Pengantar
Dapatkah masyarakat pedesaan hidup rukun dan tertib untuk mencapai keamanan dan kenyamanan? Jawaban atas pertanyaan ini relatif. Mengapa relatif? Karena sekalipun para pemangku kepentingan di dalam satu komunitas masyarakat pedesaan menghendakinya, belum dapat dipastikan akan ada rasa aman, tertib dan nyaman. Mengapa demikian? Karena hukum adat sebagai aturan lisan yang berlaku selalu dipersepsikan dan diasumsikan secara variatif baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 sebagai turunan dari UU Nomor 6 Tahun 2014, di sana mengatur tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) dan Lembaga Adat Desa (LAD). Keberadaan kedua lembaga ini di desa dibentuk oleh Pemerintah Desa. Kepala Desa dapat membentuk kedua lembaga ini dengan Keputusan Kepala Desa, yang selanjutnya kedua lembaga ini menjadi mitra Pemerintah Desa untuk bidang tugas tertentu.
Dalam artikel ini saya urai sedikit tentang Lembaga Adat Desa (LAD), berhubung saya sempat diminta menjadi narasumber dalam rangka Kegiatan Pembinaan Lembaga Adat Desa di Desa Oebesi Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang. Kehadiran untuk menjadi narasumber berdasarkan surat undangan yang dikirimkan kepada saya Nomor: 005/011/OEB/I/2025, tanggal 15 Januari 2025 dengan perihal permohonan menjadi narasumber.
Tugas Pokok dan Fungsi Lembaga Adat Desa
Tugas Pokok Lembaga Adat Desa membantu Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa (Psl 10 ayat (1) Permendagri No.18/2018).
Fungsi Lembaga Adat Desa diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 sebagai berikut:
- melindungi identitas budaya dan hak tradisional masyarakat hukum adat termasuk kelahiran, kematian, perkawinan dan unsur kekerabatan lainnya;
- melestarikan hak ulayat, tanah ulayat, hutan adat, dan harta dan/atau kekayaan adat lainnya untuk sumber penghidupan warga, kelestarian lingkungan hidup, dan mengatasi kemiskinan di Desa;
- mengembangkan musyawarah mufakat untuk pengambilan keputusan dalam musyawarah Desa;
- mengembangkan nilai adat istiadat dalam penyelesaian sengketa pemilikan waris, tanah dan konflik dalam interaksi manusia;
- pengembangan nilai adat istiadat untuk perdamaian, ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa;
- mengembangkan nilai adat untuk kegiatan kesehatan, pendidikan masyarakat, seni dan budaya, lingkungan, dan lainnya; dan
- mengembangkan kerja sama dengan LAD lainnya.
Sehubungan dengan permintaan untuk menjadi narasumber, saya mencoba menguraikan fungsi hukum adat sebagai berikut:
- Acuan kesepakatan norma, tata kelakuan
- Pengatur etika Masyarakat setempat
- Media hidup rukun dan saling menjunjung tinggi kebersamaan
- Media untuk saling menghargai di dalam Masyarakat
- Media menyatukan perbedaan
Materi selanjutnya mengenai Hukum Adat yang berlaku di dalam wilayah bekas Swapraja Amarasi (Pah Amarasi). Materi ini menyentil beberapa hal sebagai berikut:
Makna Leksikal Hukum dan Hukum Adat
Hukum, ada 4 makna:
- Aturan (atau adat) yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah
- Undang-Undang, atau Peraturan, untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat
- Patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam, dsb) yang tertentu
- Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan), vonis
Makna Hukum Adat
- Aturan (perbuatan, dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu
- Cara (kelakuan dsb) yang sudah menjadi kebiasaan;
- Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi satu sistem
Kedudukan Hukum Adat dalam Negara.
- Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 (hasil amandemen) mengatur ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Desa
- Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 tahun 2014 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Makna Hukum Adat menurut Permendagri Nomor 52 tahun 2014
Hukum Adat adalah seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada nilai budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun temurun, yang senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat, dan mempunyai akibat hukum atau sanksi. [psl 1 (3) Permendagri 52/2014]
Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun. [psl.1 (1) 52/2014]
Hukum Adat dalam wilayah Pah Amarasi
Pah Amarasi merupakan salah satu wilayah bekas ke-usif-an (Swapraja) Amarasi yang telah menjadi Kecamatan Amarasi pada tahun 1961. Di dalamnya terdapat 23 desa dengan ibukota Oekabiti.
Selanjutnya pada tahun 2002 telah dimekarkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kupang menjadi 4 Kecamatan; Kecamatan Amarasi dengan ibukotanya di Oekabiti, Kecamatan Amarasi Timur, dengan ibukotanya di Pakubaun, Kecamatan Amarasi Barat dengan ibukotanya di Baun dan Kecamatan Amarasi Selatan dengan ibukotanya di Buraen.
Beberapa contoh Hukum Adat yang berlaku.
- Kua'nonot (Pergaulan); bertegur sapa, menghormati, menghargai, (see, seon, mapua', mama-mtasboo, baiseun, ronaen, 'siti')
- Bukae-harat; dari persiapan meja makan, hidangan, pelayanan, hingga tuntas membersihkan alat/perlengkapan makan-minum
- Ttook tabua-Tamteer; posisi duduk berdasarkan kedudukan; para amaf, dan amnasit selalu berada di depan, pemisahan laki-laki dan perempuan
- Pake-Nohas; berbusana (natai, n'aba'kena', na'piru', naknapa' nasniin aruk, nasniin a'kora'/a'kuru', natnaat oko'/korbaha')
- Panat Oe mata', memelihara sumber air (hau-roet, peko)
- Panat Nasi, memelihara hutan (a'soko, bunu, biku)
- Tmareen, berladang (tae nasi, tsui, tkaun, thoina', 'sako', tout/ta'nunu', tseen, tahoen, tseik/toun, tatuu', tteir, tsoi' pena', truuk maka'/ane)
- Po'of/Porata', kedaulatan pangan (erak, eno', ktaeb)
Semua yang disebutkan di atas telah hilang dalam percakapan dan penyikapannya. Bahwa pada masa ini masih ada dalam tindakan tentu saja masih berlaku, namun maknanya telah bergeser bahkan diasumsikan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Sementara yang dianggap penting dan prioritas yakni hukum adat dalam kerangka mengurus perkawinan.
- Rais Matsaos/Mafeet-mamonet; hukum adat perkawinan. Dalam kebudayaan masyarakat Pah Amarasi, sebutan untuk hal yang satu ini sangat variatif. Sebutan dan tahapan yang variatif antar desa bahkan dalam masyarakat se-desa pun sering berbeda. Mengapa berbeda? Karena tuntunan untuk maksud penyelenggaraan upacara perkawinan menurut hukum adat tidak tertulis,pemahaman saling berbeda. Pada berbagai kalangan, urusan dalam rangka upacara perkawinan menurut hukum adat hanyalah aksesori belaka. Inti perkawinan/pernikahan terletak pada upacara menurut hukum agama dan hukum yang berlaku di dalam negara. Maka, urusan perkawinan menurut hukum adat selalu tidak sama; bahkan ada pula yang mengabaikannya atas alasan bukan sesuatu yang sifatnya urgent.
Masih banyak hal yang dapat dibahas sehubungan dengan peranan LAD di wilayah pedesaan di dalam masyarakat adat Timor pada umumnya, khususnya di dalam wilayah bekas Swapraja Amarasi.
Semoga tulisan ini menginspirasi.
Terima kasih.
Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H