Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Suka membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa. Menulis puisi sebisanya

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Bunyi Sirene Memasuki Kampung Itu

10 Juli 2023   22:36 Diperbarui: 10 Juli 2023   22:40 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ssumber: https://infontt.com/

ngiung, ngiung, ngiung, ngiung, ... ... ... 

Bunyi itu terdengar di kejauhan. Makin mendekat, mendekat, merapat, merapat hingga akhirnya melewati jalan desa menuju gang, gang dan gang di ujung kampung. Berhenti. 

"mama, mama, mama... ... ." Suara tangis anak-anak menyambut peti jenazah yang dibopong oleh anggota masyarakat.

"eeee.... kasian... . " Suara tangis yang lain muncul di samping peti jenazah. Tangisan berantai, terus terjadi. Berantai lagi hingga peti jenazah tiba di dalam rumah.

Tangis makin pecah. Suara melengking membelah malam. Udara dingin yang mencumbui ari tak terhiraukan. Tangisan disertai ratapan bertalu dan mendayu. 

Berduyun-duyun anggota masyarakat memasuki rumah duka. Tiap anggota masyarakat secara tulus ingin memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah yang baru saja tiba. Penghormatan di depan peti jenazah yang sudah dibuka. Jenazah terlihat jelas, tidur, tenang, pucat, beku, kaku. Jenazah telah dipakaikan pakaian terbaik.

Seorang bapak duduk di samping peti jenazah. Tangisannya tak terdengar lagi. Ia bagai kehabisan nada dan dinamika suaranya. Tersisa padanya kepala yang digeleng-gelengkan. Tangannya menopang kepalanya dalam tunduk. 

Anak-anak baik laki-laki maupun perempuan dan para menantu terus meneriaki, "mama, mama, mama... ... ... ."

Tiada lagi suara. Hilang sudah senyuman. Sirna wajah cemberut. Hanya satu yang terlihat,  kebekuan dan kakunya jasad sang bunda. Bibirnya telah dikatupkan. Lidahnya tak dapat lagi diayun-ayunkan. Daun telinga hingga gendangnya telah disumbat sepadat-padatnya.  Matanya telah ditutup dengan kelopak yang tanpa engsel pelicin buka-tutup. Binar bola mata telah lenyap dalam pelukan kulit bola mata.

Ia  pergi, pergi dan terus pergi. Ia tidak akan pernah kembali lagi. Ia tidak akan menoleh pada masa lampau atau memandang hari esok. Ia tidak akan lagi membanding-bandingkan kehidupan pada hari dengan dengan zaman yang sudah dilewati dalam kurun waktu berlalu. Ketika ia berdiri di titik waktu saat  ini, sekarang, kini, ia dapat menunjuk hari-hari kemarin dan berharap untuk hari-hari esok. Kini, bagaimana mengatakan semua itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun