Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Sang Filsuf (2)

5 Agustus 2023   11:54 Diperbarui: 5 Agustus 2023   11:55 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.antarafoto.com/

Malam terus bergeser mencumbui raga bumi. Lereng bukit bergeming dengan suasananya. Pepohonan dengan ranting kuat tempat bertenggernya burung-burung yang tak seutuhnya memejamkan mata. Sementara burung malam memlototkan bola mata memancarkan cahaya menembus keremangan untuk menemukan mangsa. Suara melengking mengantar gelombang elektromagnetik yang berbalik memberi pesan keberadaan mangsanya.

Sepi... ya, demikianlah suasana kampung di lereng bukit ini. Kendaraan bermesin pun telah menuju parkiran dan beristirahat. Mendinginkan mesin tanpa gangguan.

Sang Filsuf ada dalam benak Panca Kakek. Kakek Gaul akan membawa tubuh rentanya ke pembaringan. Ia masih menyempatkan menggosok android dan menemukan wajah serta ungkapan-ungkapan menarik dan mencemaskan. Berbarengan dengan itu, keresahan dan keriuhan menggelombang.

Kakek Gaul membatin, "Andai kebodohan dapat berteriak, ia akan meneriakkan yel-yel kemunafikan filsafat dan menggerek kemuliaan semu. Kebodohan membatil dalam kandungan aksara melahirkan ujaran kritis tanpa kanal kemerdekaan." 

Membekali alam bawah sadarnya dengan kalimat itu, Kakek Gaul pun memejamkan mata. Dalam tidurnya ia bermimpi telah bersua Sang Filsuf di meja makan dengan mangkuk berisi sup tanpa penceduk sup. Sup di dalam mangkuk disuguhkan untuk keduanya. Siapa yang cerdik, akan segera mengambil isinya. Sang Filsuf duduk berpikir keras, sementara Kakek Gaul memainkan android. Detik berikutnya, Sang Filsuf pergi ke membuang sampah cair di dalam tubuhnya. Kakek Gaul menyeruput sup itu hingga tuntas. Ketika Sang Filsuf berbalik, ia menemukan mangkuk tak berisi lagi. Terdengar perutnya bernyanyi dalam nada yang diketahuinya.  

Nagari berkepulauan memiliki pemimpin tertinggi Sang Superior yang kurang hirau dengan kabut keramaian yang mengaburkan spirit untuk bergerak maju. Ia makin membesarkan hatinya dan bersedia menanggung hinaan demi bangsa yang memikulkan tanggung jawab padanya. Senyum. Senyum. Senyum. Berujar kalem, kalem, kalem. Langkah tak terseok, ketika menghampiri kaum yang terseok-seok akibat permainan para pesorak filsafat cenderung doktrin.

Sang Superior mendulang puja tak urung pula ada yang mengantar umpan, berharap ada umpat dari mulutnya. Sungguh disayangkan, mereka tiada mendapatkannya. Sang Superior bertambah digdaya bagai mendapat ajian baru yang diramu dari aksara bermuatan hina-dina, caci-maki, dan mala-nista, walauajian baru itu disimpan dalam keranjang bolong. Ia berharap akan gugur isinya secara perlahan agar pada waktu yang lain di masa depan menjadi ruang hampa, dan terisikan ramuan baru yang lebih digdaya.  Kelak di sana akan ada cahaya yang memancar dari dalam keranjang itu dengan membawa aroma yang mengembangkempiskan lubang-lubang pembau dan perasa.

Umi Nii Baki-Koro'oto, 5 Agustus 2023

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun