Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antropolog Ini Memberi Komentar yang Memotivasi

5 Juni 2023   18:12 Diperbarui: 6 Juni 2023   07:32 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover book Sumber: dokpri, Roni Bani

Materi-materi itu tidak saja disajikan dalam seminar gerejani tetapi juga di lingkungan dunia sekuler. 

Pada kesempatan lain, materi-materi ini dihimpun dan PA melakukan apa yang disebut proses sunting. Proses ini dilakukan dengan mendengarkan saran dan kritik dari para peserta seminar gerejani dan dunia sekuler. Hasilnya kemudian dibukukan. 

PA meminta seorang pendeta senior (sudah pensiun) untuk membaca kembali seluruh tulisan itu. Sang pendeta pernah menduduki jabatan penting sebagai salah satu anggota Majelis Sinode GMIT. Ia pun pernah dipercaya masyarakat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Nusa Tenggara Timur.  Ia memberikan catatan-catatan berharga yang mengoreksi tulisan-tulisan PA.

Selanjutnya PA meminta seorang Doktor lulusan Universitas Nusa Cendana untuk membaca calon buku ini. Sang Doktor seorang yang lahir dari Amarasi. ia memiliki pengetahuan tentang kebudayaan Amarasi. Sesudah membacanya, ia mendorong untuk segera dibukukan.

Calon buku ini segera PA kirim kepada seorang sahabat yang selalu siap membantu untuk mengurus penerbitan buku. Sahabat yang satu ini tinggal di Solo-Jawa Tengah.

Sambil menunggu proses penerbitan buku, PA mengirimkan naskah calon buku itu kepada Antropolog dari ANU yakni Prof.Dr. Barbara Dix Grimes, Ph.D. PA mengetahui secara pasti bahwa ia seorang yang amat sibuk. Kesibukannya luar biasa sehingga waktu untuk membaca pasti amat sempit atau mungkin tak sempat membacanya.

Cover book Sumber: dokpri, Roni Bani
Cover book Sumber: dokpri, Roni Bani
 

PA mengirim naskah calon buku itu pada tanggal 24 Mei 2023. Ketika itu Sang Antropolog sempat merespon pesan WhatsApp. Sang Antropolog sudah fasih berbahasa Melayu Kupang sehingga komunikasi kami lancar, baik ketika bertemu maupun ketika saling mengirim pesan melalui WhatsApp, tetapi khusus materi naskah calon buku, PA pastikan tidak mudah untuk segera mendapatkan jawaban.

Pada 5 Juni 2023, sekitar jam 3 petang, tiga pesan WhatsApp masuk. PA membuka dan membaca, ternyata Sang Antropolog memberikan komentar yang amat membanggakan karena sekaligus isinya mengkritisi untuk perbaikan pada bagian tertentu dari isi buku ini. PA segera memindahkan naskah calon buku ke dalam desktop untuk selanjutnya akan melakukan revisi naskah buku sesuai saran dan kritik yang disampaikan.

Saran dan kritik itu PA kutip dan tempatkan di sini secara utuh. Di dalam ia menulis dengan menggunakan Bahasa Amarasi,  Melayu Kupang dan diselipkan Bahasa Inggris.

Hore tua.  Minta ma'af, bagini lama baru beta abis baca bapa pung tulisan yg talalu bagus.

Isinya talalu bagus.  Bapa yg pakar, jadi beta sonde kasi komentar banyak di situ.  Beta pung usulan utama - untuk kata-kata bhs Amarasi ikut satu sistem secara konsisten.  Ini sering muncul di tulisan antropologi di mana ada banyak kata asing (Amarasi) di tulisan dalam bahasa lain (misalnya bhs Inggris).  2 hal muncul:  how to format non-English words in an English text and how to indicate the translation of those non-English words.  Pada umumnya bapa ikut standard:  kata-kata Amarasi pakai italics, dan terjemahan kata Amarasi (masuk tanda kurung).  Yang penting, pilih satu sistem dan pake terus.

Hal ke 2 --- waktu beta baca, beta cukup sering rasa ke mau minta terjemahan harfiah dari kata/frasa Amarasi.  Di judul-judul ju bagitu.  Pak Jim Fox su ajar beta ke selalu perhatikan bahasa/idiom/metafor yang dipakai dalam acara dan kegiatan adat.  Bapa su tangkap itu dengan betul dan ini yg bekin tulisan tambah menarik.  Untuk kami yg tidak tahu bhs Amarasi --- minta tamba terjemahan harfiah (selain penjelasan lebih umum).  Yg beta taru warna kuning - rasanya ke beta belum puas, masih mau tanya terjemahan harfiah - atau cara diformat seperti di atas.

Beta kasi komentar sedikit ttg pemkaian kategori "Ilmiah"  yg antropolog sekarang sonde mau terima (animisme) karna rasa kurang tetap dan kita tidak perlu paksa kepercayaan Amarasi masuk di lobang orang lain/luar pung kategori.   Ini hanya muncul satu kali dan beta usul hapus sa.  Explain Amarasi in reference to Amarasi. Bapa su explain Amarasi secara hebat.  Son perlu explain Amarasi in reference to orang lain pung kategori animisme.   Ma kalo bapa rasa penting itu ada, pake sa.  Ini cuma beta pung pikiran.

(Sumber: Pesan WhatsApp, Prof.Dr.Barbara Dix Grimes, Ph.D)

Bila diterjemahkan secara dinamis ke dalam Bahasa Indonesia, kira-kira seperti ini:

Shalom. (Saya) mohon maaf untuk waktu yang lama dalam membaca tulisan bapa yang terlalu bagus. Isinya terlalu bagus. Bapak yang pakar, sehingga saya tiak akan memberikan banyak komentar di situ (maksudnya, di dalam naskah calon buku). Usulan saya yang utama, untuk kata-kata berbahasa Amarasi (sebaiknya) mengikuti satu sistem (tata tulis) secara konsisten. Ini sering muncul dalam tulisan antropologi di mana ada banyak kata asing (Amarasi) di dalam tulisan bahasa lain (misalnya Bahasa Inggris). Dua hal muncul, how to format non-English words in an English text and how to indicate the translation of those non-English words (bagaimana memformat kata-kata yang bukan bahasa Inggris ke dalam teks berbahasa Inggris dan bagaimana menunjukkan kata-kata Bahasa Inggris yang diterjemahkan itu. Pada umumnya bapak (telah) mengikuti standar: kata-kata (bahasa) Amarasi menggunakan huruf miring (Italics), dan terjemahan kata (bahasa) Amarasi (masuk anda kurung). Yang penting, pilih satu sistem (tata tulis) dan selalu pakai secara konsisten.

Hal kedua, sewaktu saya membaca, saya cukup sering merasa (untuk) meminta agar terjemahan harfiah dari kata/frasa (berbahasa) Amarasi. Pada judul-judul (maksudnya, sub judul) juga begitu. Pak Jim Fox (Antropolog dari ANU juga) sudah mengajar (saya) begitu untuk selalu memperhatikan bahasa/idiom/metafor yang dipakai dalam acara dan kegiatan (yang berhubungan dengan) adat. Bapak sudah menangkap (maksudnya, memahami) hal itu dengan betul/benar, dan hal ini yang membuat tulisan ini makin menarik. Pada kami yang tidak mengetahui Bahasa Amarasi ---  (saya) minta tambahkan terjemahan secara harfiah (selain penjelasan lebih umum). (Perhatikan catatan saya) Pada bagian yang saya beri warna kuning, rasanya saya belum puas, (saya masih mau menanyakan atau meminta untuk diterjemahkan secara harfiah - atau cara diformat seperti di atas. 

Saya beri sedikit komentar tentang pemakaian kategori, "ilmiah" yang pada zaman ini para antropolog tidak menerimanya. Animisme. Animisme terasa kurang tepat dan kita tidak perlu memaksa kepercayaan (orang) Amarasi untuk masuk di "lubang' milik orang lain atau orang luar. Saya usul untuk hapus saja.  Jelaskan tentang (kebudayaan) Amarasi mengacu pada (kebudayaan dan masyarakat) Amarasi. Bapak sudah menjelaskan tentang (kebudayaan dan masyarakat) Amarasi secara hebat. Tidak perlu lagi menjelaskan (Kebudayan dan Masyarakat) Amarasi dengan mengacu pada kategori milik orang lain tentang animisme, tetapi bila bapak merasa itu penting, pakai saja. Ini hanya pikiran (pendapat) saya saja.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun