Tak sengaja, saya menonton film Karnan yang bercerita tentang bagaimana penduduk desa yang terdiskriminasi berusaha untuk mendapatkan haknya. Perwira polisi  India menjadi antagonisnya yang kemudian mengingatkan saya bahwa hal tersebut hampir mustahil bisa dibuat di Indonesia. Harga diri sebuah institusi. hehehe...
berawal dari sesuatu yang sangat sederhana: bus yang tak mau berhenti di sebuah desa dan hanya bisa diakses di desa berikutnya. masalahnya adalah kedua desa itu seperti bermusuhan. Konon dengan latar belakang budaya. Saya bisa membayangkan bahwa inspirasinya berasal dari kisah nyata. hampir tidak ada fiksi yang sepenuhnya fiksi.Â
Hal sederhana itu, konon dalam kenyataan jauh lebih menyakitkan secara sosiologis. Hanya tebakan saya. tapi sebelumnya saya membaca kisah tentang kelompok Dalit yang sangat sangat najis untuk didekati apalagi disentuh. Bahkan, mereka sendiri dengan keberadaan mereka harus memberikan tanda berupa alat yang berbunyi di manapun mereka berada agar orang lain tidak salah menyentuh atau mendekati mereka. kelompok Dalit ini tidak masuk dalam kasta manapun di India, sehingga harus dibuang.
Sekedar bayangan saya, mungkin ada hubungannya dengan mereka. Atau ga ada hubungan antara kaum dalit ini dengan kelompok di desa tersebut. Tapi kenyataannya, kelompok yang dibuang ini benar benar ada dan masih ada sampai sekarang. Mereka hampir tidak punya hak apapun, secara sosial. Manusia yang diperlakukan bukan sebagai manusia. Cara mereka membela harga diri hanya dengan bunuh diri.
Setidaknya itulah yang tergambar dalam film tersebut. Karnan, salah seorang pemudanya membuat kerusuhan dengan merusak fasilitas umum. Polisi datang, dan seorang perwira merasa dilecehkan karena warga tidak mau hormat padanya karena tidak mau menunduk dan melepas sorban.Â
lalu polisi itu balas dendam dengan memanggil sekelompok pemuka desa dan tua tua lalu dihajar habis habisan di dalam kantor polisi. Sangat dramatis dan kemungkinan itu juga adalah kenyataan. Karnan dan teman temannya kemudian mendatangi kantor polisi dan mengambil teman temannya.
Cerita bisa ditebak, polisi kembali mendatangi desa tersebut membumi hanguskan seluruh desa dan menghajar penghuninya. Sementara Karnan dipanggil untuk memulai pendidikan sebagai tentara. Di sini kemudian yang khas film India muncul. Pergumulan batin meninggalkan desa atau memulai kariernya untuk menempuh pendidikan militer.Â
Sampai kemudian tetua desa yang sangat dihormati oleh Karnan bakar diri dan polisi tetap melanjutkan apa yang telah mereka lakukan menghajar penduduk desa. Hingga kemudian, Karnan balik kembali ke kampungnya dan membalaskan dendamnya dengan membunuh sang perwira polisi. Karnan ditangkap.
Saya sendiri kurang atau tidak secara langsung memahami sistem budaya dan sosial di India. Tapi dari cerita beberapa teman sepertinya cerita tersebut sebagian besar mendekati kenyataan. Tentang polisi yang dalam film menjadi antagonis ini yang membuat saya sedikit iri dengan india. kalau situasinya jelas memprihatinkan. Tapi kejujuran mereka membuat saya iri.
Saya sendiri akhirnya membayangkan begini: situasi sosial di sana tidak serta merta buruk atau baik. Ada situasi busuk tapi juga ada kemungkinan untuk berharap. ada anak gadis yang mau kuliah ke kota yang kemudian malah dilecehkan di halte meskipun sudah diantar ayahnya yang mengawali konflik dalam jalan cerita di film itu. Tapi kesadaran dan keterbukaan untuk pendidikan ada. Demikian juga si Karnan misalnya, yang diterima di pendidikan militer.
Polisi yang jadi antagonis, saya kembali ke topik utama. Saya mencoba mengingat ingat, film mana di Indonesia yang polisi jadi antagonis. Hampir tidak ada. kecuali dalam beberapa film dokumenter yak... tapi tidak benar benar sebagai film umum semacam Karnan.Â
Sementara di film India, bukan hanya polisi yang antagonis, polisi telat datang, bahkan polisi konyolpun ada. Lebih sadis lagi, polisi sudah konyol bahkan cenderung absurd seperti di cerita animasi anak anak, Shiva juga biasa saja. Tentu saja ada sosok inspektur vijay yang keren sebagai polisi di film film India.
Pertanyaannya: apakah dalam kenyataannya tidak ada kejahatan dan kesalahan oknum kepolisian di Indonesia? Sepertinya banyak dan itu bukan rahasia lagi. Kasus salah tangkap, kasus penganiyaan seperti dalam film Karnan itu tadi. Kasus salah tangkap disertai penganiayaan juga ada bahkan sampai kasus pembunuhan yang melibatkan oknum kepolisian dengan mengatasnamakan kepolisian. sebutlah nama nama Sengon Karta, Salim Kancil, Herman, dll yang cukup ikonik untuk diingat sebagai ketidakprofesionalan polisi. Atau kasus kasus pungli di jalanan yang kemudian terekam kamera.
jadi kalau difilmkan, ini bukan masalah kurangnya inspirasi sebuah film untuk menunjukkan kenyataan, tapi ada hal lain sebagai nilai yang ingin diperjuangkan. kewibawaan institusi kepolisian. Sayangnya ada nilai moral lain yang dikorbankan. kejujuran. Kebiasaan menjaga kehormatan semacam ini, malah justru melahirkan kemunafikan.
Kalau kita melihat di film film Indonesia, sosok sosok pejabat yang bisa jadi sosok antagonis sudah ada, misalnya wakil rakyat, bahkan ada parodinya, kepala daerah atau stafnya hingga muncul film film kritik sosial yang mengkritik kekuasaan seperti film Alangkah Lucunya Negeri Ini. Tapi tentang kepolisian sepertinya nihil yak....
Memang akan menjadi pertanyaan, beranikah ada yang mengangkat film sebagai sebuah film seperti baru baru ini The Oost di Belanda yang  menceritakan tentang kekejaman Westerling di Indonesia, atau mengangkat tokoh tokoh perjuangan seperti Munir atau Marsinah yang de facto semua kasusnya menggantung di Indonesia.
Masalahnya memang bukan hanya sekedar di harga diri dan kewibawaan sebuah bangsa yang bisa menutupi aib. Tetapi bukankah jauh lebih tidak berharga sebuah bangsa yang kehilangan keberanian untuk menerima kenyataan dan mengakuinya? Kita menjadi sangat munafik dengan mengutuki kekejaman bangsa lain misalnya Nazi Jerman terhadap etnis Yahudi, Myanmar terhadap Rohingya, China terhadap Uighur, ataupun Israel terhadap Palestina.
Sementara di depan mata kita, kita seakan menutup mata terhadap warga syiah yang sampai saat ini masih terusir dari rumahnya dan jadi pengungsi di rumah singgah, kita secara politis sangat diskriminatif terhadap orang orang yang dicap keturunan PKI, kita tutup mata terhadap mereka yang hilang karena diculik oleh aparat yang menjalankan tugas. Kita meneriakkan keadilan dengan menutup mata terhadap ketidakadilan di depan kita. Ya, jujur saja... sangat politis ketika kita melihat misalnya terbunuhnya 6 laskar FPI di mobil yang dikuasai oleh polisi.
Bahkan, sebegitu gilanya dan munafiknya sebuah institusi kalau sampai kemudian UU ITE digunakan untuk menjerat mereka yang berusaha merekam dan memviralkan polisi yang kedapatan sedang melakukan pungli.
Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan sebuah cerita, bukan dari film India, tapi mirip dengan kisah Karnan... sama sama terinspirasi dari kisah nyata...
Adalah Salim kancil, seorang yang tidak berpendidikan dan seorang petani desa biasa. Meskipun tidak berpendidikan, dia menyadari bahwa kegiatan penambangan pasir pantai oleh perusahaan sangat merusak lingkungan.
Ia kemudian bersama sekelompok orang yang seide dengannya menyampaikan protes baik kepada pemerintah kota maupun pemerintah desa setempat. Sempat meminta perlindungan kepada aparat kepolisian yang menjamin hidupnya dan kawan kawannya.
Aparat setempat bekerja sama dengan preman yang cukup banyak mempersiapkan pembunuhannya. Setelah terjadi bentrokan dan penganiayaan, si Salim dijemput paksa dari rumahnya ketika sedang menggendong cucunya yang berusia 5 tahun, dianiaya dan diarak hingga bahkan disaksikan oleh anak anak PAUD yang sedang belajar. Salim tewas dianiaya dan jasadnya ditinggalkan begitu saja.
Polisi datang menyelidiki dan menetapkan dua preman pembunuhan yang sebenarnya jumlahnya hampir dua puluhan orang sebagai terpidana.
Cerita viral dan selesai dengan latar belakang di tahun 2015. Gimana, ceritanya apakah sudah sedramatis Karnan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H