Hasil penelitian yang dipaparkan tentang budaya dan bahasa yang terancam punah memberikan pengalaman baru pada kami (dan terlebih saya sebagai pendengar). Saya mulai tersadar akan pentingnya memelihara dan melestarikan bahasa daerah. Saya teringat ketika masuk sekolah dasar, para guru mewajibkan untuk berhasa Indonesia, sehingga bahasa daerah di lingkungan sekolah menjadi tabu. Dampaknya luas, para orang tua pun ikut melarang anak-anaknya berbahasa daerah. Lalu di lingkungan rumah dan kampung masyarakat mulai menggunakan bahasa Melayu Kupang, sehingga mereka berasumsi bahwa itulah bahasa Indonesia.
Pengalaman kedua terjadi saat bergabung dalam satu tim mengikuti 1st Malaysian Indigenous People's on Conference Education (MIPCE) tahun 2007. Saat itu kami setim dengan Rektor UKAW Kupang, Pdt. G. Thom Therik, Ph.D. Dalam konferensi ini kami bertemu dengan para pakar, bahkan beberapa mantan Menteri Pendidikan dari negara-negara Asia Tenggara. Suatu pengalaman  berkesan yang membanggakan. Saya yang hanya seorang guru SD di pedalaman diikutsertakan dalam Konferensi Internasional yang dihadiri para pakar dan mantan Menteri Pendidikan ASEAN. Ketika ada percakapan-percakapan informal, rasanya diri ini sedang mengalami pansos (panjatan sosial) naik,walau sesungguhnya bukan kami bukan pakar, tetapi dihadirkan sebagai pendengar yang bergembira belaka.
Dari konferensi ini, kesadaran akan  pentingnya memelihara bahasa daerah dan budaya lokal makin tumbuh. Saya mulai merambah riset-riset sederhana sambil terus menunaikan misi penerjemahan alkitab. Riset-riset sederhana yang dimaksudkan ini tidak serta-merta menjadi suatu tulisan ilmiah karena belum tertata apik sebagai suatu riset, namun saya gunakan untuk mengajar di ruang kelas sebagai bahan pemerkayaan materi walau sifatnya intermeso.
Ruang kelas saya menjadi ruang pameran karya anak-anak. Hal ini berangkat dari pengalaman berkunjung ke beberapa sekolah di kota Kinabalu Malaysia, dan 1 sekolah swasta di Darwin (2005).
Jakarta, ibukota negara kesatuan Republik Indonesi, sebagai pusat segala hal di sana, termasuk banyak perguruan tinggi ternama. Universitas Atma Jaya menjadi tuan rumah International Conference on  Heritage Language Literacy Development in SE Asia, Jakarta (2008).  Beberapa lembaga riset internasional menjadi bagian dari kegiatan yang difasilitasi oleh Unika Atma Jaya. Kami dari Unit Bahasa dan Budaya GMIT Kupang turut hadir dengan mengikutsertakan seorang rekan dalam tim sebagai Pemakalah.Â
Kali ini dengan model keberanian yang dipaksakan, saya didampingi mentor Prof. Dr. Charles E. Grimes, Ph.D, pada 6th East Nusantara Conference di UBB GMIT-UKAW-AuSIL-Y.Agape, sebagai pemateri/pemakalah. Dua puluh makalah disajikan pada konferensi kali ini, dan puji Tuhan, kami berada di urutan paling akhir. Hal ini memberi ruang untuk belajar tentang tampilan di depan para pakar yang datang dari Australia, Hawaii, Belanda, Paris, dan dari dalam negeri seperti Unika Widya Mandira, Undana, dan UKAW.Â
Keterkejutan terjadi ketika di akhir pemaparan, seorang pakar pertanian mengaku datang secara khusus dari Lembaga Pangan Dunia (FAO). Ia meminta izin untuk membawa makalah kami agar dapat dipaparkan dan disimpn di New York. Ia menilai materi yang ditulis dan dipaparkan itu merupakan budaya berhitung yang sudah punah sehingga sangat perlu untuk dimuseumkan. Materi yang sama inilah yang menyebabkan kami mendapatkan undangan ke konferensi internasional berikutnya di Hawai, Manoa University Hawaii (Februari 2011).Â
Topik besar konferensi internasional di Manoa University yakni International Conference on Language Documentation and Conservation di Univ.Manoa Hawaii -- USA, 2011. Pada kesempatan ini kami yang terdiri dari: Prof. Dr. Charles E. Grimes, Ph.D; Dra. Thres Tamelan, dan saya membawakan materi yang berkaitan dengan bahasa dan budaya dari Timor Amarasi dan Rote-Delha; sementara Prof Grimes mengantarkan materi kebahasaan di wilayah selatan nusantara.Â
Pada 7th East Nusantara International Conference yang diselenggarakan oleh UKAW Kupang, kali ini saya hadiri dengan tulisan tentang masyarakat pedalaman/perbukitan di Timor Amarasi melihat bintang membaca tanda alam. Materi ini saya sajikan sendiri tanpa pendamping sebagaimana materi sebelumnya pada ENUS ke-6.Â