PA tak menduga bahwa seorang Antropolog dari Australian National University (ANU) akan turut memberikan komentar menarik sekaigus memotivasi. Komentar menarik dan memotivasi ini terjadi pada satu buku yang oleh PA sesungguhnya belum bagus-bagus amat, tetapi oleh beberapa sahabat yang telah membaca, mereka ingin buku  ini segera terbit.
Kira-kira begini ceritanya.
Dalam beberapa tahun yang sudah lampau, PA suka sekali mengamati perubahan-perubahan sikap dan perilaku masyarakat pedesaan, khususnya di bekas wilayah Kerajaan/Swapraja Amarasi.Â
Masyarakat di sini telah mengikuti perkembangan dunia kebudayaan sambil mengkonversi yang asing ke dalam yang asli. Upaya untuk melestarikan kebudayaan yang asli/orisinil terganggu dan tergerus secara perlahan.
Dalam pada itu PA sering berbicara dalam diskusi-diskusi terbatas, hingga suatu ketika Majelis Klasis Amarasi Timur meminta untuk menyajikan materi-materi pencerahan kebudayaan.Â
Materi-materi itu disampaikan pada kalangan pekerja gereja (pendeta, penatua, diaken) dalam lingkungan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dalam wilayah Klasis Amarasi Timur.Â
Majelis Klasis Amarasi Timur menjadwalkan kegiatan apa yang disebut pembinaan presbiter dengan beragam materi, misalnya pelatihan ketrampilan tertentu, diskusi isi materi tertentu dari Alkitab, diskusi materi tertentu hasil Sidang Lingkup Sinodal, dan lain-lain.Â
Nah, pada materi apa yang disebut warna sari suatu ketika diusulkan untuk memasukkan materi tentang kebudayaan masyarakat. Hal ini akan menjadi pengetahuan kepada para pekerja gereja khususnya para pendeta yang bertugas di Klasis Amarrasi Timur dan bukan berasal dari etnis Timor-Amarasi.
Jadilah materi-materi tentang kebudayaan masyarakat Amarasi PA tulis, sampaikan dalam seminar-seminar yang dihadiri oleh para pendeta, penatua, diaken, pengajar dan anggota sidi yang diutus.
Seminar-seminar yang khas gerejani sehingga patut pula untuk menyandingkannya dengan ayat-ayat dari dalam kitab suci (Alkitab). Hal ini disadari agar orang tidak terjebak ke dalam ajaran yang mengagungkan kebudayaan dan mengabaikan kekudusan ajaran Kristen.
Materi-materi itu tidak saja disajikan dalam seminar gerejani tetapi juga di lingkungan dunia sekuler.Â
Pada kesempatan lain, materi-materi ini dihimpun dan PA melakukan apa yang disebut proses sunting. Proses ini dilakukan dengan mendengarkan saran dan kritik dari para peserta seminar gerejani dan dunia sekuler. Hasilnya kemudian dibukukan.Â
PA meminta seorang pendeta senior (sudah pensiun) untuk membaca kembali seluruh tulisan itu. Sang pendeta pernah menduduki jabatan penting sebagai salah satu anggota Majelis Sinode GMIT. Ia pun pernah dipercaya masyarakat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Nusa Tenggara Timur. Â Ia memberikan catatan-catatan berharga yang mengoreksi tulisan-tulisan PA.
Selanjutnya PA meminta seorang Doktor lulusan Universitas Nusa Cendana untuk membaca calon buku ini. Sang Doktor seorang yang lahir dari Amarasi. ia memiliki pengetahuan tentang kebudayaan Amarasi. Sesudah membacanya, ia mendorong untuk segera dibukukan.
Calon buku ini segera PA kirim kepada seorang sahabat yang selalu siap membantu untuk mengurus penerbitan buku. Sahabat yang satu ini tinggal di Solo-Jawa Tengah.
Sambil menunggu proses penerbitan buku, PA mengirimkan naskah calon buku itu kepada Antropolog dari ANU yakni Prof.Dr. Barbara Dix Grimes, Ph.D. PA mengetahui secara pasti bahwa ia seorang yang amat sibuk. Kesibukannya luar biasa sehingga waktu untuk membaca pasti amat sempit atau mungkin tak sempat membacanya.
Â
PA mengirim naskah calon buku itu pada tanggal 24 Mei 2023. Ketika itu Sang Antropolog sempat merespon pesan WhatsApp. Sang Antropolog sudah fasih berbahasa Melayu Kupang sehingga komunikasi kami lancar, baik ketika bertemu maupun ketika saling mengirim pesan melalui WhatsApp, tetapi khusus materi naskah calon buku, PA pastikan tidak mudah untuk segera mendapatkan jawaban.
Pada 5 Juni 2023, sekitar jam 3 petang, tiga pesan WhatsApp masuk. PA membuka dan membaca, ternyata Sang Antropolog memberikan komentar yang amat membanggakan karena sekaligus isinya mengkritisi untuk perbaikan pada bagian tertentu dari isi buku ini. PA segera memindahkan naskah calon buku ke dalam desktop untuk selanjutnya akan melakukan revisi naskah buku sesuai saran dan kritik yang disampaikan.
Saran dan kritik itu PA kutip dan tempatkan di sini secara utuh. Di dalam ia menulis dengan menggunakan Bahasa Amarasi, Â Melayu Kupang dan diselipkan Bahasa Inggris.
Hore tua. Â Minta ma'af, bagini lama baru beta abis baca bapa pung tulisan yg talalu bagus.
Isinya talalu bagus. Â Bapa yg pakar, jadi beta sonde kasi komentar banyak di situ. Â Beta pung usulan utama - untuk kata-kata bhs Amarasi ikut satu sistem secara konsisten. Â Ini sering muncul di tulisan antropologi di mana ada banyak kata asing (Amarasi) di tulisan dalam bahasa lain (misalnya bhs Inggris). Â 2 hal muncul: Â how to format non-English words in an English text and how to indicate the translation of those non-English words. Â Pada umumnya bapa ikut standard: Â kata-kata Amarasi pakai italics, dan terjemahan kata Amarasi (masuk tanda kurung). Â Yang penting, pilih satu sistem dan pake terus.
Hal ke 2 --- waktu beta baca, beta cukup sering rasa ke mau minta terjemahan harfiah dari kata/frasa Amarasi. Â Di judul-judul ju bagitu. Â Pak Jim Fox su ajar beta ke selalu perhatikan bahasa/idiom/metafor yang dipakai dalam acara dan kegiatan adat. Â Bapa su tangkap itu dengan betul dan ini yg bekin tulisan tambah menarik. Â Untuk kami yg tidak tahu bhs Amarasi --- minta tamba terjemahan harfiah (selain penjelasan lebih umum). Â Yg beta taru warna kuning - rasanya ke beta belum puas, masih mau tanya terjemahan harfiah - atau cara diformat seperti di atas.
Beta kasi komentar sedikit ttg pemkaian kategori "Ilmiah" Â yg antropolog sekarang sonde mau terima (animisme) karna rasa kurang tetap dan kita tidak perlu paksa kepercayaan Amarasi masuk di lobang orang lain/luar pung kategori. Â Ini hanya muncul satu kali dan beta usul hapus sa. Â Explain Amarasi in reference to Amarasi. Bapa su explain Amarasi secara hebat. Â Son perlu explain Amarasi in reference to orang lain pung kategori animisme. Â Ma kalo bapa rasa penting itu ada, pake sa. Â Ini cuma beta pung pikiran.
(Sumber: Pesan WhatsApp, Prof.Dr.Barbara Dix Grimes, Ph.D)
Bila diterjemahkan secara dinamis ke dalam Bahasa Indonesia, kira-kira seperti ini:
Shalom. (Saya) mohon maaf untuk waktu yang lama dalam membaca tulisan bapa yang terlalu bagus. Isinya terlalu bagus. Bapak yang pakar, sehingga saya tiak akan memberikan banyak komentar di situ (maksudnya, di dalam naskah calon buku). Usulan saya yang utama, untuk kata-kata berbahasa Amarasi (sebaiknya) mengikuti satu sistem (tata tulis) secara konsisten. Ini sering muncul dalam tulisan antropologi di mana ada banyak kata asing (Amarasi) di dalam tulisan bahasa lain (misalnya Bahasa Inggris). Dua hal muncul, how to format non-English words in an English text and how to indicate the translation of those non-English words (bagaimana memformat kata-kata yang bukan bahasa Inggris ke dalam teks berbahasa Inggris dan bagaimana menunjukkan kata-kata Bahasa Inggris yang diterjemahkan itu. Pada umumnya bapak (telah) mengikuti standar: kata-kata (bahasa) Amarasi menggunakan huruf miring (Italics), dan terjemahan kata (bahasa) Amarasi (masuk anda kurung). Yang penting, pilih satu sistem (tata tulis) dan selalu pakai secara konsisten.
Hal kedua, sewaktu saya membaca, saya cukup sering merasa (untuk) meminta agar terjemahan harfiah dari kata/frasa (berbahasa) Amarasi. Pada judul-judul (maksudnya, sub judul) juga begitu. Pak Jim Fox (Antropolog dari ANU juga) sudah mengajar (saya) begitu untuk selalu memperhatikan bahasa/idiom/metafor yang dipakai dalam acara dan kegiatan (yang berhubungan dengan) adat. Bapak sudah menangkap (maksudnya, memahami) hal itu dengan betul/benar, dan hal ini yang membuat tulisan ini makin menarik. Pada kami yang tidak mengetahui Bahasa Amarasi --- Â (saya) minta tambahkan terjemahan secara harfiah (selain penjelasan lebih umum). (Perhatikan catatan saya) Pada bagian yang saya beri warna kuning, rasanya saya belum puas, (saya masih mau menanyakan atau meminta untuk diterjemahkan secara harfiah - atau cara diformat seperti di atas.Â
Saya beri sedikit komentar tentang pemakaian kategori, "ilmiah" yang pada zaman ini para antropolog tidak menerimanya. Animisme. Animisme terasa kurang tepat dan kita tidak perlu memaksa kepercayaan (orang) Amarasi untuk masuk di "lubang' milik orang lain atau orang luar. Saya usul untuk hapus saja. Â Jelaskan tentang (kebudayaan) Amarasi mengacu pada (kebudayaan dan masyarakat) Amarasi. Bapak sudah menjelaskan tentang (kebudayaan dan masyarakat) Amarasi secara hebat. Tidak perlu lagi menjelaskan (Kebudayan dan Masyarakat) Amarasi dengan mengacu pada kategori milik orang lain tentang animisme, tetapi bila bapak merasa itu penting, pakai saja. Ini hanya pikiran (pendapat) saya saja.
Â
Suatu pengalaman menarik. Sementara itu, naskah calon buku telah ada dalam antrian di Perpustakaan Nasional untuk mendapatkan International Standard Book Number (ISBN).Â
PA ~ Pemulung AksaraÂ
Umi Nii Baki-Koro'oto, 5 Juni 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H