Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Senja di Pesisir Oahu

19 Desember 2022   16:15 Diperbarui: 19 Desember 2022   17:00 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan Kota dari atas bukit, terowongan, foto bersejarah; kolase; dokpri; Roni Bani

edisi keempat

Hari-hari belajar di dalam International Conference Languange Documentation and Conservation di Manoa University Hawaii menjadi pengalaman menarik. Kemenarikan ini tidak berhenti di dalam kampus oleh karena banyaknya materi/makalah yang dapat dilihat, diikuti dari ruang seminar yang satu ke ruang seminar lainnya. Kemenarikan ini berawal dan terus berlangsung di sekitar perjalanan dari rumah ke kampus, di sekitar kegiatan non konferensi dan destinasi wisata pantai.

Setiap hari ke kampus dengan kendaraan yang dikemudikan oleh Opa Prof. Dr. Joseph Grimes, Ph.D. Sang Profesor yang satu ini luar biasa enerjik. Ia sudah sangat sepuh, telah mencapai umur di atas 90 tahun, tetapi masih ke kampus untuk mengabdi. Ia tidak mau dipensiunkan karena alasan pengabdian ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Satu unit mobil yang menggunakan aki/listrik ia kemudikan setiap kali ke kampus. 

Kami harus berangkat setiap pagi pukul 05.00, menyinggahi tempat sarapan pagi. Sarapan pagi bukan  di rumah karena perjalanan ke kampus yang cukup jauh. Begitu pagi tiba, hal yang dilihat di televisi yakni arus lalu lintas. Maka, menghindari kemacetan menjadi solusi sehingga harus berangkat pagi. 

Menarik, pada salah satu ruas jalan utama menuju ke kampus, ada sistem buka-tutup seperti di Indonesia, namun ada perbedaan. Sistem buka-tutup di Indonesia ada petugasnya yang mengatur lalu lintas, sementara di jalan yang satu ini cukup dikendalikan dengan alat kontrol jalan yang dapat terbuka dan dilewati kendaraan pada pagi hari. Ketika petang, jalanan ini ditutup sehingga pengguna jalan bila pulang, harus melewati jalan lain yang sudah diketahui. Saya menyebut secara lucu model jalan ini karena sistem buka-tutupnya seperti resleting. 

Terlihat gerigi raksasa di pinggir jalan bergeser perlahan makin terbuka dan terus terbuka sampai pinggir jalan yang ditentukan. Lalu akan menutup diri kembali pada sore hari sehingga jaan itu berubah fungsi. Melewati jalan ini berlaku sistem three in one atau lebih. Jadi mobil yang berpenumpang di bawah 3 orang tidak diizinkan di jalan utama ini. Kami selalu berlima sehingga setiap pagi kami melewati jalan ini.

Hal lain sebagai faktor kemenarikan agar saya menulis bagian ini, kehidupan beragama. Kami, sebagai penganut Nasrani mengikuti ibadah/misa di tiga tempat ibadah. Dua tempat ibadah pertama kami ikuti dalam satu kompleks dimana berdiri beberapa unit gedung, dua di antaranya untuk ibadah/misa umat/jemaat dengan beberapa bahasa. Kami mengikuti ibadah/misa dimana umat/jemaat memakai Bahasa Inggris. 

Di sini, kami diperkenalkan kepada umat/jemaat dengan menunjukkan hasil kerja sebagai penerjemah alkitab. Hal yang sama kami ikuti di gedung gereja kedua yang berbahasa Jepang. Kebaktian ini saya tidak akan pernah lupakan karena, sama sekali tidak ada satu kata pun yang saya pahami, kecuali aura ibadah/misa itu menyentuh rasa. 

Para pendatang dari Jepang yang sudah menjadi warga negera USA, kemudian memilih agama Nasrani/Kristen bergabung dalam komunitas ini. Mereka mempertahankan bahasa Jepang, menggunakan bahasa Inggris Kriol, dan bahasa Inggris. Dari dua jemaat ini kami mengetahui bahwa mereka mendukung kegiatan misi penerjemahan alkitab dengan doa dan dana. Itulah sebabnya kami harus menunjukkan hasil kerja kepada mereka pada kesempatan berada di sana. 

kolase foto dengan Canva, dokpri; Roni Bani
kolase foto dengan Canva, dokpri; Roni Bani

Pada perjalanan ini saya tidak pernah melepas selendang khas kampung; saya selalu melilitkan selendang itu di leher bahkan ketika tampil menyajikan materi, saya mengenakan pakaian tradisional khas Timor Amarasi minus destar. (foto sudah saya tempatkan ada edisi ketiga tulisan ini)

"Kemiskinan" di sekitar pesisir pantai Oahu. Saya terkejut ketika kami seharian mengitari pulau Oahu. Saat senggang ketika seluruh kegiatan seminar-seminar dalam konferensi itu berakhir, kami berkeliling pulau Oahu. Kami menyaksikan para peselancar bermain dengan papan selancar pada gelombang laut yang sangat beresiko. 

Di pantai itu ada tanda merah, artinya tidak semua orang secara suka-suka masuk untuk ikut dalam olahraga yang membahayakan itu. Para peselancar harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan brifing dan hal-hal lain yang berhubungan dengan keselamatan, barulah mereka boleh masuk ke pantai dengan ombak/gelombang yang sangat menantang.

Kami melanjutkan perjalanan di sepanjang pesisir pulau Oahu, dengan pemandangan yang menarik. Lalu di satu tempat kami menyaksikan mobil-mobil diparkirkan di pinggir jalan. Ada rumah-rumah penduduk bagai gubuk teraliri listrik. Saya kaget lalu bertanya, "Rumah-rumah apa ini? Mereka seperti kaum miskin kota?"

Bapak Grimes yang menjadi pengemudi pun membenarkan. Para kaum miskin di kota tinggal di pinggir kota dengan cara seperti itu. Mereka memilih hal yang demikian sebagai hak, padahal pemerintah menyediakan rumah untuk mereka. Rumah yang dapat menampung kaum miskin kota. Saya bertanya lagi, "Mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalan ini, milik siapa?" 

Bapak Grimes menjawa, "Milik masyarakat kaum miskin ini. Mereka punya mobil untuk kelancaran kerja mereka. Mereka kerja serabutan, pemerintah menjamin kehidupan mereka dengan sejumlah anggaran minimal yang dapat diambil dua mingguan."

Saya lantas membatin, "Aneh, orang miskin punya mobil!?"

Kami lantas melihat-lihat area sekitar, lalu duduk di bibir pantai menyaksikan saat senja tiba. Saat matahari akan terbenam. Suatu pemandangan yang sangat lazim ditunggu-tunggu oleh banyak kalangan yang suka menenangkan batin pada senja di pantai.

...

Hari Minggu kedua kami di sana. Pilihan beribadah kami yakni First Presbyterian Chruch of Honolulu at Ko'olau. Menurut cerita, gedung gereja ini semula merupakan satu perusahaan besar pengolahan kopi. Pada suatu ketika perusahaan ini ditutup dan bangunannya dijual. Umat/Jemaat Presbiterian di Honolulu bersepakat membeli seluruh aset perusahaan ini. Gedung yang semula untuk kegiatan administrasi dan segala hal yang berhubungan dengan perusahaan, diubah fungsinya menjadi tempat ibadah dan hal-hal kegiatan rohani dan praktik hubungan sosial setiap minggunya.

Praktik hubungan sosial yang dimaksudkan yakni, setiap minggu sesudah ibadah/misa para anggota dapat bertemu pada kafe-kafe yang ada di dalam bangunan megah ini. Kafe menyediakan minuman tanpa alkohol, makanan dan lain-lainnya. Semua dijual untuk kepentinan pengembangan umat/jemaat, dan mensponsori kegiatan di luar seperti mendukung kegiatan compassion international.

Di halaman gedung Gereja Presbiterian Honolulu dan foto anak-anak  yang didukung oleh Jemaat; kolase foto; dokpri Roni Bani
Di halaman gedung Gereja Presbiterian Honolulu dan foto anak-anak  yang didukung oleh Jemaat; kolase foto; dokpri Roni Bani

Selain itu, ada satu kegiatan menarik yakni Adult Sunday School (ASS), sekolah minggu untuk orang dewasa. Kami sempat mengikuti sekolah minggu ini. Saya bertanya, mengapa ada sekolah minggu seperti ini? Ternyata jawabannya mencengangkan saya. Umat/jemaat sesudah mengikuti ibadah/misa boleh mengikuti ASS untuk belajar alkitab. Pada ASS ini mereka boleh berdiskusi dengan para pengajar tentang alkitab dan praktik nyata yang dapat dilakukan oleh mereka.

Dari jawaban ini saya kemudian memberi kesimpulan bahwa ternyata untuk menjadi misionaris, bukan harus bersekolah teologi, tetapi ketrampilan/keahlian yang sudah dimiliki dari satu profesi diisikan dengan pendalaman akan pengetahuan alkitab (kitab suci). 

Selanjutnya mereka dapat memutuskan untuk menjadi bagian dari misi layanan Kristen pada profesi yang dimiliki. Maka, bila ada rumah sakit Kristen misalnya, paramedisnya telah mengisi diri dengan pengetahuan alkitab untuk selanjutnya dipraktikan di dalam pelayanan mereka. Begitu pula berbagai profesi yang semisal tukang listrik saja pun, diarahkan kepada pelayanan kasih pada orang-orang yang membutuhkan di tempat lain.

ASS sangat menarik. Di Indonesia ada Sunday School (SS/SM) diperuntukkan kepada anak-anak di bawah 15 tahun; ketika beranjak pada umur 16 ke atas mereka sudah tidak lagi mengikuti SS/SM. 

Pada gereja-gereja yang menganut   presbiterian-sinodal, SS/SM berlangsung seperti itu, dilanjutkan dengan pembelajaran katekisasi sidi, peneguhannya sehingga mereka diterima sebagai anggota sidi, dan dapat bersama-sama dalam pelayanan sakramen perjamuan kudus. Padahal, ASS bertujuan lain, yakni memperdalam pengetahuan, internalisasi firman Tuhan pada individu-individu yang rindu menyegarkan roh dalam diri, dan mempraktikkan sebagai bukti dan bakti iman.

Hal makanan menjadi suatu persoalan. Kami sudah berada di sana selama lebih dari 7 hari. Setiap harinya kami akan menyantap roti bercampur sayuran dan daging, spagheti, dan lainnya yang khas masyarakat USA. Lalu, saya mencoba bertanya, "bukankah negara ini dapat menyediakan berbagai jenis makanan, termasuk nasi (dari beras) dan jagung?

Dalam sehari itu sesudah pertanyaan ini, kami dibawa ke rumah makan yang menyediakan makanan khas orang Asia. Saya mendapat nasi goreng pagi itu. Lalu pada sore harinya, kami ke satu rumah makan yang menyediakan makanan ala Mexico. Di sinilah saya mendapat jagung. Sayangnya, jagung telah diolah menjadi roti. Rasanya tetap jagung.

Hasil olahan jagung ditancapkan bendera Mexico dan makanan ala Jepang; kolase foto; dokpri Roni Bani
Hasil olahan jagung ditancapkan bendera Mexico dan makanan ala Jepang; kolase foto; dokpri Roni Bani

 

Hari sebelum pertanyaan itu, kami bersama-sama beberapa saudara dari Komunitas masyarakat Jepang mendatangi satu rumah makan yang khusus makanan ala masyarakat Jepang. Kami ditawari untuk menikmati ikan hidup segar di dalam mangkuk. Saya memilih untuk tidak makan. Ketika ditawari ikan yang sudah diolah, saya menerimanya dengan catatan saya tidak mau menggunakan sumpit... haha... 

Satu tempat bersejarah kami kunjungi di bukit yang jauh dalam pulau Oahu. Tempat dimana prajurit-prajurit tewas bukan karena dibunuh dengan pedang atau bedil, tetapi tewas terjatuh karena telah terjepit pasukan musuh. Pertempuran ini terjadi dengan strategi jebakan. 

Musuk dijebak berlari ke atas bukit, mereka terus didesak ke bukit hingga puncak bukit dan makin terdesak. Di puncak bukit itu tidak ada jalan lain untuk turun, kecuali jurang. Tentara musuh jatuh dan tewas di jurang itu. Perempuran ini disebut battle of nu'anu. Kiranya dapat dibaca di sini

Pemandangan Kota dari atas bukit, terowongan, foto bersejarah; kolase; dokpri; Roni Bani
Pemandangan Kota dari atas bukit, terowongan, foto bersejarah; kolase; dokpri; Roni Bani

Menuju ke lokasi ini kami melewati terowongan di tengah bukit. Suatu pemandangan menarik ketika tiba di atas bukit itu. Selain dapat melihat kota dari ketinggian, menikmati udara dingin dan angin bermuatan kabut, di sana ada gambar/foto yang mengisahkan perang itu terjadi. Hasil dari pertempuran itu yakni menggabungkan kepulauan Hawaii ke dalam satu kerajaan kepulauan di bawah kepemimpinan Raja Kamehameha.


Saya kira, cukup dulu di sini... semoga masih ada kemungkinan bercerita...Harapan berikutnya, cerita tertulis ini menginspirasi...

Umi Nii Baki-Koro'oto, 19 Desember 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun