"Halo... halooo....!" demikian sapa Rembulan pada Gemintang Suram.Â
Malam itu, Gemintang Suram masih suram wajahnya. Entahlah ada sesuatu yang mengganjal hingga tak rela sekadar menyungging senyum.Â
"Aku masih gundah di hati menyaksikan dan mendengarkan segala peristiwa di mayapada. Kaum saling puji dengan ejekan, saling sindir dengan pujian. Kata dan frasa ditubrukkan, kalimat dalam paragraf disalingsilangkan. Menariknya, ketika bersua, para tokohnya berujar, 'akh.... itu pertemuan biasa!'Â Padahal, pengikutnya saling sikut, lalu yang lain berlari-lari melalui celah kecil mencari keberuntungan di seberang yang berseberangan ide."
Gemintang Suram bersembunyi pada hari siang. Ia tidak menampakkan dirinya, hingga tak terlihat kasat mata pada kaum di mayapada. Ia menjadi saksi atas peristiwa-peristiwa duniawi yang dilakoni para tokoh yang kokoh memangku dan memanggul kepentingan mereka. Ketika satu tokoh berdiri di pojok ekosistemnya, ia akan berteriak lantang, 'ini demi bangsa dan negara, pengubahan atau pelanjutan sebagai keniscayaan'."
Gemintang Suram mengarahkan indra pendengaran dan penglihatan dengan tensi yang lebih tajam. Ia terus mendengarkan ratapan anak-anak bangsa di pulau dan nusa, sungai dan danau, bibir pantai, tanjung dan selat. Anak-anak bangsa yang berada di area rentan masalah dengan alam sekalipun mereka telah berada di sana secara turun-temurun hingga dapat beradaptasi segera sesudah sesuatu terjadi. Mereka rindu negara hadir ketika teriak minta tolong dipekikkan, dan tangan bertadahan dijulurkan.
Kaum urban makin terjepit di perkotaan, penyakit sosial merajalela bagai suatu keadaan luar biasa. Pencurian dengan nama dan alasan apa pun dilakoni demi mempertahankan hidup. Pencurian tidak berhenti pada barang esek-esek hingga mewah, tetapi telah tiba pada organ tubuh manusia. Semua kebobrokan itu dilakukan agar kaum urban terlepas dari belenggu kemiskinan sekaligus penyakit sosial yang mereka ciptakan atau secara senyap tercipta sebagai dampak pembangunan berkelanjutan.
Kaum borjuis di perkotaan menjadi eksklusif. Tampilan mereka necis, lurus dan mulus. Lalat yang merindukan setetes embun basah pada timbunan sampah di tubuh tak dapat menghisapnya. Kumbang yang hendak memanjakan lidah penghisap madu tak mampu mendekat ketika membau ternyata racun yang dilulurkan pada tampilan necis bermartabat. Luluran kemunafikan tampak begitu indah memesona.
Anak-anak kaum borjuis tampil dengan multi karakter. Keramahan dibarengi kemarahan, sesudah menyokong dengan santunan yang diterimakan dengan santun. Ketika akan pergi ia akan menepuk secara tak santun bokong sahabatnya lalu berjalan santai tanpa dosa. Pada kesempatan lain, ia memasang aplikasi tembus raga, menyalurkan pada sesama mereka untuk dijadikan bahan buli dan perkusi. Ketika hendak disanksi oleh aturan, mereka membelokkan aturan dengan menggunakan tangan orang dewasa yang mudah terjangkau.
Kaum olirgarki menancapkan daya cakar-carak makin kuat. Mereka mecengkeram makin erat dunia karsa dan karya. Penciptaan mormon dilakoni hingga mereka sendiri telah menjadi mormon yang ditakuti, disegani hingga disembah. Jaringan oligar yang dibangun bermuatan sosial bagai selebriti sosialita. Minyak dari serutan kelapa diambil sebahagian, lalu ampas dengan sedikit basahan ditebar agar pengikut menyemut. Ketika pengikut menyemut, sabda tak dapat ditolak karena mereka telah memamah basahan serutan kelapa yang ditebar kaum olirgarki.
"Ha ha ha... ha ha ha ... ... ... ."
Tawa berderai ketika kembali ke ruang bermartabat dan penuh kemuliaan. Tombol-tombol di ruangan itu gemetaran manakala jemari memijit mereka untuk memenuhi kebutuhan, selera dan kepentingan.Â
Oligarki terus membenamkan cakar kepentingannya. Ia merambah ke kedalaman dunia kebijaksanaan. Perlahan dalam senyapnya  remah kepastian. Gesturnya masih terlihat tetap sosialita yang menyebar kesantunan akhlak dan moral pada podium kaum orator. Di tangannya tergenggam sebongkah penyerahan simbolik. Pengikutnya memegang ribuan berseri didistribusikan dengan sambil dipublikasikan ke dunia luas. Makin berkarakter, kira-kira dunia luas menilainya.Â
Anak-anak mereka terbahak-bahak lalu menjadi predator di pinggir jalan. Roh yang tumbuh dan hidup dalam darah dan nafas mereka disebut keserakahan. Mormon menjadi tuan dan junjungan agung nan mulia. Mereka membawa hedonisis ke altar kejayaan, memuja kekayaan sambil menghina kemiskinan. Siapakah yang akan dapat menahan kebobrokan akhlak ketika mereka tiba di altar itu?
Predator anak bertebaran di mana-mana tak mengenal status dan kasta. Ketimpangan akhlak merambahi mayapada hingga terjadi patah-patahan ketika gempa karakter menggoyang publik. Kemunafikan pemuka tersibak sementara pentolan busuk di kolongmelarat pun ikut-ikutan pula. Sinting, Â gila, dan edan.Â
Gemertak gerigi ditaut-tautkan. Gemerincing tulang bergoyang-goyang menaikkan tensi murka kaum nasionalis-agamais. Â Mereka naik ke pentas kesantunan mengobarkan ritme pencerahan moral. Pergi ke kampung melewati lorong-lorong hingga memasuki gorong-gorong di mana kaum papa mengaduk-aduk kompos berisi cacing-cacing pengisap rezeki. Kaum nasionalis-agamais geram di lokus kehinaan seperti itu. Ketika mereka berbalik ke singgasana kesantunan dan hikmat, kebijaksanaan ditempa sebagai produk keteraturan. Dapatkah produk keteraturan diterapkan berkesesuaian di lorong dan gorong kaum papa?
Kini orasi dan narasi terus dilecutkan. Mereka menamakan diri bakal calon pemimpin masa depan. Gong Perubahan ditabuh berbarengan dengan Gema Peningkatan Berkesinambungan. Pada ranah ini keduanya tarik-menarik menempatkan kepentingan publik menuju masa depan cerah sekalipun malam menyelimuti. Kecerahan itu hendak ditunjukkan dengan kerlap-kerlip kehidupan kota sepanjang dua puluh empat jam. Pedesaan pun layak hidup di malam hari jika dipotret dari ketinggian. Area ketinggian dipikirkan, diinspirasikan, diorasikan dan dinarasikan. Lalu, bagaimana dengan memunggungi laut dan lautan? Bagaimana menuruni lereng dan mendaki perbukitan? Bagaimana menyeberangkan badan melalui selat dan mendaratkan rasa di tepian tanjung?
Siapa di antara mereka kaum inspirator yang ulung dalam menempatkan orasi dan narasi yang naik ke pentas politik paling mulia dan agung? Dia akan disanjung-sanjung oleh pengikutnya sambil menindih dengan persekusi pada kaum berseberangan inspirasi, orasi dan narasi. Padahal, untuk mendapatkan rekan sekerja dalam satu langkah perjalanan saja, betapa kemunafikan wajah terus dipertontonkan atas nama gotong-royong, kerja sama, menjalin hubungan kekerabatan yang intens demi silaturahmi sebagai budaya bangsa.Â
Sampai di sini Gemintang Suram berdiam diri dalam refleksi. Â
"Aku masih akan termangu-mangu pada kebisingan di permukaan mayapada. Mereka memainkan segala nada, memuja kemewahan dan kemuliaan, menghina kemelaratan dengan secuil kepedulian melalui orasi dan narasi. Bagaimana sikap dan tindak nyata?"
"Kita pastikan mereka akan tiba pada titik berangkat itu, kawan." jawab Rembulan
Derai tawa yang panjang terdengar, "ha ha ha ha... ha ha ha ha... ... Â ... ."Â
"Siapa gerangan yang tertawa di kegelapan malam ini?" tanya Rembulan
"Aku Gulita yang menggurita dengan belenggu di tanganku. Nantikan saatnya akan kurentang belenggu ini, saat itu panggung mayapada akan menyaksikan fakta-fakta yang difiksikan." jawab Gulita.
Akh...
Tersenyumlah
Umi Nii Baki-Koro'oto, 27 Juli 2023
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H