Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Suka membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa. Menulis puisi sebisanya

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Sang Filsuf (2)

5 Agustus 2023   11:54 Diperbarui: 5 Agustus 2023   11:55 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi; Sumber: https://open.spotify.com/

Hari berikutnya datang. Pagar rapat dan mepet yang melingkari Sang Filsuf sobek. Sang Filsuf keluar dari kurungan pagar itu dan mulai bernyanyi di halaman yang tidak seberapa luas. 

"Aku tahu satu hal, publik tidak memahami apa pun yang terjadi sebagai metode olah pikir. Pikiran itu harus dipertengkarkan. Bagaimana mengetahui olah pikir jika pikiran tidak boleh dipertengkarkan? Tapi, sudahlah! Aku dapat memahami bahwa telah terjadi kecemasan publik. Biarkan diriku ini menyampaikan ma'af, sekali pun pada kamus besarku tak tertulis kata itu." Pernyataan pertama keluar dari mulut Sang Filsuf.

Video beredar ke mana-mana. Kaum muda menggosok dan menggeser layar android. Di sana terlihat ada  yang mengeryitkan dahi, ada pula yang menggelengkan kepala. Di kota-kota huru-hara terjadi dalam gaya yang khas menyambut pernyataan Sang Filsuf beberapa hari sebelumnya. Video pernyataan terakhir yang pada intinya meminta maaf bagai rumusan kalkulatif menghindari tali perangkap yang akan menjerat leher.

Baca juga: Sang Filsuf

Panca Kakek menggeser-geser kaki masing-masing keluar dari gubuknya. Kelimanya kelihatannya sedang berada di dalam tangan pemegang alat kontrol yang menghidupkan dan menggerakkan. Mereka menuju ke tempat biasanya mangkal. Pohon besar di bibir kampung. Pohon rindang yang memberi kesejukan, tempat mereka bercengkerama di masa tua. Mereka tidak lupa untuk membawa tempat sirih-pinang miliknya masing-masing.

Panca Kakek memulai perbincangan ringan mereka sebagai cara bercengkerama sambil menikmati mamahan: sirih-pinang-kapur. Kakek Gaul tentu saja sangat berbeda. Dia memang mengikuti arus zaman dengan memiliki android. Kabar-kabar terbaru diikutinya dan sangat sering dibawa ke dalam perbicangan mereka.

"Aku sudah membaca, dan juga menonton sekaligus mendengar pernyataan Sang Filsuf. Entah mesti menyebut menarik atau dia sedang kalut. Aku tak dapat menilai. Satu kepastian, dia ditolak bercerita dengan para muda. Ada yang jengkel dan kecewa, tapi ada pula yang justru senang dan tertawa ngakak tanda gembira." demikian Kakek Gaul memulai perbincangan mereka.

"Menurutmu, hai Gaul, tidakkah Sang Filsuf keliru? Coba cek lagi berita-berita tentang dirinya. Siapa tahu ada kebenaran dan keikhlasan pada dirinya dari hasil olah pikirannya yang sering disebutkan sebagai sesuatu yang mesti dipertengkarkan?" tanya sahabatnya sambil mengunyah mamahan.

Empat remaja kampung melintas di jalan ketika akan pergi sumber air pada petang itu. Mereka membawa ember untuk mengambil air bersih yang berada di luar kampung. Mereka kelihatannya sangat menikmati tugas dan suasana di kampung mereka. Tugas menimba air dilakoni dengan hati gembira.

Sumber: https://www.antarafoto.com/
Sumber: https://www.antarafoto.com/

Ketika para remaja kampung mengambil air dari sumber yang jauh, memanggul sambil berjalan kaki tanpa alas kaki, kaum intelektual tertentu yang mengaku dapat memberi solusi atas beragam masalah justru menebar kecemasan. Padahal kecemasan sesungguhnya berada pada mereka yang bersua dengan masalah seperti kekurangan air bersih. Berjuta mulut menanti air bersih untuk diminum, sementara konglomerat menjual air bersih dalam kemasan yang menaikkan status sosial dan ekonominya. Kaum melarat tergiur dengan sebongkah air bersih kemasan yang dapat digenggam, diminum dan pulang ke rumah sambil mencari air bersih lagi dengan berjalan kaki ke sumber air.

Sang Filsuf bersuara di pelataran pagar. Kakek Gaul memperdengarkan suara video itu untuk keempat sahabatnya. 

"Superman nagari tidak mempersoalkan pernyataanku. Ruang kosong dan hampa emosi tak tercemari, kecuali publik sendiri yang merindukan untuk saling berseteru sehingga tercemarlah. Jadi, aku di sini untuk menjernihkan agar perseteruan itu dapat dieliminir. Sementara pertengkaran pikiran akan terus aku jalani walau di sana-sini aku dipersekusi." terdengar suara itu.

Keempat kakek diam termangu-mangu. Entah ada gejolak apa dalam olah pikir mereka. Seorang di antara kelimanya memandang jauh sejauh-jauhnya. Matanya kosong.  

Pada ruang angkasa seekor burung rajawali terbang tinggi. Suaranya melengking membelah keheningan kelima kakek. Kelima kakek bagai disadarkan oleh lengking suara sang rajawali. Sang rajawali rupanya melintas di sana mencari mangsa. Ia termasuk golongan predator yang membunuh untuk menafkahi diri dan anggota keluarganya. Ia menempatkan sarangnya di ketinggian yang tidak mudah dijangkau predator lainnya, bahkan oleh insan berakhlak dan bijaksana dengan sebutan filsuf pun tak dapat dengan mudah menjangkaunya.

Sumber: https://suar.grid.id/
Sumber: https://suar.grid.id/

Panca Kakek hendak bubar dari tempat bercengkerama mereka, namun keingintahuan masih merayapi benak. Kakek Gaul pemilik android terus menggeser-geser layar. Beberapa berita dibacakan agar mereka dapat membayar kehausan pada informasi publik walau tak seutuhnya mereka paham. Umur telah memakan raga, pendengaran mulai senyap, penglihatan mulai kabur. Kulit tubuh terlihat mengerut dan garis-garis wajah laksana sedang bercerita tentang masa lampau yang dirajut dalam ramuan keteguhan hingga kini.

Sang Filsuf lebih memahami masa tua daripada Panca Kakek. Sang Filsuf akan mengalaminya dengan meninggalkan prasasti bertuliskan satu titik bernoda. Noda itu akan menutupi masa keemasan yang ia kemas bersama-sama kaum pengecoh yang berdiri di samping dan di belakang membayang. Media pengumpan telah turun setelah melambungkannya ke altar kebhinekaan. Pada altar itu segala kaum bergaya, entah dengan tarian yang diiringi varian bebunyian, entah dengan lagu dan lukisan ragam warna. 

Anak-anak pemanggul air bersih kembali ke rumah. Kali ini mereka tidak lagi sambil bergurau memainkan ember tampungan air sebagai alat musik. Mereka telah mengisinya dengan air. Mereka mempercepat gerak langkah kaki untuk segera tiba di rumah. Ketika tiba di rumah beban di bahu akan diturunkan sehingga bebaslah dari tanggungan itu.

Area di bawah batang pohon besar tempat bertemunya Panca Kakek mulai sepi. Panca Kakek masing-masing telah kembali ke rumahnya dengan menyeret-nyeret kaki. Seorang dari mereka menyempatkan diri memandang cakrawala dengan ukiran indah. Senja nyaris pupus dan gelap mulai merayapi permukaan mayapada. Saat itu rerumputan mendiamkan diri untuk tidak lagi mendesing sayup ketika bermain bersama angin senja.

Sumber: https://kaltim.tribunnews.com/
Sumber: https://kaltim.tribunnews.com/

Kampung tak sedang sepi-sepinya. Kelompok para muda berkumpul di beberapa titik dalam persiapan memeriahkan hari terbebasnya bangsa dari cengkeraman kaum pengeruk perut bumi nagari berkepulauan. Para muda merindukan suatu kemeriahan dalam gaya mereka yang khas kampung. Berlatih tarian massal, bernyanyi bersama dan bergembira pada malam hari di bawah siraman cahaya rembulan. Terdengar sayup-sayup di kejauhan suara lagu mendayu-dayu, diakhiri teriakan tanda gembira.

Malam terus bergeser mencumbui raga bumi. Lereng bukit bergeming dengan suasananya. Pepohonan dengan ranting kuat tempat bertenggernya burung-burung yang tak seutuhnya memejamkan mata. Sementara burung malam memlototkan bola mata memancarkan cahaya menembus keremangan untuk menemukan mangsa. Suara melengking mengantar gelombang elektromagnetik yang berbalik memberi pesan keberadaan mangsanya.

Sepi... ya, demikianlah suasana kampung di lereng bukit ini. Kendaraan bermesin pun telah menuju parkiran dan beristirahat. Mendinginkan mesin tanpa gangguan.

Sang Filsuf ada dalam benak Panca Kakek. Kakek Gaul akan membawa tubuh rentanya ke pembaringan. Ia masih menyempatkan menggosok android dan menemukan wajah serta ungkapan-ungkapan menarik dan mencemaskan. Berbarengan dengan itu, keresahan dan keriuhan menggelombang.

Kakek Gaul membatin, "Andai kebodohan dapat berteriak, ia akan meneriakkan yel-yel kemunafikan filsafat dan menggerek kemuliaan semu. Kebodohan membatil dalam kandungan aksara melahirkan ujaran kritis tanpa kanal kemerdekaan." 

Membekali alam bawah sadarnya dengan kalimat itu, Kakek Gaul pun memejamkan mata. Dalam tidurnya ia bermimpi telah bersua Sang Filsuf di meja makan dengan mangkuk berisi sup tanpa penceduk sup. Sup di dalam mangkuk disuguhkan untuk keduanya. Siapa yang cerdik, akan segera mengambil isinya. Sang Filsuf duduk berpikir keras, sementara Kakek Gaul memainkan android. Detik berikutnya, Sang Filsuf pergi ke membuang sampah cair di dalam tubuhnya. Kakek Gaul menyeruput sup itu hingga tuntas. Ketika Sang Filsuf berbalik, ia menemukan mangkuk tak berisi lagi. Terdengar perutnya bernyanyi dalam nada yang diketahuinya.  

Nagari berkepulauan memiliki pemimpin tertinggi Sang Superior yang kurang hirau dengan kabut keramaian yang mengaburkan spirit untuk bergerak maju. Ia makin membesarkan hatinya dan bersedia menanggung hinaan demi bangsa yang memikulkan tanggung jawab padanya. Senyum. Senyum. Senyum. Berujar kalem, kalem, kalem. Langkah tak terseok, ketika menghampiri kaum yang terseok-seok akibat permainan para pesorak filsafat cenderung doktrin.

Sang Superior mendulang puja tak urung pula ada yang mengantar umpan, berharap ada umpat dari mulutnya. Sungguh disayangkan, mereka tiada mendapatkannya. Sang Superior bertambah digdaya bagai mendapat ajian baru yang diramu dari aksara bermuatan hina-dina, caci-maki, dan mala-nista, walauajian baru itu disimpan dalam keranjang bolong. Ia berharap akan gugur isinya secara perlahan agar pada waktu yang lain di masa depan menjadi ruang hampa, dan terisikan ramuan baru yang lebih digdaya.  Kelak di sana akan ada cahaya yang memancar dari dalam keranjang itu dengan membawa aroma yang mengembangkempiskan lubang-lubang pembau dan perasa.

Umi Nii Baki-Koro'oto, 5 Agustus 2023

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun