"Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran." (Pengkhotbah 7:1)
Pengantar
Pengetahuan tentang kematian yang diiringi ratap, tangis anggota keluarga, sudah mengakar dan membudaya pada masyarakat adat mana pun. Seseorang "pergi" untuk selama-lamanya. Ia tidak lagi akan terlihat secara kasat mata. Ia tidak lagi akan sibuk dengan rutinitas dan tugas tambahan lainnya. Ia meninggalkan jasadnya dalam satuan waktu tertentu, mulai dari 24 jam sampai beberapa waktu sesudahnya untuk diupacarakan penguburannya.Â
Bila jenazah tidak ditemukan oleh karena peristiwa bencana dan atau kecelakaan dan hal lainnya, maka upacaranya berlangsung bagai in absentia dengan tidak meninggalkan nilai dan maknanya.
Menangis, meratap dan pernyataan belasungkawa dilakukan baik oleh keluarga batih, kerabat dekat hingga kenalan, sahabat dan lain-lain kategori masyarakat. Semua itu dilakukan sebagai cara dan atau bagian dari turut merasakan duka yang dialami oleh mereka yang sedang mengalaminya.
Di pedesaan Timor (maaf, di tempat lainnya mungkin ada pula) sekolah-sekolah mengajarkan dan sekaligus mempraktikkan pernyataan belasungkawa atau turut berdukacita. Pendekatan praktisnya yakni dengan membawa perwakilan siswa ke rumah keluarga berduka. Bagaimana cara para siswa menyatakan belasungkawa? Tulisan sederhana ini akan menguraikannya.
Belasungkawa ala Siswa di Pedesaan
Bertahun-tahun sudah pengetahuan dan praktik pernyataan belasungkawa dari siswa-siswa di daerah pedesaan dan pedalaman Timor. Kematian pada seorang warga desa yang terjadi di dalam satu kampung dimana sekolah berdiri, dipastikan para guru dan siswa akan melayat. Pada saat melayat mereka akan secara tertib berbaris beriringan masuk ke rumah duka. Mereka tampil dengan tetap berseragam berhubung mereka berangkat dari sekolah.Â
Berikut urutan praktik pernyataan bela sungkawa dari siswaÂ
- Bersiap di sekolah di bawah pengawasan guru; sebelum berangkat para siswa mendapatkan arahan yang mengingatkan mereka tentang sikap baik yang perlu ditunjukkan saat berada di rumah duka. Guru, secara demokratis meminta seseorang atau dua orang di antara para siswa untuk memimpin rombongan. Tugas pemimpin rombongan yakni mengatur ketertiban dan memimpin doa.
- Rombongan berangkat (jalan kaki) ke rumah duka. Bila mereka berkesempatan menyiapkan bunga dan "tanda turut berduka" maka seorang atau dua orang teman akan memegang dan atau mengamankan tanda itu.
- Di rumah duka, pemimpin rombongan mengatur barisan. Satu per satu masuk agar terlihat rapih dan tertib.
- Di dalam rumah duka, rombongan berdiri mengelilingi jenazah.
- Pemimpin doa akan mengajak seluruh anggota rombongan untuk bernyanyi dan berdoa.
- Lagu dilantunkan dan doa dihunjukkan kepada Sang Khalik Ilahi, Tuhan yang Maha Esa.
- Sesudah bernyanyi dan berdoa, anggota rombongan secara satu per satu menyalami anggota keluarga duka.
- Bila membawa krans bunga, maka akan ditempatkan di bawah tenda duka. Bila membawa "tanda turut berduka" maka ditempatkan di dalam kotak yang disiapkan
- Sesudah itu secara tertib beriringan satu per satu meninggalkan ruang duka, dan menyalami keluarga luas yang duduk di bawah tenda duka.
- Rombongan siswa mengambil posisi duduk beberapa saat sebelum meninggalkan rumah duka.
Pada kesempatan lain bila seseorang yang meninggal itu ada kaitannya secara langsung dengan institusi sekolah (misalnya, seorang siswa, seorang guru atau anggota keluarga guru yang meninggal), maka ketika upacara penguburan berlangsung; para guru dan siswa akan turut berada dalam arak-arakan upacara.
Arak-arakan upacara yang dimaksudkan di sini yakni:
- Upacara menurut agama yang dianut keluarga duka. Siswa dan guru dari institusi sekolah akan mengambil bagian dalam urutan upacara itu dengan pendekatan sisipan. Memberitahukan kepada pemimpin upacara (menurut agama) agar mereka dapat menyisipkan acara dari institusi sekolah. Misalnya, membaca puisi dan bernyanyi
- Upacara mengiring jenazah, rombongan siswa menjadi pengiring jenazah dengan melagukan Hymne Guru, bila seorang guru aktif yang meninggal dunia. Â
 Nilai apa yang ditanamkan kepada para siswa?
Pertama, religi. Ketika siswa berada di rumah duka,salah seorang di antara mereka akan memimpin doa. Ketika upacara dilaksanakan menurut agama yang dianut keluarga duka, siswa yang berada dalam komunitas penganut agama yang sama akan turut serta di dalamnya.
Kedua, sosial kemasyarakatan.Siswa memiliki pengetahuan tentang hidup bermasyarakat, dimana suatu peristiwa kematian terjadi, maka seluruh masyarakat di dalam satu wilayah desa akan urun dalam kesibukan ratap, tangis dan kesiapan upacara penguburan jenazah. Dalam pada itu, keluarga-keluarga jauh akan tiba di rumah duka, dari sana siswa belajar tentang hubungan kekerabatan.
Ketiga, persatuan, kesatuan, simpati dan empati. Satu orang meninggal dunia di dalam satu kampung (desa). Seluruh warga desa akan berbondong-bondong ke rumah duka untuk menyatakan rasa duka dan sekaligus hendak menghibur, menguatkan anggota keluarga yang ditinggalkan. Pada saat yang sama, mereka menyediakan materi dalam jumlah terbatas, waktu dan tenaga untuk mengerjakan sesuatu yang kiranya turut melancarkan rencana upacara penguburan. Pada situasi ini, simpati dan empati berlangsung. Para siswa secara langsung maupun tidak langsung belajar tanpa harus melalui suatu pendekatan formal di dalam ruang kelas.
Penutup
Kematian terjadi pada semua orang. Mengupacarakan penguburan jenazah saling berbeda antar-etnis. Upacara menurut agama yang dianut, upacara menurut tata kedinasan, tata militer, tata kenegaraan, dan tata hukum adat. Semua ini sering terlihat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Proses dalam upacara baik terlihat sebagai suatu prosedur tetap atau yang diatur oleh kalangan sesepuh/tokoh di dalam masyarakat, itu semua untuk menata ketertiban dan keteraturan saat melayat, menyatakan bela sungkawa.
Siswa di pedesaan telah belajar secara langsung maupun tidak langsung pada saat menjadi bagian yang turut serta dalam pernyataan dukacita, ketika mereka hadir dengan berseragam. Sementara ketika mereka tidak berseragam dan hanya berada di sekitar rumah duka di luar kewajiban dari sekolah, maka mereka secara tidak langsung hendak mengimitasi pengetahuan itu ke dalam kesan tersimpan akan berguna kelak ketika mereka dewasa.
Demikian sepenggal urai pernyataan turut berdukacita, bela sungkawa dari siswa dan guru di pedesaan Timor.Â
Saya kira di perkotaan pun para siswa melakukan hal yang sama. Semoga. Â
Mari sampaikan opini/tanggapan para Sahabat Literat pada artikel ini. Terima kasih.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 9 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H