Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mengunjungi Pertapaan Katolik Rawaseneng-Temanggung

9 Agustus 2023   07:46 Diperbarui: 9 Agustus 2023   07:56 1515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau kita mendengar pertapa dan pertapaan, tentu yang terbayang pertama adalah Bhiksu-Bhiksuni Budha yang biasanya gundul. Tapi juga ada dalam tradisi atau kebiasaan tradisional, terutama pengaruh agama Hindu ada saatnya seseorang harus bertapa. Tapi, umum bahwa bertapa ada dalam berbagai kebudayaan masyarakat, khususnya masyarakat Timur yang berusaha mengosongkan diri. Lalu, dalam dunia modern, terutama dalam masyarakat Barat sangat kelihatan dalam tradisi salah satu cara hidup Katolik.

Itupun sebenarnya karena pengaruh dari tradisi Timur, khususnya dari Mesir. Jadi, dalam gereja Katolik memang ada pilihan hidup membiara, namun tak semua biara adalah tempat pertapaan. Malah justru hanya sebagian kecil yang dianggap pertapaan. sebagian sangat kecil. Kalau jaman dahulu kan bertapa berarti mengasingkan diri, masuk ke hutan hutan untuk bermatiraga, berpantang dari nafsu duniawi seperti nafsu makan, nafsu kemewahan, dan nafsu seksual. Biasanya banyak cerita raja raja atau bangsawan yang mengasingkan diri ke hutan hutan untuk menyucikan diri.

Rombongan Orang Muda Katolik sampai di rawaseneng. Dok. Pribadi
Rombongan Orang Muda Katolik sampai di rawaseneng. Dok. Pribadi

Ini agak beda dengan sekelompok Bhiksu yang bertapa sebagai pilihan hidup sejak awal untuk konsisten. Dalam Gereja Katolik juga lebih mirip dengan yang kedua ini. Bertapa dan juga membiara adalah pilihan hidup sejak awal dan sepanjang hidup. Bedanya mereka ga biasa berlatih kungfu di pertapaan, mereka hanya hidup untuk doa dan bekerja seperlunya, tapi lebih diutamakan yang berdoa.

Di antara pertapa Katolik itu, ada sebagian orang yang menjadi pastor, sebagian sangat kecil dan ada juga sebagian besar lainnya menjadi frater biasa, menjadi pertapa biasa saja dan tidak menjadi pastor untuk komunitasnya. Mereka hidup membujang dan sangat jarang bergaul dengan masyarakat. Hampir seumur hidupnya tanpa hari libur. Libur berdoa, gitu mereka ga ada.

Asal usul hidup bertapa atau monastik di Gereja katolik Roma, adalah dari model kehidupan monastik dari Gereja Timur. Awalnya mereka itu sendiri sendiri ketika meninggalkan keramaian duniawi. Di Timur khususnya di Mesir dan sekitarnya, yang ada hanya padang gurun bukan hutan belantara. Jadi cara bertapa mereka dengan pergi ke padang padang gurun. Lalu, karena semakin banyak orang yang memilih cara hidup semacam itu, terbentuklah komunitas komunitas para pertapa di padang gurun. Sekarang, pertapaan pertapaan Katolik sudah jarang yang hidup di gua gua dan di padang gurun, tapi yang penting terpisah dari dunia keramaian. Di Rawaseneng Temanggung suasana di hutannya juga masih sangat terasa. Bukan hutan, tapi perkebunan.

Mereka biasanya mengawali doanya di pagi hari pukul 3 pagi dan mengakhiri kegiatan bersama sekitar pukul 20.00 WIB. Kelompok ini juga terbuka untuk dikunjungi agar orang lain bisa mengikuti cara hidup mereka, hanya saja mereka tetap dipisahkan dari masyarakat umum termasuk orang katolik. Jadi mereka memang tidak bercakap cakap. Tapi, cara hidup mereka itu, untuk kami yang biasa dengan kebisingan hidup duniawi menjadi oase yang menarik secara rohani untuk sekedar lepas dari kepenatan kehidupan kota.

Pembatas antara para pertapa dengan pengunjung yang hadir. dok. pribadi
Pembatas antara para pertapa dengan pengunjung yang hadir. dok. pribadi

Bulan Juni kemarin, sebelum berangkat ke Dieng kami sengaja menikmati cara hidup para rahib atau pertapa Katolik ini. Hanya saja karena sudah tidak dapat tempat di sekitar komunitas mereka, kami menginap di komunitas susteran yang ada di atas kompleks pertapaan. Sabtu sore kami tiba di tempat susteran, penginapan dan makan di sana sangat murah cuma 200.000,-. Itupun makanannya cukup enak, sangat enak malahan bagi yang jarang makan daging. hehehe... Itu karena perjalanan yang ternyata sangat lama dari jakarta. Pukul 05 pagi sampai pukul 15.30... sangat lama meskipun sudah lewat tol. Mungkin bus wisata sekarang sudah punya standar untuk tidak ngebut ngebut. Meskipun dalam perhitungan kami mestinya pukul 14 sudah sampai.

Setelah istirahat sejenak, kami mulai mengikuti ritme doa para pertapa ini. Mulai dari ibadat sore, ibadat malam dan penutup. Suasananya memang benar benar magis ya. Dalam keheningan kami seakan diajak untuk melupakan beban hidup dan mengheningkan hati. Hidup sepenuhnya berpasrah pada Tuhan.

Sebenarnya, lokasi dari tempat kami menginap cukup dekat dengan kapel tempat berdoa pertapaan ini. Hanya saja karena pesertanya adalah orang orang muda pada jamannya sekitar 10 atau dua puluh tahun yang lalu, maka setiap kali kami menuju ke tempat doa akhirnya harus diantar bus. Sedikit bising ketika kami datang karena suara bus. Untungnya masih bisa dipahami. 

Kami berdoa dan beribadat di sana. Setenang mungkin. Tidak ada kata buru buru atau pengen cepet selesai. Tenag, pelan, dan syahdu. Kami, para peserta di barisan tersendiri sedangkan dipisahkan pembatas kayu agak panjang, kami memang tidak mungkin berkomunikasi dengan para pertapa. Mereka datang ke kapel untuk berdoa tepat pada jam doa dan begitu selesai lalu mereka langsung ke balik tembok pertapaan.

Suasana doa di pertapaan. Dok. Pribadi
Suasana doa di pertapaan. Dok. Pribadi

Malam makin hening, sepi dan setelah ditutup dengan kidung pujian malam penutup yang syahdu, kamipun kembali ke kamar kami masing masing. Rupanya tidak semuanya bisa langsung tidur karena ga terbiasa. Tapi saya wajibkan peserta untuk bisa langsung tidur karena besok pagi pagi sudah harus bangun dan mengikuti doa bersama. Beruntung segala sesuatunya lancar, sampai kemudian di hari minggu karena kami mau segera melanjutkan perjalanan ke Dieng untuk berwisata, kami tidak bisa mengikuti perayaan ekaristi di pertapaan tapi di kapel stasi Rawasenengnya karena hari itu adalah hari minggu. Berdosa rasanya, di manapun orang Katolik hari minggu tidak ikut merayakan Ekaristi. Rupanya, kami yang biasa tinggal di kota ini.... berdoa dengan masyarakat pedesaan sekitarnya itu juga membawa kesan tersendiri. Umat yang masih sederhana dan ramah ramah, tidak sebanyak di Gereja kami yang biasanya bisa ribuan umat. Terutama keramahan mereka itulah yang banyak dikenang peserta.

Suasana sehabis makan di tempat susteran biara dominikan. dok. pribadi.
Suasana sehabis makan di tempat susteran biara dominikan. dok. pribadi.

Pukul 11 siang, kami harus meninggalkan tempat tersebut.

Masih belum puas dengan pengalaman kami, umumnya atau kebanyakan dari kami ingin untuk datang lagi ke pertapaan tersebut. "Mas Heru, nanti kita ke sana sendiri saja yak... sekeluarga gitu... ga usah banyak banyak orang..."

"Oke bu... siap... moga moga, bisa dapat waktu libur ya...."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun