Pengantar
Pada tanggal 23 Februari 2023, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat berkunjung ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT. Sudah menjadi budaya di NTT dan Indonesia pada umumnya, ketika seorang pejabat datang akan disambut dengan seremoni tarian penyambutan, dan segala tetek-bengek yang memanjakan pandangan.
Seremoni penyambutan bagai aksesori kamuflase agar pejabat yang datang "jatuh hati". Maka, ketika akan menyampaikan sambutan yang sifatnya arahan, petunjuk dari kebijakan yang dibuat, maka ia akan menyampaikan dengan gaya yang sifatnya kekeluargaan.
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat biasanya berbicara dengan nada keras, dan gestur yang terbaca bagai "menekan" siapa pun yang berhadapan dengannya, terutama kaum birokrat.
Tengoklah kebijakan semula ketika telah berhasil menjadi NTT-1, kebijakan English Wednesday, semua PNS di lingkup pemerintah Provinsi NTT hingga sekolah-sekolah wajib berbahasa Inggris pada hari Rabu. Kebijakan susulan yang amat keras dan butuh segera implementasi lapangan yakni revolusi hijau dengan menanam kelor. Apakah kebijakan yang kiranya seperti "dadakan" ini telah berhasil diwujudkan?
Tengok pula kebijakan tanam jagung panen sapi (TJPS). Tiap kebijakan tentu ada implementasinya, ada kritik dan ada evaluasinya.Â
Hal-hal yang demikian itu belum terlihat evaluasinya secara nyata, terlebih kebijakan "dadakan" English Wednesday. Apakah para PNS dalam kantor Gubernur NTT pada setiap hari Rabu masih tetap berbicara menggunakan bahasa Inggris? Bayangkanlah itu.
Kini, pada saat berkunjung ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Gubernut NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat membuat kebijakan baru, sekolah dimulai pada jam 5 pagi untuk tingkatan SMA dan SMK. Pada tahap pertama dimulai dari Kota Kupang. Dapatkah hal ini terwujud?
Masuk Jam 5 Pagi sebagai Kebijakan Kontroversi
Sungguh suatu perkembangan terbaru di dunia pendidikan di Indonesia, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur di mana para siswa SMA dan SMK di Kota Kupang diminta masuk sekolah pada pukul 05.00 WITa. Apakah ada korelasi antara masuk jam 5 pagi dengan kemampuan anak menyerap materi belajar?
Dalam satu tulisan di KOMPAS.com (16/07/21), disebutkan bahwa mengulang pelajaran pada malam hari kurang efektif pada siswa. Maksudnya, bila belajar pada malam hari biasanya akan mudah dilupakan, karena kelelahan.
Maka, belajar pada pagi hari lebih efektif yakni sekitar pukul lima subuh, dengan tidak ada gangguan sebelumnya. Seorang siswa belajar pada pukul lima pagi secara individu di rumahnya, sepi, sunyi; dilakukannya sesudah doa pagi.
Juswendi Jufri, dkk (2020:86) dalam bukunya Kiat Sukses Pelajar dalam Belajar di Era 4.0, ia menempatkan satu rangkaian manajemen waktu untuk seorang pelajar sejak bangun pagi (subuh) hingga istirahat pada pukul 21.30 atau 22.00.Â
Menurut Juswendi Jufri, pada subuh (pukul 04.10-05.00) anak dapat memanfaatkan waktu ini untuk belajar sebelum melanjutkan rutinitas hariannya. Ia baru boleh berangkat ke sekolah sekitar pukul 06.30 waktu setempat, dan akan kembali dari sekolah antara pukul 14.00-16.00.
Mengapa waktu pulang berbeda? Hal ini bergantung pada kebijakan sekolah masing-masing dalam penerapan manajemen waktu belajar, baik reguler di kelas yang intrakurikuler maupun ekstra kurikuler.Â
Sekadar membuat perbandingan dengan sekolah di luar negeri, terdapat 4 negara yang menerapkan waktu belajar pendek di sekolah.. Rusia, Finlandia, Islandia, dan Irlandia. Sementara di Rusia, siswa mulai belajar pada pukul 8 pagi, dan pulang antara pukul 13.00-14.00.
Di Finlandia, siswa datang ke sekolah antara pukul 8 atau 9 pagi, dan pulang antara pukul 13.00-14.00, yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Islandia dan Irlandia.
Mari menengok Singapura tetangga terdekat Indonesia. Pemerintah Singapura menerapkan waktu belajar antara pukul 08.30-16.30. Nah, lihatlah apa yang terjadi dengan pelajar-pelajarnya? Bukankah mereka lebih baik daripada kita di Indonesia?Â
Di Indonesia, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (KemdikbudRistek) telah menerapkan Merdeka Belajar. Sekolah mendapatkan kesempatan untuk melakukan inovasi dan kreativitas baik oleh guru dalam kolaborasi mereka maupun bersama-sama dengan siswa, atau para siswa saling berkolaborasi untuk mengkreasikan suatu produk belajar dalam kerangka perwujudan Pelajar Pancasila.
Ketika waktu reguler dimulai pukul lima pagi, apakah hal ini sudah ada dalam kajian akademis para staf ahli/staf khusus Gubernur NTT yang membidangi pendidikan?
Sejauh ini belum ada jejak digitalnya. Jejak digital yang dapat dilacak yakni pemberlakuan jam belajar yang baru saja diucapkan oleh Sang Gubernur, lalu disahuti sebagai kebijakan dan siap dalam pelaksanaannya.
Publik bertanya, pejabat memberikan jawaban. Apa urgensinya?
Ombdusman Nusa Tenggara Timur angkat bicara, apa urgensinya kebijakan ini? Kira-kira demikian pernyataan dalam bentuk pertanyaan kepada Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Kepala Ombudsman NTT menyarankan agar kebijakan ini didiskusikan dengan pihak perwakilan orangtua siswa dalam Komite Sekolah.Â
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Linus Lusi, M.Pd menyampaikan bahwa banyak sekolah swasta sudah memberlakukan hal ini. Sekolah-sekolah itu menerapkan jam belajar pada pukul lima pagi. Ia membandingkannya dengan sekolah berasrama yang dilakukan oleh sekolah-sekolah di bawah pengelolaan swasta (Katolik) dan pesantren (Islam).Â
Jelas bahwa sekolah berasrama memiliki budaya manajemen waktu yang terpimpin oleh pengelola. Sementara sekolah milik Pemerintah (Provinsi NTT) yang berlabel negeri, manakah yang berasrama? SMA Negeri manakah di kota Kupang yang sudah berasrama?
Diskusi di beberapa WhatsApp Grup membahas kebijakan kontroversi ini. Kebijakan yang rupanya tanpa kajian akademis, yang berdampak pada berbagai hal seperti kesehatan siswa, dampak sosial pada budaya baru baik pada guru, siswa, orangtua dan berbagai kalangan di sekitar dunia pendidikan (menengah atas dan kejuruan) Kota Kupang.
Video-video diedarkan pada banyak aplikasi media sosial. Salah satu di antaranya terjadi di SMA Negeri 6 Kota Kupang. Guru-guru sudah tiba di sekolah pada pukul 04.30.
Apel pagi berlangsung dihadiri hanya oleh seorang siswa, lalu seorang berikutnya datang terlambat tetapi masih sempat mengikuti apel pagi. Perpustakaan sudah dibuka, ruang kantor, ruang guru, dan semua ruang kelas telah dibuka. Guru-guru telah siap untuk memulai proses mengajar-belajar.
Tentu orang akan berkata, "Ah... ini hari pertama. Sudah menjadi kebiasaan umum, sesuatu yang baru seperti itu lumrah."Â Dapatkah itu menjadi pembenaran?
Mari kita lihat aspek kesehatan untuk jangka panjang. Menurut para ahli kesehatan, mandi pagi antara pukul 03.00-07.00 itu akan memberi kesegaran pada tubuh. Ibaratnya, tubuh butuh energi atau daya seperti handphone yang perlu charge. Hal ini baik adanya, selain untuk membuat diri terlihat awet muda.Â
Dr Casey Carlos dari University of California USA mengatakan, mandi setiap hari dengan sabun dapat menyebabkan kulit kering, ditambah scrubing maka kulit dapat kehilangan minyak esensial dan lipid.
Setiap kali mandi dengan sabun maupun perangkat ain seperti loofah akan merusak lapisan terluar dari permukaan kulit (stratum korneum), apalagi menggunakan air hangat saat mandi. Bukankah kebiasaan mandi amat pagi (antara pukul 03.00-06.00) sangat sering orang akan menggunakan air hangat?
Ini baru satu dampak dari aspek kesehatan kulit. Anggota masyarakat kota Kupang yang anaknya sedang duduk di bangku sekolah menengah atas dan kejuruan tentu "patuh" pada kebijakan, tetapi mulai waspada.
Kira-kira dampak yang terlihat dalam waktu dekat yakni:
- Orangtua perlu sigap. Dalam kelelahan bekerja seharian sekalipun, warga dewasa kota Kupang sudah harus membiasakan untuk tidur dengan waktu lebih pendek (4-6 jam).
- Anak/siswa akan berkendaraan sendiri (motor) ke sekolah, padahal kota Kupang menerapkan kebijakan siswa SMA yang berkendaraan sendiri (motor) ke sekolah tidak diperkenankan. Mereka harus menggunakan jasa angkutan umum atau orangtua mengantarnya. Kendaraan pribadi (motor) yang bersiliweran di pagi hari beresiko karena para siswa berusaha untuk tidak terlambat ke sekolah.
- Pengusaha jasa angkutan kota yang biasanya mulai beroperasi sekitar pukul enam pagi, mungkin sudah harus lebih awal lagi daripada para siswa. Kepala Dinas P & K Provinsi NTT memastikan bahwa para pelaku ekonomi di pasar sudah mulai beraktivitas pada pukul tiga pagi. Hal ini menunjukkan bahwa pemberi jasa angkutan sudah beroperasi(?)
- Dan tentu masih banyak yang lainnya.Â
 Penutup
Gubernut NTT Viktor Bungtilu Laiskodat kiranya perlu menata ulang kebijakan ini agar para siswa, guru, orangtua siswa dan masyarakat kota Kupang tidak resah.
Keresahan publik tentulah ada dampaknya. Pejabat pendidikan di Provinsi Nusa Tenggara Timur bersama stafsus, akademisi perlu duduk bersama.
Dibutuhkan diskusi yang matang, kritik pada kebijakan yang sekaligus dapat memberikan solusi padanya. Kebijakan yang masih bersifat lisan serta merta dilaksanakan tanpa suatu acuan (misalnya, Pergub) tentulah kiranya akan mubazir.
Organisasi PGRI di level Provinsi NTT dan Kota Kupang kiranya mesti peka. Pengurus Daerah PGRI NTT dan Kota Kupang perlu bersegera bersinergi untuk bersuara.
Suara PGRI akan menjadi "angin pengganggu" pada kebijakan Gubernur NTT ini. Tidakkah suara PGRI Â (NTT dan Kota Kupang) akan bernilai?
Kaum guru (SMA, SMK) di dalam Kota Kupang baik perseorangan maupun grup, mengapa tidak menulis untuk menyuarakan aspirasi? Mengapa justru menjadi pelaku tanpa kajian minimal nilai positif-negatifnya dari sudut pandang guru.
Ah... tulisan ini lahir guru kampung di Kabupaten Kupang. Semoga saja menjadi satu titik inspirasi pada para guru di Kota Kupang.
Terima kasih.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 27 Februari 2023
***
 Sumber: satu, dua, tiga, empat, lima, enam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI