Pemulung Aksara (PA) baru saja kembali dari kota So'e, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). TTS salah satu kabupaten di Timor Barat wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemandangan menarik, udara sejuk cenderung dingin, walau sesungguhnya pada masa lampau kota So'e digelari kota dingin di Timor. Kini, udara kota itu menjadi sejuk. Masyarakatnya yang dulunya nyaris selalu membungkus badan (berselimut) dan berpakaian tebal, kini sudah berkurang, bahkan kaum mudanya cenderung westeren... haha...
Bukan itu yang hendak dikisahkan. Paragraf itu hanya untuk ingatan bahwa hari ini PA telah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan dari kampung sendiri ke kota So'e dan balik lagi ke kampung. Ingatan dan kesan bukan saja pada kampung dan kota So'e, tetapi pada  banyaknya informasi yang sempat PA baca di beberapa media, hingga sempat melihat dan mendengar berita di layar kaca.
Wao...
Jarum jam dinding saling berkejaran. Entah manakah yang akan mencapai titik akhir terlebih dahulu. Mereka tidak dapat memastikannya, namun daya yang menggerakkan berasal dari satu sumber. Jadi, sang sumber daya energi itulah yang akan menetukan mana yang akan tiba terlebih dahulu di titik akhir sebagai finis dan lomba pun berakhir.
Sayangnya sang sumber daya tak pernah mengatur agar mereka berhenti pada satu titik yang sama. Tiga jarum jam dinding akan terus beredar. Dua di antaranya pernah berhenti dan menunjuk pada titik yang sama, sementara yang satunya lagi menyinggahi keduanya hanya sedetik saja, lalu bergeser lagi. Maka, tiada pemenangnya bila ketiganya sedang berlomba, bukan?
Jam dinding besar berdiri di tengah kota. Ia dilirik setiap penduduk kota, hingga tamu dari luar kota dan manca negara. Jam dinding itu lebih tepat disebut jam sentral kota. Mata siapa yang tak akan melirik ke sana? Setiap orang rindu mengetahui waktu yang sedang berlangsung saat di mana dia melihat jam sentral kota.
Patung yang berdiri di sebelahnya bagai turut menyaksikan jam sentral kota. Sang patung bagai memiliki gestur yang berkisah tentang masa lalunya dan asa dirinya pada waktu yang diwakili oleh jam sentral kota ini.
Gesturnya berkisah tentang polemik ketika ia dibangun. Pada saat itu suasana di sekitar wilayah itu sangat riuh rendah dengan proses pemilihan pemimpin tertinggi dan antek-anteknya. Mereka yang merasa pantas untuk dipilih memamerkan citra diri secara amat menakjubkan dan mencengangkan. Sebutlah mereka sebagai kaum penawar haus dan lapar kaum miskin.Â
Kaum miskin yang butuh makanan, pakaian dan rumah layak huni. Mereka butuh air bersih untuk memenuhi kebutuhan mandi, cuci dan kakus (MCK). Mereka merindukan untuk menyekolahkan anak-anak sampai jenjang pendidikan tinggi, hingga harapan akan meracik secara mandiri masa depan tanpa harus bergantung pada kaum penawar haus dan lapar.
Kaum miskin tertegun sesaat. Mereka duduk di pinggir kampung tepat pada batas antara kaum kaya dan miskin. Batas itu tidak terlihat, namun kaum miskin menyadarinya sehingga mereka duduk di sana. Mereka mendongak pada papan yang mengumumkan nilai proyek pembangunan patung mahatinggi itu akan berdiri di tengah kota. Namanya akan menjadi patung sentral kota. Kira-kira akan begitu rasanya.
Kaum miskin membisu. Kata yang tepat tak dapat dilafalkan manakala membaca angka-angka yang tertera di sana. Begitu banyaknya angka yang terulis sehingga mereka tak dapat melafalkan secara tepat, apalagi angka yang satu itu, nol (0), ditulis amat banyak.Â
Seorang anggota kaum miskin memahami bahwa bila angka nol ditulis sebanyak tiga butir diikuti tanda titik, lalu tiga butir berikutnya, maka sebutannya menjadi juta, tetapi angka nol kali ini 12 butir, bagaimana membacanya?
Angka itu sangat fantastis. Para anggota kaum miskin akhirnya bangun dari duduknya. Pulang ke rumah masing-masing dengan membawa bisu diri.
Di tengah kota, datang kaum terpelajar. Mereka mempertanyakan mengapa anggaran sebesar itu dipakai untuk membangun satu unit bangunan yang hanya akan menjadi hiasan di tengah kota? Bukankah sebaiknya anggaran sebesar itu dipakai untuk membangun dan memberdayakan masyarakat miskin?
Gestur patung itu kali ini teduh.
Kaum bijak berwajah ganda bersuara lantang dari singgasana keagungan. "Hancurkan kemewahan! Buang keserakahan! Bangkitkan kesadaran hidup sederhana!"
Pada wajah sebelahnya terlihat sinis, satunya lagi merasa urun rasa dengan kaum miskin.Â
Jam sentral kota berdentang. Teng, ... teng,... Â teng, ... teng, ... teng ... . Terliha sudah pukul 17.00 atau pukul 5 petang. Hari siang akan segera merayap pergi. Senja akan memamerkan keagungannya untuk membedah para kaum yang berlumuran kemuliaan, keangkuhan, kecerobohan, kebodohan dan kemiskinan.
Patung Sentral Kota dan Jam Sentral Kota akan terus berdiri di sana menjadi saksi dari ragam lumuran kaum di kota itu. Mereka akan melintas di kota, melirik kedunya lalu melanjutkan perjalanan.Â
Kaum berdasi tiba di ruang-ruang berhawa sejuk, menempati kursi empuk akan tersenyum menikmati hangatnya suguhan minuman pagi oleh tangan trampil, sambil mendengarkan sapaan nan ramah, "Selamat pagi, pak! Selamat pagi, bu!" Sang pelayan meninggalkan ruangan berhawa sejuk, sementara sang penikmat kursi empuk membaca surat kabar pagi, sambil melirik layar monitor dan memasang pendengarannya pada berita terkini di layar televisi ruangan itu. Nyamankah dia dalam karya?
Kaum pelajar mereka-reka masa depan. Sesering mungkin mereka berdiri di tengah kota melengkingkan suaranya agar membahana di seantero kota. Terdengarkah suaranya?
Kaum birokrat di segala lapisan, baik berbatik hingga berjuber pangkat di dada hingga bahu dan petnya. Senyum disungging sambil mendongkol manakala membaca kabar ketidakadilan di sudut kampung. Anak gadis dihamili ayahnya; ibu membuang bayi dari hasil hubungan gelap; gadis dan perjaka diperjualbelikan, duit dirogoh dari kantong terprogram, dan sangat beragam kabar tersiar. Di antara kabar tersiar, di sana ada kabar tentang patung sentral kota yang mengantarkan kebanggaan semu.
Kaum miskin kembali ke pinggir kota. Menatap dua bangunan megah di tengah kota. Pikiran melayang pada gestur keduanya yang terus bercerita tentang masa lampau mereka dan harapan masa depannya. Sekembalinya dari pinggir kota yang membatasi kaum elit dengan kaum miskin, perut mereka keroncongan, dan kulit kaki melepuh setelah menjejak ter yang ditempelkan licin di jalan yang dilewati kaum penawar haus dan lapar.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 7 Juli 2023Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H