Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Suka membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa. Menulis puisi sebisanya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sampah Rokok di Kelas, Siapa yang Bertanggung Jawab?

29 Oktober 2022   17:41 Diperbarui: 29 Oktober 2022   18:02 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: bungkus dan puntung rokok; foto: RoniBani

Pengantar

 

Saya hendak memulai tulisan ini dengan dua contoh: 

  • ada beberapa siswa kedapatan merokok. Guru Piket pada hari itu menunda penyelesaiannya atas alasan perlu menghadirkan orang tua dari para siswa yang merokok ini. 
  • ada guru merokok di dalam ruang kelas sambil mengajar. Puntung dan abu rokok berserakan di ruang kelas karena ruang kelas tidak disediakan asbak rokok. Lalu para siswa yang perlu membersihkan ruang kelas.

Kemudian kita perlu bertanya, siapakah yang bertanggung jawab atas kebersihan lingkungan sekolah termasuk membersihkan ruang kelas dari sampah rokok: siswa atau guru?

Siswa meneladani guru yang tertib dan berdisiplin 

 

Makhluk manusia kiranya dapat disebutkan sebagai makhluk peniru terbaik (Eng:the best imitator, atau Lat: optimum imitatorem), dan sudah pasti pada anak-anak mereka akan meniru apa yang dilakukan orang tuanya, serta pula pada guru yang dihormatinya. Siapapun kita yang pernah belajar pasti membaca, mendengar, dan atau mengucapkan peribahasa ini, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Bayangkanlah posisi guru dan siswa saat keduanya melakukan hal yang sama, kencing. Sikap keduanya berbeda: yang satu berdiri, satunya lagi berlari. Apa jadinya dengan air kencing yang keluar dari saluran pembuangan itu?

Peribahasa itu bukanlah materi pembahasan pada suatu diskusi manapun, tetapi sudah dalam pengetahuan umum bahwa siswa meniru apa yang dilakukan guru (dan orang dewasa di sekitarnya, termasuk orang tuanya). Maka, ketika peribahasa itu diucapkan, orang segera memiliki imej bahwa kedua insan itu (guru, siswa) melakukan hal yang sama, tetapi sikap dan dampak dari perbuatan itu berbeda.

Setiap guru yang melaksanakan rutinitas proses pembalajaran di sekolah, dipastikan di sana bahwa ada rasa kepatuhan dari siswa-siswinya. Siswa-siswi yang patuh tentulah akan tertib. Guru yang menertibkan akan menguraikan kekeliruan dan atau kesalahan yang selalu, sering dilakukan atau akan dilakukan oleh para siswa. Hal yang sudah terjadi sebagai kekeliruan dan atau kesalahan disampaikan untuk tidak terulang kembali. Sementara yang diduga akan terjadi, diharapkan untuk tidak terjadi lagi. Hal ini sebagai bentuk tindak pencegahan (preventif). Lalu bagaimana dengan guru itu sendiri?

Bila guru mengingatkan siswa-siswinya dengan peringatan seperti ini:

  • Ingat untuk tidak terlambat agar dapat mengikuti apel, sementara gurunya datang ketika barisan apel pagi sudah bubar. Gurunya tidak ikut dalam doa pagi bersama
  • Ingat untuk membersihkan ruang kelas. Para siswa patuh. Mereka membersihkan ruang kelas. Ruang kelas berdebu karena mereka berlarian di halaman yang berdebu, sepatu yang tidak dikebas ketika masuk ke kelas meninggalkan debu di ruang kelas, atau sepatu berlumpur karena musim penghujan tiba, lalu sisa-sisa lumpur di sepatu akan jatuh di dalam ruang kelas. Sementara gurunya, merokok. Abu dari rokok disebar di bagian depan ruang kelas, di bawah meja/kursi guru, di bawah papan tulis karena gurunya merokok sambil mengajar (berdiri). Sepatu Sang guru pun berdebu atau tersisa lumpur yang jatuh di dalam kelas.
  • Ingat untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Para siswa segera mengerjakan PR setibanya di rumah atau pada malam antara pukul 18.00-19.00 waktu setempat. Dapatkah siswa mengetahui bahwa guru sedang mengerjakan "PR"nya yakni menulis rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan menyediakan media pembelajaran yang sesuai dengan RPP? Tidak ada siswa yang mengetahui "PR" dari gurunya.

Masih banyak contoh yang dapat disebutkan sebagai pendekatan peniruan dari siswa pada gurunya (dan orang tuanya).contoh lain di sini

Dalam hal sampah rokok, bukankah siswa akan meniru guru? Ia akan melakukannya di luar rumah, merokok, merasa bangga dan mempertontonkan hal itu pada sesama, lalu membuang punting rokok secara serampangan? Ketika makin dewasa badan, ia merasa makin siap menjadi perokok. Mengapa? Karena orang tuanya, gurunya dan para orang dewasa telah menjadi teladan baginya.

Penutup


Tembakau dan campurannya yang diplinting dengan kertas rokok telah "menarbkobai" konsumennya. Guru laki-laki (dan mungkin ada pula perempuan) perokok telah meneladankan dan mengimitasikan kebiasaan, tradisi dan budaya buruk pada anak/siswa.

Perusahaan rokok memasang gambar dan mengiklankan bahaya merokok sambil tetap memproduksi rokok. Perusahaan rokok bagai memainkan dua tangan yang saling berbeda, di satu sisi senyap menghimbau hingga berharap orang merasa rokok sebagai barang terlarang, di sisi lain konsumen tetaplah berada di jalurnya agar petani tembakau, cengkeh perusahaan tetap hidup dan mengidupi karyawan dan buruhnya. Negara pun ikut mendapatkan pendapatan dari cukai rokok.

Rokok, guru, siswa, dan banyak pemangku kepentingan bagai satu ekosistem. Manakah yang boleh diputus dari anggota ekosistem ini?


rokokrokok

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun