Kedatangan kedua tamu (pasangan suami-isteri: Prof. Dr. Charles E. Grimes,Ph.D dan Prof. Dr. Barbara Dix Grimes, Ph.D) kali ini tidak membahas tugas-tugas rutin dari Unit Bahasa dan Budaya GMIT Kupang. Keduanya membawa pesan khusus dari seorang pemuda bernama Andrew Joseph Grimes.
Pasangan the Grimes memakai pendekatan budaya nateek oko'mama', menempatkan satu unit tempat sirih-pinang berisi sirih-pinang-kapur, dan satu lembaran rupiah dengan nilai nominial tertentu di meja. Saya terkejut. Tidak ada kebiasaan itu pada pasangan the Grimes pada kami di rumah adat Umi Nii Baki-Koro'oto.  Saya mencoba mendengarkan saja apa yang hendak dikatakan oleh pasangan the Grimes ini.Â
"Kami bawa suara dari anak, Ucu (Andrew Joseph Grimes). Ucu minta bapa Roni jadi mafefa'. Dia mau nikah pakai cara budaya orang Amarasi. Ucu bilang, bapa Roni mesti datang ke Australi untuk urus dia nikah."
Oko'mama' dan kalimat yang menyertainya menjadi alasan kedatangan the Grimes. Saya agak keberatan pada awalnya, tetapi setelah kami berdiskusi cukup lama, akhirnya kami bersepakat berhubung waktu yang tersedia masih cukup untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan upacara pernikahan/perkawinan menurut hukum adat pernikahan/perkawinan masyarakat adat Timor-Amarasi.Â
Saya tawarkan pilihan kolaboratif, yakni pendekatan cara masyarakat Amarasi dalam tampilan maso minta ala masyarakat perkotaan khususnya masyarakat adat Kota Kupang. The Grimes menyetujui tawaran ini. Kami pun segera menyiapkan segala keperluan untuk maksud ini yang akan terjadi pada Juni 2017.
Isteri saya dan sejumlah perempuan dalam kategori Kaum Perempuan GMIT di Jemaat lokal mendapat tugas menyediakan 50 lembar kain tenunan khas masyarakat adat Timor-Amarasi. Keseluruhan kain tenunan ini diperuntukkan untuk pasangan nikah adat, oang tua dari pihak keluarga sang pemuda dan keluarga pada umumnya dari pihak keluarga sang gadis.
Persoalan muncul pada ketersediaan sirih-pinang-kapur yang mesti ditempatkan pada setiap baki/dulang maso minta. Sementara dulang maso minta yang biasanya ditempatkan pinang wangi saya ganti dengan kain tenunan kecil (selendang) sebanyak 30 lembar. Semua kain tenun ini siap pada Mei 2017 untuk selanjutnya dapat dibawa mendahului kedatangan mafefa'/jubir.
Satu hal yang kiranya nyaris menghalangi perjalanan saya yakni, pelantikan sebagai kepala sekolah pada April 2017. Bahwa ternyata sesudah pelantikan, terjadi tarik-ulur serah-terima jabatan dari kepala sekolah yang diganti.
Entah ada alasan apa, saya tidak memahaminya. Saya baru mengetahui alasan itu setelah serah-terima pada akhir Juni 2017, yakni sang kepala sekolah memasuki masa pensiun sehingga perlu diberi kesempatan terus memimpin sampai dengan masa itu tiba, yakni akhir Juli 2017.
Bahwa ternyata Pemerintah Kabupaten Kupang (dhi.Dinas Pendidikan dan Kebudayaan) tidak menghendaki hal itu. Surat Keputusan Pensiun sudah terbit, maka ASN itu harus menyerahkan tugas.
Sambil menunggu suasana hati sang kepala sekolah menjadi tenang, saya berangkat ke Darwin. Penerbangan dimulai dari Eltari Kupang, Ngurah Rai Denpasar, dan tiba di Darwin, 5 Juni 2017 sekira pukul 05.05 waktu Darwin. Jemputan sudah menunggu. Kami langsung tancap gas dengan menyinggahi kedai kopi untuk membeli seduhan kopi panas, menghangatkan badan di perjalanan ke kota Katherina. Dari kota Darwin ibukota Northeren Territory ke kota Katherine kami tempuh jarak di atas 300 km.