Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Suka membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa. Menulis puisi sebisanya

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Mereka Membaca Gestur Patung

7 Juli 2023   00:09 Diperbarui: 7 Juli 2023   00:15 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, sumber: liputan6.com

Kaum miskin membisu. Kata yang tepat tak dapat dilafalkan manakala membaca angka-angka yang tertera di sana. Begitu banyaknya angka yang terulis sehingga mereka tak dapat melafalkan secara tepat, apalagi angka yang satu itu, nol (0), ditulis amat banyak. 

Seorang anggota kaum miskin memahami bahwa bila angka nol ditulis sebanyak tiga butir diikuti tanda titik, lalu tiga butir berikutnya, maka sebutannya menjadi juta, tetapi angka nol kali ini 12 butir, bagaimana membacanya?

Angka itu sangat fantastis. Para anggota kaum miskin akhirnya bangun dari duduknya. Pulang ke rumah masing-masing dengan membawa bisu diri.

Di tengah kota, datang kaum terpelajar. Mereka mempertanyakan mengapa anggaran sebesar itu dipakai untuk membangun satu unit bangunan yang hanya akan menjadi hiasan di tengah kota? Bukankah sebaiknya anggaran sebesar itu dipakai untuk membangun dan memberdayakan masyarakat miskin?

Gestur patung itu kali ini teduh.

Ilustrasi, sumber: id.depositphotos.com
Ilustrasi, sumber: id.depositphotos.com

Kaum bijak berwajah ganda bersuara lantang dari singgasana keagungan. "Hancurkan kemewahan! Buang keserakahan! Bangkitkan kesadaran hidup sederhana!"

Pada wajah sebelahnya terlihat sinis, satunya lagi merasa urun rasa dengan kaum miskin. 

Jam sentral kota berdentang. Teng, ... teng,...  teng, ... teng, ... teng ... . Terliha sudah pukul 17.00 atau pukul 5 petang. Hari siang akan segera merayap pergi. Senja akan memamerkan keagungannya untuk membedah para kaum yang berlumuran kemuliaan, keangkuhan, kecerobohan, kebodohan dan kemiskinan.

Patung Sentral Kota dan Jam Sentral Kota akan terus berdiri di sana menjadi saksi dari ragam lumuran kaum di kota itu. Mereka akan melintas di kota, melirik kedunya lalu melanjutkan perjalanan. 

Kaum berdasi tiba di ruang-ruang berhawa sejuk, menempati kursi empuk akan tersenyum menikmati hangatnya suguhan minuman pagi oleh tangan trampil, sambil mendengarkan sapaan nan ramah, "Selamat pagi, pak! Selamat pagi, bu!" Sang pelayan meninggalkan ruangan berhawa sejuk, sementara sang penikmat kursi empuk membaca surat kabar pagi, sambil melirik layar monitor dan memasang pendengarannya pada berita terkini di layar televisi ruangan itu. Nyamankah dia dalam karya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun