Tembakau dan campurannya yang diplinting dengan kertas rokok telah "menarbkobai" konsumennya. Guru laki-laki (dan mungkin ada pula perempuan) perokok telah meneladankan dan mengimitasikan kebiasaan, tradisi dan budaya buruk pada anak/siswa.
Perusahaan rokok memasang gambar dan mengiklankan bahaya merokok sambil tetap memproduksi rokok. Perusahaan rokok bagai memainkan dua tangan yang saling berbeda, di satu sisi senyap menghimbau hingga berharap orang merasa rokok sebagai barang terlarang, di sisi lain konsumen tetaplah berada di jalurnya agar petani tembakau, cengkeh perusahaan tetap hidup dan mengidupi karyawan dan buruhnya. Negara pun ikut mendapatkan pendapatan dari cukai rokok.
Rokok, guru, siswa, dan banyak pemangku kepentingan bagai satu ekosistem. Manakah yang boleh diputus dari anggota ekosistem ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H