taku, dan lain-lain. Mengapa semua ini "dibuang" dan dilepaspisahkan dari budaya Atoni' Pah Meto'?Â
Semua nama yang demikian tidak ditemukan dalam dokumen-dokumen kependudukan yang dimiliki individu-individu anggota masyarakat Atoni' Pah Meto'.Â
Mengapa? Karena tidak menggunakan nama itu ketika mencatatkannya pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk mendapatkan Akta Kelahiran. Nama yang demikian diasumsikan sebagai berbau kafir, karena dimiliki oleh para leluhur yang belum mengenal agama dan apalagi Tuhan.
Maka, ketikan orang menggunakan nama yang demikian itu, contoh: nai' Tanis, atau bi Tanis, nama yang demikian itu dianggap kafir. Nama yang kafir akan mengkafirkan pemilik nama itu.
Orang merasa "naik kelas", bergengsi dan beragama (rohani) bila nama yang disematkan padanya diperoleh dari Kitab Suci. Nama dari kitab suci itu disematkan kepada anak yang lahir, sambil tetap mempertahankan nama  marga (nonot, nonoh). Perhatikan dua contoh ini: Paulus Abineno... kata/istilah Paulus merupakan nama salah satu tokoh dalam Kitab Suci (Alkitab). Sementara Abineno merupakan "penanda" dari mana asal (uuf) sang pemilik nama.Â
Hal yang sama terjadi pada penganut agama Islam. Namanya khas Islami, namun tetap mempertahankan nama marga (nonot, nonoh). Contoh: Muhammad Masneno. Kata/istilah Muhammad, jelas menunjukkan budaya penamaan yang khas Islami dari dunia Timur Tengah, sementara kata/istilah Masneno, jelas menunjukkan dari mana asal pemilik nama Muhammad.Â
Dan seterusnya... . Nama-nama yang demikian diasumsikan sebagai nama yang rohaniah,religius dan mungkinsaja sebagai "modal ke surga". haha...Â
Sementara nama individu masyarakat Atoni' Pah Meto' yang sebelum datangnya agama semawi, nama itu diasumsikan sebagai kafir, tidak rohani, tidak religius. Nama itu disebut kaan nitu ~ artinya nama (berbau) setan, dan nama  baru itu disebut kaan kase ~ nama asing.Â
Akhirnya, PA berhenti menulis catatan (chat), namun Sang Sahabat masih bertanya tentang istiah pah ma nifu... yang mengantar PA untuk memberikan tambahan istilah yang khas masyarakat Atoni' Pah Meto' dan memberi jawaban pendek. Istilah-istilah itu yakni pah ma nifu, faut kanaf - oe kanaf. Dua istilah yang sangat filosofis, namun secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:
Pah ma nifu, artinya suatu area tempat tinggal bersama dalam komunitas di permukaan bumi/tanah (pah). Pada permukaan tanah itu diperlukanlah air di dalam kolam alamiah (nifu) dengan ukuran tertentu untuk kebutuhan sehari-hari.Â
Jadi, makna pah ma nifu di sini yaitu suatu area/wilayah tempat tinggal. Sementara faut kanaf  - oe kanaf, artinya batu nama - air nama; yakni suatu tempat dari mana asal individu dalam komunitas genealogis, dan di tempat asal itu individu akan kembali. Faut kanaf - oe kanaf bersifat metafisik, tidak terlihat tetapi bermakna amat filosofis. Â
Demikian satu catatan ringan yang didapatkan hari ini (pagi). Catatan ringan ini sekali lagi terinspirasi dari percakapan via aplikasi WhatsApp (chat)dengan seorang Sahabat. Semoga menginspirasi.
PA ~ Pemulung Aksara
Umi Nii Baki-Koro'oto, 2 Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H