Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Romantisme Religius

29 Juli 2023   11:47 Diperbarui: 29 Juli 2023   12:44 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teng ... ... ... . Teng ... ... ... . Teng ... ... . Bunyi lonceng dari kelenteng dusun

Teng... teng teng... ... ... . Teng... teng teng... ... ... .Teng... teng teng... ... ... . Bunyi lonceng dari gereja kampung.

Dug ... dug... dug... dug... dug... dug... dug... dug... dug... dug... dug... . Bunyi bedug dari surau desa.

Jenis bunyi-bunyian yang memberi marka jelas pada mereka yang mendengarkannya. Pendengarnya yang taat dan saleh akan bergegas menyiapkan diri. Mereka yang merasa alim membungkus tubuh dengan busana religius kebesaran dan kehormatan. Ketika tiba di ruang pemujaan, mereka mengambil posisi dalam formasi paling depan. Martabat insan individu dietalasekan sedemikian rupa agar mendapatkan pujian dari ratusan hingga ribuan pasang mata. Mereka yang taat dan saleh menampakkan kebiasaan hidup yang santun dan bermartabat agamawi dan berperikemanusiaan.

Lembar-lembar dari kitab-kitab suci berbarengan terbuka. Ayat-ayat suci dibaca secara diam, bersuara dalam ruang hingga nyaring dalam gema mengangkasa. Ayat-ayat suci yang dibaca secara diam rupanya hendak langsung direkateratkan di hati, lalu perwujudan sikap dan karakter entah perlu menjadi tanda tanya sebagai dapat diwujudkan atau sekadar polesan keteraturan semu. Mereka yang membaca bersuara, terdengar di sekitarnya dan gendang telinganya sendiri. Perintah dan larangan, nasihat dan peringatan menjadi makanan dan minuman kesegaran roh, namun dapatkah kefanaan raga menyebar kesantunan dan kenyamanan? Mereka yang membaca nyaring dalam gema mengangkasa, bagi dirinya terasa kurang prioritas berhubung yang menjadi sasaran yakni ribuan lubang telinga di ruang publik. Gema sendu hingga gaung menggelegar ayat-ayat kitab suci, menggoyang rasa pada kekudusan segelincir orang yang mengantar mereka tiba di altar praktik berkarakter agamawi. 

Kitab Suci Umat Beragama Sumber: https://www.gurusiana.id/
Kitab Suci Umat Beragama Sumber: https://www.gurusiana.id/

Khotbah, wejangan, motivasi dan peringatan tentang kehidupan bersama mengalun membangkitkan bulu kuduk, walau di antaranya mendesirkan darah hingga tubuh terasa hangat. Terasa pula di sana fatwa penyanjung kesucian hingga menebar sanksi pemberat pada kaum pecundang ayat fatwa bertuah. Romantisme religius sungguh suatu kenikmatan dan kemunafikan dalam satu bauran yang menghasilkan ketercengangan insan individu dalam komunitas.

Pada ruang-ruang publik, khotbah, wejangan dan ceramah religi mengantar rona kemerdekaan ujaran tanpa kesalahan dan kekhilafan. Jika di sana diperdengarkan ujaran kebencian dan penistaan, siapakah yang akan menangkap dan membelenggul? Tiada ada kemudahan dan celah berhubung kedurjanaan dan kedurhakaan patut dan layak untuk dinistakan melalui corong keagamaan. Moralitas hendak dijunjung dengan penguasaan ayat-ayat suci, sementara kemunafikan menjadi busana, dan lipstik kesalehan berlapis-lapis di bibir. 

Rumah-rumah dan gedung peribadahan megah dan mewah, semuanya memagari kota dan kampung, pemukiman hingga rada pemakaman pun tumbuh rumah pemujaan. Semakin luas dan tinggi bangunan dibuatkan untuk menampung umat, polesan padanya pun makin menaikkan gengsi dan martabat bangunan. Umat yang merasa memilikinya pun makin naik dan dijunjung kehormatan sebagai orang berkarakter agamais. 

Asumsi kaum atheis, tampilan yang demikian hendak menggambarkan kemegahan dan kemewahan iman. Junjungan mulia pada Sang Khalik malak, makhluk dan alam di manakah wilayahnya.  Sungguh benarkah? 

"Rupanya bangunan-bangunan megah dan mewah yang tumbuh dari pemusatan populasi manusia hingga pelosok telah menjadikan penghuninya orang-orang saleh yang makin merapat pada tuhan masing-masing. Agama yang satu mengklaim tuhannya yang sempurna, agama berikutnya memasang para apologist. Pemuka agama terdidik berdakwah mengharapkan hidayah jatuh pada mereka yang bukan pengikutnya. Para apologist makin mengeraskan gema pembelaan. Bisik-bisik dalam ruang senyap sambil menggeser dupa agar aroma yang di dalamnya sampai kepada roh yang disebutkan namanya."

Di sudut pelosok kaum senyapan merayap dalam keyakinan purba milik dan warisan kaum arif kuno. Nagari mengakuinya hanya sebatas keyakinan semu berisi kebudayaan. Tak ada panduan dari kitab suci. Kata pemimpinlah sebagai sabda yang membangun kehidupan bersama, menjunjung langit dan bumi, alam bawah hingga roh keilahian nirwana. Sewaktu-waktu dipersekusi, pada kesempatan lain dicurigai sebagai penyesatan di dalam ajaran dan dogma.  

Di relung dan ruang sempit mayapada kebijaksanaan, pemegang palu eksekusi tak jua menetakkannya. Ia justru membuka genggaman agar palu terlepas lalu menggunakan alat tulis saja. Alat tulis berwarna-warni yang berada di tangannya tak segera pula menggaris untuk memberi goresan bermakna perizinan. Ia mendiamkan jemarinya hingga kaku tanpa daya. Mulutnya membaca mantra kebijaksanaan agar memastikan bahwa kelak akan ... .

Palu eksekusi tergeletak di meja. Segelincir umat berbaris dalam gertak gigi sambil meneriakkan yel yel kemenangan dan kepongahan.   Sebahagian kecil lainnya menunduk dalam doa sambil menadahkan air mata. 

"Di manakah Pancasila?" seseorang berteriak lantang di tengah kebisingan yel yel kepongahan.

"Halo negara, hadirlah!" seseorang lain menyapa di antara kaum yang berdoa sambil menangis.

Api berkobar-kobar menghanguskan rumah ibadah. Ayat-ayat suci diperdengarkan saat nyala api menyambar-nyambar bentangan cakrawala. Asap menggumpal dan mengawan bergegas naik, naik dan naik mengangkasa. Di sana gumapalannya menebar rintik berpotensi serba sakit. Rumah ibadah roboh, iman tetap kokoh. Penyulut api kekeuh di balik kesalehannya.

"Hak azasi manusia harus ditegakkan. Demokrasi harus diwujudnyaakan. Kebebasan berekspresi tak dapat dihalangrintangi. Maka, tiada dapat individu dan kelompok meradang!" Teriakan ini lahir dari podium HAM, Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi.

Ketiganya berteriak lantang setiap saat. Memeluk agama bukan faktor genealogis. Memilih agama milik individu. Maka, tiadalah orang boleh mematikan karakter ketika insan telah menjatuhkan pilihan. Itu kebebasan. Beri ruang demokrasi padanya, dan biarkan dia mewujudkan hak azasinya.

"Tidak! Tidak! Tidak! Umat manusia harus satu agamanya. Dari sana kita akan menjadi penghuni sorga yang disediakan Sang Khalik. Ingatlah, bahwasanya di sorga telah ada penghuni mayoritas penganut datang dari mayapada yang disatukan dalam nagari kepulauan." Kumandang narasi lelucon ini keluar dari bibir kaum saleh berbusana kealiman.

Lusifer berdiri di kejauhan dalam remang-remang.

"ha ha ha ha.... ... ha ha ha ha... ... ." demikian derai tawa Lusifer.

"Hai insan kreasi Sang Khalik. Aku sendiri dikreasikan oleh-Nya. Aku diusir dari singgasana kemuliaan. Aku di sini menjadi Penggodamu. Kusediakan kemuliaan, kehormatan dalam perutmu. Buncit perutmu akan terus mengembang. Relung hati kecilmu rak akan pernah penuh oleh keinginan dan kerakusan. Kau akan terus berada dalam dosamu, walau kau berbuih bibir pada ayat-ayat suci yang kau rapalkan setiap saat. Matamu akan kubolak-balikkan ketika melihat kemewahan untuk mencapainya, sementara kemelaratan akan kau pecundangi agar kau tetap menjadi pendurhaka dengan bibir kesalehan." Lusifer berorasi seakan berhadap-hadapan dengan sejuta insan.

Kini, kaum saleh dan apologist masih akan terus berada di jalur keperkasaan dan keagungan masing-masing. Memberi tangan siapa sudi menerima? Ruang-ruang sempit pemenjaraan pun tak akan mematahkan dan mematikan kesalehan yang mengantar keterbelahan, dan apologis yang menghunjukkan keramahan semu.

Tersenyumlah...

Umi Nii Baki-Koro'oto, 29 Juli 2023

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun