Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi Digital Sekolah (Dasar) Pedesaan Timor Barat

12 November 2022   10:53 Diperbarui: 12 November 2022   11:15 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, foto, dokpri, RoniBani

Pengantar

Suatu pemandangan biasa di Sekolah Dasar di pedesaan pada hari ini, khususnya di tempat kami bertugas. Guru dan siswa akan bersama-sama dalam apel pagi setelah seluruh persiapan proses pembelajaran telah disiapkan. Pada apel pagi biasanya ada beberapa hal yang dilakukan, seperti:

  • menyiapkan barisan
  • mendengarkan arahan dari guru piket atau kepala sekolah
  • ibadah/doa bersama
  • salam

Enam rombongan belajar dengan jumlah siswa terbatas tidak mencapai angka 20 tiap rombelnya. Hal ini sudah menjadi keprihatinan pada institusi sekolah-sekolah dasar pedesaan, sekalipun di pihak lain ada institusi yang bertepuk tangan attas keberhasilan program pembatasan jumlah anggota keluarga. 

Betapa menariknya kondisi pendidikan di pedesaan Timor. Saya sempat menulis beberapa kali tentang hal seperti ini di antaranya [ di sini ]

Siswa dan Guru SD Pedesaan (Timor Barat) Mumpuni Literasi Digital?

Saya tidak menafikan bahwa dewasa ini literasi digital sudah menjadi "makanan pokok" guru dan siswa (anak-anak) dari perkotaan hingga pedesaan. Hal ini terlihat dari kesiapan sekolah-sekolah melaksanakan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). 

Semua sekolah, termasuk sekolah-sekolah dasar di pedesaan dan pesisir telah turut serta dalam program nasional ANBK ini. Lantas hasilnya dapat dilihat pada Rapor (mutu) Pendidikan melalui platform yang disiapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemdikbudristek RI). 

Berapa banyak sekolah dasar di pedesaan (Timor Barat) yang secara nyata mampu melaksanakan ANBK dengan pendekatan literasi digital yang dianggap dapat diandalkan? Belum ada data yang kiranya valid.

Dalam suatu rapat koordinasi para Kepala sekolah Dasar di Kabupaten Kupang, yang dilaksanakan 2 sesi tanggal 3-4 November 2022, ditemukan fakta bahwa masih banyak kepala sekolah belum dapat mengakses Rapor (mutu) Pendidikan di sekolahnya. Mengapa? 

Masalah ada pada mengaktifkan akun belajar yang dikeluarkan oleh Kemdikbud RI. Rerata para Kepala Sekolah menganggap bahwa operator sekolah yang membuat akun belajar itu, sehingga mereka mengharapkan seseorang berikutnya dapat membantu untuk mengajarkan sekaligus praktik pembuatan akun belajar itu.

Seorang rekan guru SMA di Kabupaten Kupang mendapat kepercayaan sebagai Fasilitator untuk menyampaikan tentang akun belajar. Ia telah mengikuti pelatihan sehingga mendapatkan statusnya itu untuk selanjutnya dapat melakukan sosialisasi bahkan untuk 3 Kabupaten: Kabupaten Kupang, Rote-Ndao dan Sabu-Raijua. Suatu hal yang baginya membuktikan bahwa literasi digital para guru di 3 Kabupaten ini masih "dipertanyakan".

Bagaimana dengan siswa? Saya berasumsi bahwa siswa di pedesaan pun sudah mulai berliterasi digital. Di sekolah-sekolah pedesaan, siswa SMA dan SMK sudah banyak siswa membawa smartphone android untuk mengakses materi ajar bersama gurunya yang melek teknologi. Sementara pada siswa SMP dan SD rasanya masih dapat dihitung dengan jari, apalagi bila gurunya masih manual. Perkembangan yang demikian belum memenuhi harapan untuk proses pembelajaran secara daring, apalagi mesti mengantarkan siswa untuk mempunyai akun belajar sendiri pada platform merdeka belajar; sementara gurunya belum mampu mengakses platform merdeka mengajar.

Dalam hari-hari reguler pembelajaran di SD tempat saya bertugas baru (sejak Juni 2022), dan pada SD sebelumnya  (April 2017 - Mei 2022), hal yang dimaksud yakni literasi digital masih harus ada pengakuan bahwa guru dan siswa masih merayap senyap menuju ke area itu.

Dampaknya terlihat ketika Kemdikbud RI dengan sejumlah platform justru makin membingungkan para guru di pedesaan. Jika satu platform saja seperti dapodik itu hanya operator sekolah saja yang punya pengetahuan dan ketrampilan (otodidak), bagaimana dengan sejumlah platform itu. Siplah, ARKAS, dan lain-lain. Semuanya itu membutuhkan pelatihan yang kiranya dalam satuan waktu yang memadai agar para guru memiliki ketrampilan itu. Sayang sekali, ketika platform-platform itu diciptakan dan diluncurkan, para guru mesti secar otodidak, sekaligus implementasinya. Jika gurunya masih "gaptek" atau belum bisa move on, bagaimana dengan siswanya?


Pelatihan Mandiri sebagai Celah Solusi

Pada platform Merdeka Mengajar, tersedia di sana modul-modul pembelajaran yang dapat diakses oleh siapa pun guru yang mampu mengaksesnya. Modul-modul yang demikian itu selanjutnya mengantarkan guru untuk belajar dan berlatih secara mandiri sampai mencapai titik mendapatkan sertifikat. Sejumlah video pembelajaran dapat dilihat di sana, tetapi siapakah guru (SD) di pedesaan yang mampu tiba di sana? 

Di tempat saya bertugas, berkali-kali saya minta para guru untuk mengaktifkan akun belajar sebagai satu-satunya pintu untuk mengakses berbagai platforma yang diciptakan dan diluncurkan oleh Kemdikbudristek RI. Siapa yang sudah melakukannya? Bila saya mengecek, bahkan guru muda yang selalu diasumsikan sebagai cepat beradaptasi dengan perubahan, justru sama dengan guru-guru yang mendekati masa pensiun. 

Aneh...! Apa yang diharapkan dari para guru muda jika mereka hanya bisa mengakses media sosial, facebook, youtube, instagram, dll? Aplikasi media sosial yang makin diminati itu justru tidak membawa para guru ke akun belajar, sementara akun belajar menyediakan banyak hal yang dapat diambil untuk kepentingan pembelajaran.

Apakah saya sudah mampu mengakses platform Merdeka Mengajar? Ternyata tidak demikian. Proses mutasi seorang Kepala Sekolah tidak serta merta memutasi akun belajar. Berkali-kali saya menghubungi operator pusat untuk memutasi akun belajar, saya justru mendapat jawaban untuk mengisi survei... Mengapa? Karena server telah menyediakan jawaban otomatis, bukan oleh manusia yang bernurani.

Pelatihan mandiri, itu jawaban yang dapat kita ambil bila ingin mandiri dalam pembelajaran sambil bertanya pada rekan guru melalui pelatihan-pelatihan lain yang diadakan. Banyak link pelatihan diedarkan melalui aplikasi WhatsApp baik secara individu maupun grup. Pelatihan-pelatihan itu lebih teknis, namun terkendala pula pada berbagai hal, seperti:

  • jaringan internet (ketersediaan BTS)
  • paket pulsa data (uang)
  • jaringan/aliran listrik
  • Smartphone android dengan daya tampung rendah
  • kemauan belajar, ini faktor motivasi
  • alasan lain, seperti tidak cukup waktu; banyak tugas, dll 

Hal-hal seperti di atas senantiasa ada pada guru di pedesaan. Siapakah yang mampu mengantar para guru untuk segera move on? Jawabannya, Pengawas sekolah, kepala sekolah, dan sesama guru, namun bila pengetahuan dan ketrampilan mereka terbatas apa solusinya?

Semua guru yang sudah bertugas pada tahun-tahun belakangan ini, sebelumnya (mungkin) sudah ada yang memiliki pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Sejujurnya, banyak guru (SD) di pedesaan justru sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan dasar ketika desktop, laptop, Liquid Crystal Display (LCD) Projector dan ikutan produk TIK merambah dunia kerja.

 Belajar mandiri untuk hal ini menjadi "kewajiban" diri. Hanya guru yang mau secara otodidak akan sampai pada pengetahuan dan ketampilan literasi digital itu.

Penutup

Guru dan siswa (SD) di pedesaan merindukan untuk maju bersama dengan rekan-rekan mereka di perkotaan. Studi Tiru menjadi salah satu pendekatan bila hal ini dapat diwujudkan. 

Studi Tiru belum banyak dilakukan di pedesaan Timor Barat paling kurang ke kota terdekat (kota kabupaten atau kota Provinsi). Pada sekolah-sekolah di kota yang sudah maju studi tiru dapat diarahkan ke sana. Guru dan siswa terpilih dapat belajar di sana sekalipun hanya sekali berkunjung akan berimbas ketika balik ke desa.

Catatan ini merupakan suatu impian. Semoga kendala anggaran bukan menjadi alasan utama implementasinya kelak.

Nekmese, 12 November 2022

*ditulis dari inspirasi dimana para siswa duduk di emperan depan belakang ruang Kepala sekolah sambil membaca buku. Ini sudah kebiasaan anak-anak kami bila guru kelas tidak masuk. Mereka akan meminta buku di ruang guru, lalu mencari tempat nyaman untuk membaca, sementara perpustakaan belum dapat secara cukup baik dalam pelayanan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun