Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Suka membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa. Menulis puisi sebisanya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wawancara Imajiner dengan Dua Sastrawan Indonesia

11 November 2022   19:53 Diperbarui: 11 November 2022   20:02 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

P: Terima kasih, Buya. Pengalaman dan nasihat yang bagai nutrisi sangat bergizi. 

Marah Rusli

Saya beralih pada Penulis yang satu ini. Karyanya romannya (atau novelnya) menjadi penanda sastra Indonesia. Sangat populer roman Siti Nurbaya yang ditulis oleh Marah Rusli.

P: Mohon izin Bapak Marah Rusli. Bolehkah saya mendapat penjelasan singkat, apa yang menjadi latar pikir ditulisnya roman atau novel Siti Nurbaya, kasih tak sampai?

J: Ya, sebutlah bahwa ada semacam perselisihan kebudayaan Minangkabau dengan kolonial pada masa itu. Pada masa itu kebudayaan kita dimana kaum muda seakan tidak mendapat tempat untuk mengemukakan pendapat. Sementara orang Eropa yang dalam hal ini Belanda yang sudah berkuasa di nusantara ini sebagai penjajah, mereka membawa selain menjajah, tapi ada pada kalangan tertentu dapat bersekolah lebih tinggi dan mendapat pengetahuan luas tentang bagaimana berpendapat yang berbeda dari kebudayaan timur pada umumnya dan khususnya daerah Minangkabau.

P: Terima kasih pak. Tapi, ada yang mengaitkannya dengan kisah cinta pribadi bapak. Bagaimana bapak menanggapinya?

J: Boleh saja orang berpendapat atau berpandangan begitu. Tapi hal yang pasti, aku kedepankan emansipasi. Perempuan Minangkabau tidak lagi harus terkurung. Perempuan Minangkabau terbuka untuk menyatakan pendapatnya, termasuk berkorban untuk keluarganya. Roman atau novel yang telah diulas banyak kalangan dan kritikus sastra bagiku itu momentum kebangkitan kepenulisan sastra. Sesungguhnya aku sendiri tidak menyadari jika itu akan menjadi momentum bangkitnya kepenulisan novel modern. Tapi hal itu sudah terjadi. Orang tuaku sendiri tidak menerima roman yang kutulis itu. Aku dianggap melawan tradisi dan budaya sendiri. Aku telah dipengaruhi pengetahuan barat. Ya, harus disadari demikian, bahwa ketika membaca dan terus membaca untuk memperkaya khazanah pengetahuan, termasuk literatur-literatur barat yang terbuka, di sana ada konflik, mengapa budaya sendiri seperti mengurung kalangan tertentu, termasuk perempuan? Itulah alasan-alasan mengapa aku menulis Siti Nurbaya, Kasih Tak Sampai.

P: Wah menarik pak. Tentu masih banyak yang ingin bapak jelaskan, namun, kali ini sampai di sini dulu. Terima kasih atas waktu yang sudah bapak sediakan.


Demikian bincang-bincang imajiner dengan dua tokoh penulis kenamaan. Nama mereka melekat di hati setiap penulis. Mereka menulis pada zamannya dalam situasi dan kondisi yang berbeda dengan zaman ini.

Bacalah dan Menulislah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun