Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Roman

(Masih dalam) Cerita Gemintang Suram

27 Juli 2023   08:33 Diperbarui: 27 Juli 2023   08:36 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tawa berderai ketika kembali ke ruang bermartabat dan penuh kemuliaan. Tombol-tombol di ruangan itu gemetaran manakala jemari memijit mereka untuk memenuhi kebutuhan, selera dan kepentingan. 

Oligarki terus membenamkan cakar kepentingannya. Ia merambah ke kedalaman dunia kebijaksanaan. Perlahan dalam senyapnya  remah kepastian. Gesturnya masih terlihat tetap sosialita yang menyebar kesantunan akhlak dan moral pada podium kaum orator. Di tangannya tergenggam sebongkah penyerahan simbolik. Pengikutnya memegang ribuan berseri didistribusikan dengan sambil dipublikasikan ke dunia luas. Makin berkarakter, kira-kira dunia luas menilainya. 

Anak-anak mereka terbahak-bahak lalu menjadi predator di pinggir jalan. Roh yang tumbuh dan hidup dalam darah dan nafas mereka disebut keserakahan. Mormon menjadi tuan dan junjungan agung nan mulia. Mereka membawa hedonisis ke altar kejayaan, memuja kekayaan sambil menghina kemiskinan. Siapakah yang akan dapat menahan kebobrokan akhlak ketika mereka tiba di altar itu?

Predator anak bertebaran di mana-mana tak mengenal status dan kasta. Ketimpangan akhlak merambahi mayapada hingga terjadi patah-patahan ketika gempa karakter menggoyang publik. Kemunafikan pemuka tersibak sementara pentolan busuk di kolongmelarat pun ikut-ikutan pula. Sinting,  gila, dan edan. 

Gemertak gerigi ditaut-tautkan. Gemerincing tulang bergoyang-goyang menaikkan tensi murka kaum nasionalis-agamais.  Mereka naik ke pentas kesantunan mengobarkan ritme pencerahan moral. Pergi ke kampung melewati lorong-lorong hingga memasuki gorong-gorong di mana kaum papa mengaduk-aduk kompos berisi cacing-cacing pengisap rezeki. Kaum nasionalis-agamais geram di lokus kehinaan seperti itu. Ketika mereka berbalik ke singgasana kesantunan dan hikmat, kebijaksanaan ditempa sebagai produk keteraturan. Dapatkah produk keteraturan diterapkan berkesesuaian di lorong dan gorong kaum papa?

Kini orasi dan narasi terus dilecutkan. Mereka menamakan diri bakal calon pemimpin masa depan. Gong Perubahan ditabuh berbarengan dengan Gema Peningkatan Berkesinambungan. Pada ranah ini keduanya tarik-menarik menempatkan kepentingan publik menuju masa depan cerah sekalipun malam menyelimuti. Kecerahan itu hendak ditunjukkan dengan kerlap-kerlip kehidupan kota sepanjang dua puluh empat jam. Pedesaan pun layak hidup di malam hari jika dipotret dari ketinggian. Area ketinggian dipikirkan, diinspirasikan, diorasikan dan dinarasikan. Lalu, bagaimana dengan memunggungi laut dan lautan? Bagaimana menuruni lereng dan mendaki perbukitan? Bagaimana menyeberangkan badan melalui selat dan mendaratkan rasa di tepian tanjung?

Siapa di antara mereka kaum inspirator yang ulung dalam menempatkan orasi dan narasi yang naik ke pentas politik paling mulia dan agung? Dia akan disanjung-sanjung oleh pengikutnya sambil menindih dengan persekusi pada kaum berseberangan inspirasi, orasi dan narasi. Padahal, untuk mendapatkan rekan sekerja dalam satu langkah perjalanan saja, betapa kemunafikan wajah terus dipertontonkan atas nama gotong-royong, kerja sama, menjalin hubungan kekerabatan yang intens demi silaturahmi sebagai budaya bangsa. 

Sampai di sini Gemintang Suram berdiam diri dalam refleksi.  

"Aku masih akan termangu-mangu pada kebisingan di permukaan mayapada. Mereka memainkan segala nada, memuja kemewahan dan kemuliaan, menghina kemelaratan dengan secuil kepedulian melalui orasi dan narasi. Bagaimana sikap dan tindak nyata?"

"Kita pastikan mereka akan tiba pada titik berangkat itu, kawan." jawab Rembulan

Derai tawa yang panjang terdengar, "ha ha ha ha... ha ha ha ha... ...  ... ." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun