Mohon tunggu...
Heronimus Bani
Heronimus Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis seturut kenikmatan rasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belis Membeli Perpisahan Pilu?

16 Januari 2025   20:12 Diperbarui: 16 Januari 2025   20:12 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika yang dimaksudkan dengan besaran belis itu dirasakan teramat besar, tentulah ada jalan tengah. Orang tua dari keluarga perempuan dapat secara bijaksana memberikan kelonggaran. Kelonggaran itu dimaksudkan agar pihak keluarga laki-laki dapat memikul tanggung jawab itu, terlebih untuk tidak membebani pemuda yang akan menjadi menantu. 

Pemuda yang kelak akan menjadi menantu dalam bahasa Meto' disebut moen fe'u. Secara harfiah moen fe'u artinya laki-laki baru. Maksudnya mertua akan menerima pemuda itu sebagai anak laki-laki baru di dalam rumahnya. Maka, sebagai anak laki-laki baru di dalam rumahnya, sebijaksana mungkin untuk meringankan beban psikologis akibat dari pembebanan belis padanya.

Bahwa belis menjadi tanggung jawab komunal pihak keluarga laki-laki, itu benar. Faktanya, nyaris tidak dapat sepenuh-penuhnya ditanggulangi secara bersama. Calon suamilah yang dimintai persiapan awal. Dalam budaya etnis Rote dikenal istilah tu'u, dan di Amarasi ada istilah bnetes, atau tae oko'. Dua istilah ini merupakan satu budaya di mana orang berkumpul untuk mengisi pundi-pundi persiapan dalam rangka upacara pernikahan/perkawinan. Isi dari pundi-pundi itu dapat saja mencukupi, namun faktanya tidak selalu demikian.

Pembiayaan terbesar dalam rangkaian upacara pernikahan/perkawinan jatuh pada dua point:

  • Upacara pernikahan/perkawinan menurut hukum adat di mana belis menjadi syarat utamanya. 
  • Resepsi pernikahan. 

Dua point ini bila telah lunas terbayar, rasanya martabat para pihak sedang naik ke jenjang tertinggi. 

Hal lain yang terbaca secara sosiologis dalam masyarakat adat etnis mana pun di Nusa Tenggara Timur yakni, martabat manusianya. Perempuan yang "diambil" sebagai calon isteri dan keluarganya merasa mendapat penghargaan dan penghormatan ketika belis yang dimintakan dapat dilunasi oleh calon suami dan keluarganya. Pada sisi sebelahnya, calon suami dan keluarganya bila mampu melunasi permintaan belis, harga diri mereka pun terlunasi.

Jadi, belis yang mahal selalu menjadi beban psikologis pada pihak keluarga laki-laki, terutama pemuda yang bakal jadi suami. Saran saya dalam tulisan ini:

  • Belis sebagai budaya tidak perlu dipersoalkan, karena hal itu sudah diterima oleh berbagai kalangan, bahkan ketika suatu perkawinan terjadi antaretnis. 
  • Mempersoalkan belis sebaiknya pada nominal yang diminta bila itu berupa uang. Sementara bila belis itu berupa barang seperti moko, gading, ternak besar seperti sapi, kuda atau kerbau, adalah baik bila dikonversi menjadi uang. Nilai nominal hasil konversi pun tidak harus mengikuti perkembangan inflasi yang terjadi di dunia ekonomi. Mengapa? Karena belis tidak ada hubungannya dengan ekonomi biaya tinggi.
  • Sebaiknya menekan anggaran pembiayaan upacara pernikahan/perkawinan menurut hukum adat perkawinan dan resepsi yang menyerrtai upacara menurut agama yang dianut. 
  • Martabat manusia tetaplah menjadi terhormat dan mulia ketika menempatkan lembaga pernikahan/perkawinan pada porsi yang tepat. Lembaga pernikahan/perkawinan bukanlah ajang "kompetisi" yang di mana orang menghunjukkan kemampuan ekonomi, tetapi mesti menjadi wadah yang meluaskan kekerabatan. Dalam kekerabatan yang makin luas prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing patutlah diwujudkan.

Bagaimana dengan Manja Mooy dan keluarganya?

Menurut pemberitaan media ini keluarga dari Manja Mooy tidak atau belum pernah meminta agar menyiapan uang sebesar Rp250.000.000  (dua ratus lima puluh juta) sebagai belis. Justru mereka tengah menyiapkan pengurusan pernikahan secara dinas terlebih dahulu. Izin diberikan oleh pihak keluarga Manja Mooy oleh karena calon suaminya seorang anggota TNI AD yang harus mengikuti tata perkawinan menurut dinas militer.

Maka pada akhirnya viralitas berita seputar kisah cinta yang berakhir pilu, kegeraman, kesedihan, dan beban psikologis pada dua keluarga akan terbawa untuk waktu yang lama. 

Semoga ada pelajaran berharga dari peristiwa ini. Menghilangkan nyawa sendiri atas alasan depresi bukanlah tindakan solutif. Sementara menempatkan harga diri/martabat di tempat tertinggi itu tentulah baik, namun bukan dengan menempatkannya dalam nilai nominal yang tak dapat diraih dalam waktu singkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun