Ketika waktu terus bergulir, inspirasi untuk menciptakan varian motif (a'kaif) pada pakaian tradisional pun tak ketinggalan. Masyarakat Pah Meto' di seluruh pulau Timor masing-masing memiliki ragam corak hias simetris dan bunga. Hal yang demikian mencirikhaskan masyarakat itu sendiri sehingga memudahkan dalam pengenalannya. Pendekatan untuk menghasilkan pakaian tradisional pada masyarakat Atoin Meto' yakni dengan futus dan sotis.(sumber )
Pabrik-pabrik garmen yang memproduksi pakaian/busana dalam jumlah besar (produksi) dan dalam waktu singkat mengirim (distribusi) ke berbagai tempat. Pakaian yang mudah didapat cukup dengan menemukan ukuran yang tepat, sesuai selera, dan tepat pada isian pundi keuangan dapat dibawa pulang setiap saat oleh pemakainya (konsumen). Alur yang demikian ini menjadikan para pengrajin tenun mulai perlahan digerus, karena murah dan mudahnya mendapatkan pakaian/busana di pasar.
Pada titik waktu yang lain, orang merasa perlu kembali pada pakaian tradisional yang "eksotik" karena ragam motif yang dimilikinya. Maka, pakaian tradisional zaman ini menjadi mewah yang menaikkan martabat pada saat tertentu saja.
Kedua, pangan. Makanan sebagai satu hal pokok dalam kehidupan masyarakat, sebab tanpa makanan, apalah artinya pakaian di tubuh. Tubuh yang terbungkus merasakan kenyamanan, tetapi ia akan merasakan sakit, bila bagian isi perut tak mendapatkan asupan nutrisi. Makanan tradisional pada masyarakat pedesaan Atoin meto' di Timor pun mengalami pergesaran. Arbil {(aaz:koto)(phaseolus lunatus)} petai raksasa  {(aaz:fae); (entada phaseoloides) sagu ala Timor yang disebut puta'/putak, dan daging hasil buruan yang dibakar; atau daging rebusan. Â
Makanan yang didapatkan dan dinikmati dengan olahan yang memakan waktu bergeser ketika jagung, padi dan jenis kacangan tiba. Orang Timor mulai mengenal peen bose, peen tutu' dan peen temef.  Sementara itu, nasi menjadi makanan mewah pada waktu itu. Kini nasi menjadi makanan pokok dengan variasi lauk di meja makan. Pendekatan memasak pun berkembang dari tungku perapian, bergeser - kompor minyak tanah, dan kini merambah listrik khsus untuk penggunaan alat masak rice cooker, dan makanan olahan dengan alat yang menggunakan listrik (di pedesaan masyarakat belum berani menggunakan kompor gas).Â
Ketiga, papan/rumah. Sebagaimana saya sudah singgung di depan,konstruksi bangunan rumah masyarakat mengalami perubahan seturut perkembangan teknologi arsitektur. Pada masa lampau siapa yang menjadi arsitek bangunan umi kbubu', ropo/lopo? Kini bangunan dengan konstruksi beton wajib mendapatkan izin pembangunannya dari pemerintah. Pemerintah mesti memastikan bahwa konstruksi bangunan itu aman dan nyaman pada penghuninya, dan terlebih mudah dijangkau pada suatu waktu tertentu, terutama ketika bencana terjadi. Izin membangun akan diberikan oleh Pemerintah bila disertai gambar dan perhitungan pembiayaannya. Pada konteks pembiayaan (belanja bahan) sampai dengan"upacara" untuk menghuni rumah, akan berdampak pada status sosial pemiliknya.
Dalam hal papan/rumah, ada hubungannya dengan penataan pemukiman. Suatu pemandangan menarik, khususnya di dalam wilayah bekas Swapraja Amarasi (Pah Amarasi). Antara tahun 1968 - 1975 telah terjadi perpindahan penduduk yang sekaligus membentuk desa gaya baru. Desa-desa gaya lama dibubarkan, penduduk dipindahkan atau digeser ke tempat-tempat yang ditunjuk pemerintah Swapraja Amarasi (Usif Pah Amarasi). Pemukiman baru ditata rapih, indah, eksotik. Perkembangan ini beriringan dengan infrastruktur jalan yang menghubungkan desa-desa dalam wilayah bekas Swapraja Amarasi (Pah Amarasi), sekaligus membuka keterisolasian. Masyarakat pun mulai "melihat" dunia luar, dan sekaligus mulai memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas.
Keempat, transportasi dan komunikasi. Mari perhatikan zaman ini, siapa yang sudi berjalan kaki atau berkuda di pedesaan? Tentu saja masih ada. Berapa banyak kaum terpelajar dan kelas menengah yang mau berjalan kaki dan berkuda di pedesaan? Bila itu terjadi, maka orang menyebutkannya sebagai suatu "kemewahan dan kewalahan". Â
Pernahkah Anda mendengar masyarakat pedesaan memohon-mohon agar jalan yang menuju ke kampung tidak perlu diaspal oleh pemerintah? Mungkin ada pada masyarakat adat yang benar-benar menjaga kekhasan mereka, tetapi di Timor katanya suku Boti  yang tidak menerima listrik dan jalan aspal? Faktanya, jalan ke wilayah itu sudah ditingkatkan kualitasnya karena Pemerintah justru memperhatikannya sebagai aset wisata budaya. Mungkinkah ada di daerah lain di Indonesia yang menolak pengaspalan?
Berkuda, paling kurang untuk dua hal, mengangkut barang dan orang, dan mengirim orang membawa pesan. Â Kini, surat pun terasa sangat lambat walau dititipkan ke kantor pos; karena dengan surat elektronik makin memperpendek jarak dan kecepatan penerimaannya. Informasi yang dikirim melalui berbagai media tumbuh dimana-mana. Suatu perkembangan yang tiada dapat ditahan.Â