Pengantar
Dunia peemanisme bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Bila kita berselancar untuk menemukan sejarah kata preman, kita akan menemukan sisi positif dan negatifnya dalam praktik kehidupan di tengah masyarakat.Â
Secara etimologis, kata ini berasal dari kata bahasa Belanda vrijman yang dalam bahasa Inggris free man. Ketika lidah masyarakat Sumatera Utara, khususnya di Medan tidak dapat melafalkan secara baik vrijman dan free man, dilafalkan menjadi pri men, pre man sementara lidah orang Jawa melafalkannya menjadi prei mangan.Â
Maknanya berbeda antara primen dengan prei mangan. Pri men, pre man yang dilafalkan dari vriijman dan free man artinya orang bebas, tidak terikat aturan. Sementara prei mangan artinya, makan dan minum gratis.Â
Jadi sejarahnya berbeda, namun sesungguhnya bila dirunut ternyata prei mangan merupakan dampak dari free man (pri men ~ pree man ~ ini gaya berlafal).
Menurut beberapa catatan, vriijman atau free man yang akhirnya dilafalkan menjadi preman bermula di perkebunan milik para pengusaha Belanda pada zaman kolonialisme.Â
Mereka menjadi orang-orang merdeka yang tidak sudi diatur. Mereka menjadi lawan tanding dari para kaki-tangan pengusaha perkebunan yang menindas rakyat, atau masyarakat di sekitar perkebunan. Positif. Mereka mendapatkan makanan secara gratis (prei mangan) pada warung-warung yang dikelola oleh isteri-isteri para pekerja/buruh perkebunan. Mereka menjadi perisai untuk para pekerja/buruh perkebunan. Rasanya hal ini positif.
Seiring waktu berjalan, preman bergeser tensi dan intesitas "perlawanan". Mereka bukan saja melawan pengusaha kaya raya yang "menindas" pekerja/buruh. Mereka juga dimanfaatkan untuk menghantui musuh dari para pengusaha. Secara senyap para pengusaha kaya memanfaatkan mereka sedemikian untuk kepentingan mengamankan bisnis, termasuk tagihan hutang-piutang.
Tampilan mereka sangar, tubuh bertato, bicara rada kasar hingga kasar, cenderung hendak segera menguasai, dan menguasai daerah/wilayah tertentu di jalanan. Mereka memilih jalan karena di sana petugas kepolisian tidak selalu ada di sana (bukan 24 jam bertugas). Celah waktu itu mereka manfaatkan untuk bertindak secara melawan hukum. Organisasi dan aturan tidak tertulis, namun anggota wajib hukumnya untuk mematuhi tanpaa upaya sedikit pun untuk sekadar berargumentasi.
Â
Manajemen Premanisme
"Tulislah tentang aku dengan tinta hitam atau tinta putihmu. Biarlah sejarah membaca dan menjawabnya." Ir. Soekarno
Ir. Soekarno, Presiden pertama NKRI, mengucapkan satu kalimat menarik sebagaimana kutipan di atas. Kalimat ini dapat menginspirasi siapa pun, bila ingin namanya dikenang. Kenangan itu dapat diukir dengan tinta hitam atau tinta putih. Sejarahlah yang akan membaca dan memberi kesan dengan persepsi, asumsi dan konklusi baik individu maupun institusi. Praktik argumentasi dan polemik  akan menjadi tidak mudah untuk menemukan ranah yang sejalan.
Nah, itulah kira-kira yang terjadi dengan dunia premanisme di Indonesia. Rasanya, premanisme di Indonesia pernah berjaya pada masa tertentu, lalu "kocar-kacir" pada masa ini. Mereka tengah mencari celah untuk tetap eksis. Eksis dengan tampilan berbeda, berdasi, necis, licin berkilau, dan lincah berkelit namun tetap terlihat gayanya.Â
Mari menelusur dunia maya, dapatkah kita menemukan organisasi yang mempraktikkan gaya premanisme? Preman, bisa seorang pribadi tanpa organisasi yang mewadahinya. Ia hidup bebas, merdeka dengan gaya, daya dan energi yang dimilikinya. Sumber daya pada dirinya yakni tampilan, ucapan dan gerak raganya.Â
Mereka dapat pula mengorganisir diri, lalu menata tampilan dengan berbusana bak kaum agamawan yang saleh, tetapi ucapan dan gerak raganya masih terlihat. Ucapan-ucapannya terdengar logis, apalagi dibumbui kata-kata dari kitab suci, siapakah yang akan membantah isi kitab suci?Â
Dia mengucapkan ajaran dan hukum tertinggi yang tertulis dalam kitab suci, maka membantahnya pun kiranya perlu kewaspadaan. Pilihan oendekatan ini rasanya mengikuti atau mendekati gaya organize crime. Maka, kaum di bawahnya  akan diam atau menggumam saja, lalu pulang untuk melaksanakan apa yang diucapkannya dengan gimik tak sudi.Â
Gaya organize crime digunakan para pemimpin tertentu dalam menata organisasi yang dipimpinnya atas kepercayaan yang diterimanya. Prinsip manajemen modern (POACE, planning, organizing, actuating, controlling, and evaluation) dengan segala perubahan dinamika di dalamnya hanya sentilan dalam kata tanpa akta berarti.
Dalam dunia apa yang disebut oleh United Nations Office on Drugs zand Crime, UNODC, mereka menerapkan kriteria:
- orientasi keuntungan (profit oriented)
- organisasi sudah lama hidup secara senyap (silent organized)
- menggunakan kekerasan (violenced)Â dan menyuap aparat (bribed)
- keuntungan besar, barang dan jasa illegal (big profit, illegal goods and services)
- bisnis jahat (evil bussiness)
Manajemen yang tak layak ditampilkan untuk mendapatkan perhatian dan pembelajaran, bukan? Organisasi PBB untuk urusan kejahatan dan narkoba menemukan dan mencatatkan kepada publik untuk menjadi pengetahuan. Bila memiliki pengetahuan itu, tentulah orang akan mempelajari ciri khas dari individu tertentu yang menjadi leader pada institusi tertentu agar dapat menilai pendekatan pelayanan yang dipakai kepada masyarakat.
Dalam masa tertentu di Indonesia, terdapat beberapa istilah petrus yang menyeramkan dan mencemaskan. Petrus, bukanlah nama orang, tetapi akronim dari penembak misterius. Jika menelisik data, gabungan anal liar (gali)  yang diyakini sebagai preman menjadi korban kebringasan "kebijakan" dengan pendekatan petrus.Â
Seorang target utama di Jawa Tengah melarikan diri. Ia menumpang kendaraan yang di atasnya membawa karung-karung berisi manusia hidup yang diturunkan di jalan, ditembak, tewas, justru di depan matanya. Ia memberi kesaksian tentang hal ini. Penulis mengasumsikan bahwa para pelaku petrus berada di bawah kendali pemimpin organize crime atas nama keamanan dan ketertiban, sehingga stabilitas dapat dikendalikan.
Pendekatan organize crime yang demikian merupakan kata lain dari manajemen premanisme yang penulis maksudkan dalam tulisan ini. Pemimpin memimpikan sesuatu lalu segera sesudah mimpi itu ada dalam imajinasinya, ia pun mengucapkannya dengan nada keras, dinamika suaranya meyakinkan, pertanyaan menyudutkan diarahkan kepada lawan bicara hingga mematikan untuk tidak dapat memberi jawaban apalagi berargumentasi.Â
Ia mematikan lawan bicara dengan tampilan dan gaya bicara yang khas sehingga menimbulkan kecemasan dan terlebih ketakutan. Maka, jadilan para bawahan hanya bagai kerbau yang dicucuk hidungnya. Bawahan diperlakukan bagai domba yang menuju tempat pengguntingan bulu, dilucuti pun diam saja.
Ketika orang/individu seperti itu masuk ke bidang tertentu yang formal, betapa ia akan menjadi "hantu dan momok" pada mereka yang dipimpinnya. Ia bagai kucing rumahan pada mulanya yang bersuara halus, tetapi lantang dan jelas makna agar mudah dalam praktiknya. Secara perlahan ia menggeser perilaku dan gaya bicara dan memunculkan orisinalitas dirinya. Lingkungan dimana ia menjadi pemimpin bertekuk lutut, melaksanakan tugas tanpa saringan norma, etik, dan nilai kehidupan.
Mengapa hal-hal yang demikian terjadi di sekitar kehidupan kita?Â
Kaum preman telah naik kelas menjadi oligarki. Individu tertentu telah berhasil menduduki posisi penting di dalam penyelenggaraan negara. Kata diucapkan, akta tertulist tak terlihat pun sudah mesti dilaksanakan. Pelaksanaannya tidak menunggu petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan. Semua apa yang diucapkan tanpa terjemahan dan kajian untuk memberi makna pada perwujudannya. Kebingungan terjadi, tetapi wajib untuk dilaksanakan, dengan kewajiban ikutan yakni menginformasikan kembali berupa laporan lisan saja pun asal menyenangkan pemimpinnya.
Kira-kira demikian individu tertentu yang duduk dalam ranah penyelenggaraan negara sedang mensenyapkan praktik manajemen premanisme. Â
 Â
Penutup
Tulisan ini berangkat dari minat baca. Ketika menggunakan kata kunci (keywords) tertentu pada mesin pencari (search engine) kita dapat menemukan banyak tulisan menarik di dalamnya. Salah satu mesin pencari yang paling banyak diminati yakni google. Dalam masa senggang, iseng-iseng, kata kunci preman, premanisme bolehlah ditempatkan padanya. Ia akan menyodorkan beragam artikel,tinggallah membaca dan memberi persepsi dan opini. Opini ini pun lahir dari situasi yang demikian.
Kini, masyarakat mesti peka, jeli dan cermat dengan seluruh indra yang ada pada tiap individu agar dapat mengetahui dan mengenali individu tertentu yang terlihat mapan hidupnya, kaya, disegani, dan dihormati. Individu tertentu seperti itu sering pula menjadi malaikat penyelamat, memiliki solidaritas yang bagus, menempatkan diri sebagai orang yang penuh perhatian, dan lain-lain. Ia mempunyai kaki-tangan yang bermulut manis. Waspadalah.
Individu tertentu yang demikian kelak akan ditulis namanya dengan tinta hitam-putih sebagaimana kata Ir. Soekarno, Presiden pertama NKRI. Namanya akan dikenang dalam ziarah hidup manusia. Lihatlah Johny Indo, Anthon Medan, Hercules, Sahara Oloan Panggabean, Kusni Kasdut, Slamet Gundul, Johny Sembiring, dan lain-lain.
Tentulah setiap orang berharap namanya dicatat dengan kesan bernilai minimal pada lingkungan keluarganya. Bila ia telah memberikan jasanya pada suatu komunitas, apalagi kepada daerah, bangsa dan negara, bukankah namanya akan dikenang dalam varian sebutannya?
Sumber: satu, dua, tiga, empat, lima
Umi NIi Baki-Koro'oto, 28 Februari 2023
Heronimus Bani/Meo Mnasi' Umi Nii Baki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H